Wajah Lily setelah keluar toilet berubah total, mata gadis itu terlihat kosong. Seperti wajah Raisa bulan lalu. Tangan satunya menggenggam perutnya yang barusan ditendang oleh lutut Nura, gelegatnya tidak seperti orang kesakitan. Terlihat lebih ke orang dingin tak mengenal isi.
Kosong.
"Ly! Lo dari mana, sih?" Kaze berlari menghampiri Lily yang baru keluar gerbang sekolah. "Gue nunggu lo tahu."
"Padahal gak usah mempersulit diri. Lo kan bisa pulang sendiri, dan gue bisa naik bus atau angkutan umum." Lily berusaha menarik senyum biasanya.
"Ly, pulang bareng?"
Pertanyaan dari seorang lelaki yang mau dihindari sudah menakuti Lily sekarang. Ryan datang dengan wajah sumringahnya. Raut yang tak biasa dipakai kepada orang lain.
Lily menatap dua lelaki itu. Terutama Kaze, dia seakan memberi tahu dirinya betapa mahalnya waktu ketika menunggunya ke toilet, dan akan sakit hati bila dirinya menolak penawarannya pulang bersama. Juga tatapan Ryan yang semakin lama semakin sumringah seakan mengancamnya ingin membunuh Kaze sekarang juga bila tawaran tadi ditolak.
"Gue mau pulang sendiri. Thanks tawaran kalian." Bahkan terdengar datar Lily mengajukan balasan itu. "Gue masih sadar diri, kalian itu orangnya ganteng-ganteng. Gak cocok antar gue yang culun begini."
Ryan mengernyit. "Ngomong apa tadi!? Gue tuli!" Lelaki itu menggosokkan satu telinganya seolah ada kotoran telinga di dalamnya. "Atau jangan-jangan, lo ngira gua suka sama lo!?" sungutnya benar-benar tak menyangka kepada Lily yang memiliki pengharapan lebih padanya. "Najis!"
"Kalau gitu, lo buat apa dekatin gue tiga hari ini? Bahkan sok akrab sama nyokap gue kemarin-kemarin." Lily mengangkat alisnya polos. Sungguh, Lily merasa gemas ketika Ryan tertangkap rasa gugup seperti itu.
Sejenak, suasana hening.
"Gue orangnya gak mau ingkar janji. Gue udah janji sama nyokap lo buat jagain lo yang lemah ini." Ryan serius mengatakannya.
Kaze kebingungan mendengarnya.
Lily terdiam mendengar sahutan Ryan.
"Iya, Tant, saya janji akan menjaga Lily."
Baru tahu ada sosok lelaki memegang janji begitu kuat, bahkan Lily sudah melupakan perjanjian itu.
Pantas saja tiga hari kemarin lelaki itu bertindak sok peduli. Seakan-akan dia adalah penjaga Lily sesungguhnya. Pantas saja lelaki itu berbaik hati membersihkan kos-nya yang jarang disapu, sementara sang pemilik kos tersebut disarankan duduk manis di sofa. Pantas saja Ryan berlagak pintar memasak dengan membawakan Lily ayam goreng gosong yang ditaburi garam, hanya garam. Dan pantas saja di hari ke-tiga, di saat Lily bisa tersenyum tulus kepada Ryan ketika berkumpul bersama Linda—Kaze sebagai sanksi asli bila Ryan teman barunya, teman baiknya, tapi lelaki itu hanya mengangkat alis tak paham.
Lily patut disorak terlalu berharap sekarang. Untungnya Ryan masih kukuh pada wajah garangnya. Tidak membuktikan ingin tertawa meledek. Dan bersyukur Kaze tetap setia memasang wajah kebingungan seperti itu. Lily jadi tak usah menempel muka merah malu meski pengakuan Ryan tadi sungguh menonjoknya.
"Gue udah sembuh, Ryan." Mata Lily kembali mengosong, jelas pikirannya mendadak berlabuh ke ancaman Nura. "Makasih selama tiga hari ini. Gue pulang dulu."
Lily membalikkan tubuhnya menghadap jalan raya. Lebih tepatnya pintu bus yang ternyata pas berhenti menunggu Lily masuk. Ia sempat melirik kedua lelaki itu tetapi dengan cepat membalik kembali ke arah pintu bus. Lily tidak akan terganggu, ia terus memasuki bus lebih dalam dan duduk nyaman di kursi penumpang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lily Kacamata - [ COMPLETED ]
Fiksi Remaja"Gimana rasanya bebas? Gue gak tau ... yang gue tahu, gue selalu dikekang. Dan setiap hari rasanya kayak dicekik pelan-pelan." Hidupnya diatur. Langkahnya diawasi. Suaranya diredam. Sampai di satu titik, ia bertanya, "Kalau semua ini gak berubah...