Badan setinggi tiang listrik, otot hampir menyamai pegulat, tapi kalau sedang merajuk, tingkahnya seperti anak kecil.Ini gambaran Nut yang saat ini sedang menopang wajah kecutnya. Mata seperti belati, menjelalat dan siap menusuk siapa saja. Bibir mengerucut, seolah dikunci rapat agar tidak memaki orang yang mana saja.
Gara-garanya, Sailub yang tidak membalas pesannya malah ditemukan makan dengan pujaan hatinya di sebuah restoran terkenal. Nut tidak mempermasalahkan dengan siapa lelaki itu berkencan, tapi Nut mempermasalahkan kenapa pesannya tidak dibalas. Belum lagi Nut yang mengidam-idamkan makan di restoran terkenal, malah tidak diajak. Dia iri, dia dengki, dan dia ingin memutuskan hubungan pertemanannya dengan Sailub.
"Baiklah, besok aku akan mengajakmu makan di sana." Sailub tidak punya cara lain supaya Nut berhenti merajuk. Permintaan maafnya diabaikan, dan hubungan pertemanan sudah diputuskan. "Aku akan mengajakmu nonton, belanja, makan, dan melakukan apapun yang kau mau. Aku juga akan menanggung semua pengeluarannya."
Makan di restoran terkenal sudah jadi basi karena Nut bukan yang pertama diajak. Nonton, belanja, makan, juga sedang tidak ingin dilakukannya. Nut hanya ingin menghabiskan kekesalnnya, dan mendiamkan Sailub sampai dia puas. Tapi kalau semua pengeluaran dibayari, Nut agak tertarik.
Meski begitu dia masih menolak.
"Tidak mau!"
"Lalu kau mau apa?"
Nut hanya ingin merajuk.
"Tidak mau apa-apa. Aku benci kau. Aku tidak mau lagi berteman denganmu!" Nut mendengus, kemudian memandang Sailub, jijik. "Pergi sana. Mengotori pandanganku saja kalau ada kau di sini!"
Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa Sailub lakukan. Dia harus menunggu suasana hati Nut membaik, baru dia bisa mulai meminta maaf lagi.
Nut mestinya akan memaafkannya, kapan tepatnya, jelas bukan dalam waktu dekat. Soalnya selain Nut, teman lainnya juga mengalami nasib yang sama. Pavel belum dimaafkan sejak terakhir kali membohongi Nut. Sonic juga belum dimaafkan sejak terakhir kali dia menjaili Nut. Dan masih banyak lagi teman yang didiamkan Nut hanya karena masalah sepele.
Ada yang bilang kalau Nut terus-terusan seperti ini, dia akan kehilangan teman, kemudian tidak akan memiliki siapapun. Nyatanya, meski semua orang sering dibuat pusing oleh tingkah kekanakannya, semua orang tetap setia menjadi teman Nut. Mereka akan menunggu dimaafkan, lalu berteman kembali, kemudian membuat ulah lagi. Begitulah siklus pertemanan mereka, yang akan berlangsung dalam waktu lama, bahkan sampai tua nanti.
"Kuantar kau pulang dulu kalau begitu."
"Tidak perlu!"
"Kau mau pulang naik taksi?"
"Tidak!"
"Lalu?"
Nut menyipitkan matanya. Benci dengan pertanyaan yang terlalu intens. "Tidak usah tanya-tanya. Pulang kapan, naik apa, itu urusanku. Kalau aku mau duduk di sini sampai besok, sampai lusa, atau sampai dunia kiamat, itu juga urusanku!"
Sailub menghembuskan napasnya. Tidak boleh habis kesabaran, begitu sugestinya pada diri sendiri.
"Pergi. Pergi!" usir Nut tanpa pandang bulu.
"Baiklah. Aku akan menghubungimu sebelum tengah malam. Kalau kau masih ada di sini saat itu, aku akan datang dan menyeretmu pulang."
Nut tidak menggubrisnya. "Pulang sana!" malah mengusirnya lagi.
Sekali lagi Sailub menghembuskan napasnya panjang. Ingin berdiam diri sebentar di tempat itu, tapi lirikan tajam Nut seperti melubangi tubuhnya. Kalau tidak segera pergi, bisa-bisa dia mati keracunan ocehan Nut. Jadi, dia berpamitan. Meninggalkan tempat dengan hati yang tidak enak.
