Lilin yang Tidak Pernah Menyala

262 4 2
                                    

Semburat merah terlihat di kaki cakrawala. Penuh. Senja yang sempurna. Suasana kota semakin ramai menjelang malam. Lampu-lampu mulai berpendar terang di setiap tempat. Jalanan yang padat kendaraan itu terlihat lancar.

Azza duduk di kursi dengan menghadap jendela besar di ruang kerjanya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dan pandangannya menerawang ke bawah—memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota. Piasan senja menerpa wajah manisnya. Ia memejamkan mata yang terasa semakin memanas. Sial. Kantung matanya tidak kuat menahan desakan air mata yang menyeruak keluar, hingga membentuk anak sungai di tebing pipinya.

Selalu seperti ini. Sesak. Sebesar apa pun dirinya mencoba menerima kenyataan, tetapi hatinya tidak. Hatinya masih pada satu orang. Satu nama.

Dalam sekali hentakan ia memutar kursi menghadap netbook yang masih menyala. Kesibukannya sebagai seorang editor di sebuah perusahaan penerbitan buku membuat Azza memiliki sedikit waktu luang. Kesibukan adalah pilihannya. Kesibukan bisa mengalihkan dunianya, mengalihkan pikirannya, juga ... mengalihkan perasaannya.

Azza melirik jam di meja kerja. Tangannya menjulur untuk mematikan netbook, lantas memasukkannya ke dalam tas. Baru saja ia berdiri dan hendak melangkahkan kaki untuk pulang, tiba-tiba ponselnya berdering. Gadis itu mengerutkan kening ketika melihat nama yang terpampang di layar ponsel. Ya, ia mengenalnya, tentu saja. Sangat mengenalnya. Dan untuk kesekian kali, jantungnya berpacu kencang. Padahal hanya melihat namanya saja. Bagaimana jika langsung berhadapan dengannya?

Ponsel itu berdering lagi. Nyaring. Meronta-ronta minta diangkat. Hal itu membuat Azza tersadar dari lamunannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menyiapkan hati untuk kembali mendengar suara orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

"Halo?" sahutnya dengan suara yang ia paksakan untuk terdengar biasa.

"Kamu ke mana saja? Kita semakin jarang bertemu, Za," teriak seorang pria di seberang sana. Dengan gerakan cepat gadis itu menjauhkan ponsel itu jika tidak ingin tuli secara mendadak.

"Kamu kan tahu aku sibuk," akunya dengan senyum getir.

"Aku ingin bertemu kamu sekarang. Aku tunggu di tempat biasa. Penting. Kalau kamu nggak datang, persahabatan kita putus."

Sambungan telepon diputus secara sepihak. Lagi-lagi Azza tersenyum getir mengingat kenyataan yang sama sekali tidak berpihak padanya. Dan sekarang, kenyataan itu semakin mengikatnya dengan harapan-harapan yang ia ketahui tidak akan menjadi nyata.

Pikirannya kembali pada beberapa minggu yang lalu. Sama seperti saat ini—saat orang yang sama berteriak ingin bertemu. Dan saat itulah sebuah kenyataan menghantam kepalanya. Menghancurkan harapannya. Awal dari segala kisah menyedihkan....

Aku merindukanmu, jerit hati kecil Azza saat ia sudah duduk berhadapan dengan Kevin. "Ada apa?" ia mencoba menormalkan suaranya. Hal yang selalu ia lakukan entah sejak kapan. Yang jelas pria di hadapannya ini adalah sahabat sekaligus orang yang dicintainya.

"Karena kamu adalah sahabatku, aku ingin kamu menjadi orang pertama yang mendengar hal ini."

"Apa?"

"Laila, dia juga mencintaiku. Hari ini aku menyatakan perasaanku padanya. Dan mulai saat ini dia resmi menjadi kekasihku."

Pengakuan yang tidak pernah Azza duga meluncur dengan indah dari mulut Kevin. Menggoreskan luka di hatinya. Dan episode sedih itu pun dimulai. Ia masih mencoba mencerna kata-kata Kevin.

Laila, dia juga mencintaiku. Hari ini aku menyatakan perasaanku padanya. Dan mulai saat ini dia resmi menjadi kekasihku.

Gadis itu linglung. Bingung dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Azza. Seharusnya ia tidak pernah mencintai Kevin, tidak pernah membangun perasaan yang salah di atas persahabatan itu. Cintanya telah membuat ia sakit, sangat sakit hingga ia tak bisa menerima hal paling menyakitkan dengan senyuman.

Rangkaian KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang