001 - Hilang☆

16 3 2
                                    

Apa pun yang ditemukan pasti hilang, ketika benda tersebut erat kaitannya dengan papa.
—Gravitasi Arcelio

Happy reading~~~

_____________________________________

Gavi masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam, ia melihat sekeliling. Kamar Raqeel penuh dengan eksperimen, kadang ia tidak sanggup ke kamar saudaranya. Hal ini dikarenakan bau anyir bangkai tikus putih dan beberapa tanaman yang dibiarkan membusuk.

Remaja itu menutup hidungnya sendiri, sembari melihat barang-barang di kamar Raqeel yang sudah berserakan. Dia duduk di kursi sebelah jendela, menunggu Raqeel mencari potongan foto yang kemarin ia temukan.

"Jangankan Nanas, kayaknya gue juga ogah kalau tidur di sini!" celetuk Gavi hampir menyentuh tanaman yang ia anggap lucu di pot, Raqeel memajangnya di pinggiran jendela. "Jangan disentuh, itu atropa belladonna. Kalau lo sentuh, lo bisa terluka."

Dia segera menarik kembali tangannya, untung belum kena. Memang saudaranya ini salah satu manusia spesies langka, bahkan tanaman berbahaya sekali pun ia masukkan kamar. Gavi mengelus dada, dia masih bisa selamat.

Melihat Raqeel yang cukup kesulitan mencari potongan foto tersebut, ia memutuskan untuk membantu. Gavi sangat penasaran pada potongan foto yang Raqeel yakini adalah foto ayah mereka.

"Lo taro mana kemarin?" tanyanya untuk memastikan, jika masih ingat di mana tempat terakhir dilihat, bisa jadi pencarian akan jauh lebih mudah. "Laci, deket buku sekolah."

Mereka sampai harus mengobrak-abrik laci dan lemari, tapi sepertinya tidak kunjung menemukan sampai-sampai Raqeel heran, bagaimana bisa hilang secepat kilat, padahal tadi pagi masih ada.

Pikirannya mulai berkelana, mencoba mengingat setiap geraknya dari malam sampai siang ini takutnya ia yang lupa meletakkan benda tersebut. Namun, sepertinya beneran hilang, ia hanya bisa mengingat meletakkan potongan foto di laci, kemudian ia tinggal ke kamar tamu untuk beristirahat karena kamarnya masih berantakan.

Hampir setengah jam olehnya mencari, mulai kamar Raqeel, tamu, dan terakhir di kamar Gavi. Namun, belum juga ketemu seakan menghilang ditelan bumi.

"Gunakan kekuatan lo," pintanya tanpa basa basi, tapi langsung mendapat tolakan dari Gavi. Bukan tanpa alasan, Gavi hanya bisa menarik benda yang ia bayangkan atau ada di hadapannya, sedangkan ia belum melihat aslinya. "Coba dulu, siapa tau bisa!" desak Raqeel.

Gavi menyetujui, ia memejamkan mata menghadirkan sebuah foto dalam pikiran dan mulai mencari keberadaan. Sayang, penarikan itu membuahkan album keluarga, bukan foto yang dimaksud.

"Bukan," kata Raqeel menghela napas lelah, sudah putus asa, sepertinya semesta belum merestui mereka untuk bertemu papa. "Lo yakin papa masih ada, 'kan?"

Hanya anggukan sebagai jawaban, sejak dulu ia selalu yakin papanya masih ada. Namun, baik kakek maupun nenek selalu memberinya doktrin bahwa orang tua mereka sudah meninggal dengan keadaan yang mengenaskan, sempat mendengar cerita dari sang nenek tubuh Raka (ayahnya) terpental beberapa meter dan terlindas truk bermuatan bahan logistik beberapa ton, sehingga sampai sekarang jasadnya belum ditemukan mereka percaya tubuh Raka hancur pada malam itu. Jadi, hanya ada makam mama dan adik mereka yang kala itu masih berusia tiga minggu.

Sekeras apa pun mereka menyangkal, tidak akan bisa melawan kakek dan nenek yang telah merawat mereka dari kecil. Apa mungkin  peribahasa 'air susu, dibalas air tuba' akan terjadi.

"Gue cuma pengen lihat foto orang tua kita, kenapa mereka menyembunyikan. Seakan mama sama papa adalah aib yang tidak boleh seorang pun tau," kata Raqeel memijit pelipisnya yang terasa pening, ia mengambil daun dan menghirupnya, sebagai penenang di kala riuh kepalanya terasa berisik.

"Suatu saat, gue akan menemukan papa. Cerita kecelakaan itu penuh dengan kejanggalan, mungkin waktu kita masih kecil bisa percaya, tapi logika gue udah berfungsi." Mereka terdiam cukup lama, dengan jalan pikiran masing-masing.

"Abang!" teriakan itu membuyarkan konsentrasi, Gavi segera keluar, sedangkan Raqeel masih enggan. Dia lebih tertarik merapikan kamar daripada meladeni drama baru manusia yang terkenal paling rumit sekeluarga.

"Eh, ada apa teriak-teriak?" Bahkan nenek dan kakeknya sampai ke teras, memeriksa cucunya. Teriakan Nasya sangat familiar bagi anggota keluarga, sudah menjadi rutinitas setiap hari.

"Nenek, tolong Nanas please!" mohonnya menangkup kedua tangan, Tari menaikkan alis kalau sudah seperti ini pasti ada yang tidak beres. Pandangan Tari fokus pada bola oren yang berada di kaki Nasya. "Tolong nanti redakan amarah bang Raqeel."

Ketika nama Raqeel disebut, kakek dan Gavi angkat tangan. Susah jika berurusan dengan anak sulung dengan julukan kulkas seribu pintu, bahkan kakek langsung masuk, tidak mau ikut campur masalah saudara ini.

"Alah, Kakek. Nek, Abang. Bantu Nanas, ya?" Belum juga dapat balas, kehadiran seorang laki-laki membuat bulu kuduknya meremang. Bahkan, suara derap langkah itu mengusik gendang telinga.

"Siapa yang merusak tanaman gue!" Itu bukan kalimat tanya, tapi bentakan sebagai bentuk kemarahan yang tertuju pada siapa saja yang merusak. "Annasya Dee?"

"S—sorry, gue nggak sengaja. Maaf, gue belum bisa menjinakkan bola biar nggak kena tanaman lo. Tadi gue cuma drible bola terus nggak sengaja kena," katanya dengan tersenyum kikuk, sedang ia tidak berani melihat kakaknya. "Nanti gue ganti," lanjut Nasya.

"Nggak perlu, dasar ceroboh! Lo cuma perusak!" Perkataan singkat, tapi nyelekit di hati, bahkan Nasya yang ketakutan kini memilih bersembunyi di belakang punggung Gavi. "Nggak guna, ratu drama!"

"Udah, Qeel. Dia sudah minta maaf dan mengakui kesalahan." Gavi berusaha menjadi penengah, tidak ingin keributan terus terjadi. Nenek pun pergi ke dapur, yakin jika ada Gavi, maka permasalahan akan selesai. Awalnya Raqeel masih menggebu tidak terima, tapi perkataan Gavi membuatnya sedikit luluh.

"Lo tadi menawarkan bakal ngasih ganti, 'kan? Sebagai gantinya lo buang bangkai tikus dan tanaman busuk di kamar gue." Perkataan Raqeel tidak bisa ditawar, bahkan dengan ia merengek.

Definisi menyiksa adik sendiri, sudah tau Nasya begitu jijik dengan tikus Raqeel tetap memaksa agar ia mengambil dengan sarung tangan bewarna putih, alhasil darahnya masih terlihat dan baunya anyir.

Tidak bisa dicegah, bau itu membuat Nasya mual dan meneteskan air mata. Hanya untuk menebus satu kesalahan, ia harus seperti ini. Jika membuat kesalahan dengan Gavi, mungkin akan jauh berbeda.

"Abang ...." Lirihnya seakan mengadu, pada remaja yang sedang duduk menikmati kopi dan pemandangan senja di sore hari. "Gue nggak tega lihat tikusnya mati."

Gavi pun mengangguk, ia sadar betul apa yang menjadi kesukaan dan ketidaksukaan adeknya, bahkan jika boleh menduga ia lebih bisa memahami Nasya daripada Raqeel.

"Udah tau Raqeel kalau ngamuk nggak kenal daratan, masih aja senang buat masalah sama dia," balas Gavi menggeleng, ia meminta Nasya untuk duduk. "Nas, besok sekolah udah aktif."

"Wah, iya? Tapi rambut lo masih kayak anak ayam ... nggak takut kena razia?" Perlahan Nasya mulai bisa tenang dan berhenti menangis. "Anak ayam pala lo!"

Jelas, Gavi tidak terima susah-susah mewarnai rambut dengan warna dark blue malah dibilang seperti anak ayam warna-warni.




Tipe kakak kalian Raqeel atau Gavi?

Me: Kalau bisa dua kenapa satu, ye kan :)

Okey, see u next chapter♡

Gravitasi: Another LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang