Tadi sakitnya seserius itu. Setelah masuk ruang rawat, sakitnya berkurang drastis. Setelah dapat penanganan pertama, sakitnya hilang sama sekali. Tinggal rasa tidak nyaman di bagian abdominalnya. Meski begitu, Ping masih mendaftarkannya untuk perawatan tingkat lanjut.
Pemeriksaan lebih rinci dijalani Nut, bahkan yang menanganinya adalah dokter ternama di rumah sakit. Dokter spesialis penyakit dalam yang biaya konsultasi di tempat pakteknya sangat mahal. Tetapi diagnosa dokter spesial itu tidaklah spesial. Tidak ada indikasi penyakit serius, bahkan penyakit tidak serius pun tidak. Nut hanya mengalami kram perut.
"Bisa jadi karena pergerakan dadakan dengan intensitas tinggi," kata dokter spesialis itu. "Di lain waktu, lakukan pemanasan dulu supaya otot menjadi lentur dan terhindar dari cedera."
Nut memang salah. Makanya dia mengangguk saja. Siapa yang tahu kalau gerak cepatnya demi bisa mendapatkan malam panas dengan Ping, malah jadi petaka. Ngomong-ngomong, mereka juga melakukan pemanasan sebelum meceburkan diri dalam api percintaan. Tapi tampaknya pemanasan yang itu tidak sama dengan pemanasan yang dikatakan dokter.
"Bisa juga karena rangsangan dari dalam. Apakah Anda makan sesuatu yang merangsang otot perut sebelum ini? Sesuatu yang dingin contohnya. Atau sesuatu yang pedas."
Nut mengingatnya dan dengan jujur mengatakan kalau dia makan es krim banyak sekali sebelumnya. Dia sempat merasakan dingin yang menembus perutnya, tapi sensasi itu dimakluminya. Makan terus seperti tak ada kenyang. Maklum, Nut suka dessert, terutama es krim. Dan dessert buatan Mek benar-benar enak.
"Sesuatu yang dingin bisa membuat otot jadi tegang. Lain kali, makan es krim dalam jumlah wajar saja!"
Tidak ada perawatan dan pengobatan yang bertele-tele, bahkan Nut boleh pulang kalau Nut sendiri menginginkannya. Ping yang malah mengambil keputusan. Bersikeras agar Nut tinggal setidaknya semalam untuk memastikan kesehatan Nut terpantau dan kram perut tidak datang lagi.
Nut tinggal berdua dengan Ping di ruang rawat khusus. Fasilitas dalam ruangan melebihi hotel. Komplit dengan Tv, kulkas, dan Ac. Bahkan ada tempat tidur khusus untuk keluarga pasien yang sedang berjaga. Ping ada di sana sekarang. Duduk bersandar sambil mengutak-atik ponselnya. Nut mengawasinya terus. Sedikit banyak menyesal karena malam yang harusnya indah malah berakhir buruk.
"Ping ...,"
Ping mangalihkan pandangannya sesegera mungkin. Ber'hem pendek untuk menyahuti panggilan Nut.
"Aku tidak bisa tidur." Sudah lewat tengah malam, tapi Nut tidak mengantuk. Penyesalan menggerogotinya sementara ini, membuatnya kesal bukan main sampai-sampai tidak bisa tidur. "Apakah kau juga tidak bisa tidur?"
Ping mematikan ponselnya, meletakkannya di meja terdekat, kemudian merebahkan badan di kasur.
"Aku mengantuk sekali dan sudah mau tidur. Selamat malam!" Saklar yang tidak jauh dari situ dipencet Ping, mematikan lampu utama yang membuat ruangan setengah gelap. "Segera tidur supaya besok kita bisa keluar dari sini lebih awal!"
"Aku kan sudah bilang kalau aku tak bisa tidur?"
"Pejamkan matamu, nanti juga tertidur sendiri. Selamat malam, Nut!" ulang Ping.
Bukannya mengiyakan, Nut malah mengatakan kalau dia tidak mengantuk.
"Pejamkan matamu!"
"Tidak bisa." Lebih tepatnya tidak mau.
Ada sedikit sekali waktu di mana mereka bisa tidur bersama, tapi satu dari sedikit waktu itu malah dihabiskan di rumah sakit. Meski masih satu kamar, tapi tidak satu ranjang. Mereka tidur berjarak. Nut tidak bisa membiarkan kesempatannya hilang. Jadi, dia bangun dari ranjang rawatnya, berjalan tergesa-gesa ke ranjang Ping, kemudian menyusul untuk berbaring di sebelahnya. Masuk ke dalam pelukan Ping dan memejamkan mata meski tidak mengantuk.