PROLOG

815 60 13
                                    

“Papa tidak percaya kalau kamu dikeluarkan lagi dari sekolahmu untuk yang ketiga kalinya. Mau jadi apa kamu nanti, huh?”

“Yang penting muka aku bisa menutupinya dengan baik, walaupun jejak digitalku jelek, Pa. Zaman sekarang mah orang mana peduli sama masa lalu pasangannya, asal dikibas duit aja dijamin langsung klepek-klepek. Ngomong-ngomong, makasih buat gen dan karir sempurnanya, ya! Berkat kecebong Papa, aku bisa ngerasain gimana muaknya dikejar-kejar sama orang yang terobsesi ketampananku ini.”

Yang lebih tua tentu secara spontan meraup wajahnya dengan air muka frustasi. Tiada habisnya dengan rasa lelah yang menghampiri kala putranya mulai membual ketika ia berniat untuk menasihati. “Sky!” seru Darren sekedar untuk membuat sang anak berhenti mengoceh panjang.

Namun, bukannya takut, pemuda tanggung itu justru mendelik tajam. “Nio, Pa. Nio! Bukan Galen apalagi Sky atau Skylar!” jeritnya tak terima.

Wajah Nio merengut kesal. Bukan apa-apa sebenernya. Sang Ayah memang terbiasa memanggilnya demikian. Hanya saja Nio mulai tak suka dengan panggilan itu semenjak sang Ibu selaku pencetus pertama dari panggilan tersebut nyatanya ketahuan selingkuh dengan mata kepalanya sendiri hingga perlahan-lahan Nio mulai jijik dengan panggilan sayang berupa ‘Sky’.

Mendengkus, pria itu memberi gesture kepada sang supir agar berhenti tatkala matanya tanpa sengaja melirik ke arah bangunan besar yang tertutupi oleh pagar tinggi. Diliriknya rupa sang anak yang masih cemberut, merajuk ketika tanpa sengaja mengingat sang Ibu.

“Papa harap ini sekolah terakhir kamu. Ingat, jangan berulah lagi atau Papa tidak segan-segan akan memasukkan kamu ke akademi militer biar kamu tahu rasa. Paham?”

Ya, ya,” sahut Nio malas-malasan sembari sempat memutar bola matanya. Ia lantas putuskan untuk keluar dari kursi penumpang yang tadi ia duduki bersama sang Ayah.

Tangannya menaikkan tali ransel punggung yang melorot dari bahu. Baru ingin mengambil langkah, Nio tiba-tiba berbalik. Membuat pergerakan sang Ayah yang ingin menutup kaca mobil reflek terhenti. Pria separuh baya tersebut nyaris merasa terharu, ia pikir Nio ingat jika dia harusnya berpamitan kepada orang tua.

“Aku nggak mau Ibu baru.”

Runtuh sudah harapan yang ia bangun sendiri tadi. “Demi Tuhan! Jalankan saja mobilnya sekarang, Nak!”

Senyum lebar terbit diwajah yang lebih muda tatkala melihat rupa kesal sang Ayah yang merasa tertuduh, meski sebenarnya tidaklah demikian.

Pemuda itu mengalihkan pandangannya ke arah sesosok lelaki muda yang tengah memegang kemudi sembari menatapnya dengan sorot lembutnya. “Bye, Baskara! Hati-hati bawa mobilnya, okay? Jangan lupa jemput gue jam lima sore.”

Kepalanya mengangguk paham. “Baik, Tuan Muda.”

Mendengar kalimat itu, spontan Nio berdecak. “Ingetin gue buat geplak kepala lo entar kalau lo panggil gue begitu lagi,” ujarnya ketus.

Sungguh canggung sekali mendengar teman masa kecilmu justru memanggilmu dengan panggilan demikian. Terutama mengingat fakta jika umur Baskara hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari Nio. Rasanya seperti agak kurang pantas, walaupun memandang status jika Baskara beserta keluarganya memang sudah sedari lama mengabdi sedari Kakek Nio masih ada.

Sedan berwarna hitam mengkilap itupun perlahan melebur dari jarak pandangnya. Hal itu menjadi pertanda bahwa Nio harus segera memasuki kawasan sekolah barunya. Terutama sosok satpam penjaga sekolah itu mulai berseru nyaring bahwa pagar sebentar lagi akan ia tutup.

Nio memutar tubuhnya kembali. Melihat banyaknya eksistensi yang menaruh atensi seakan telah menjadi makanan sehari-hari. Bedanya, kali ini bukan berasal dari para siswi yang seharusnya memuja, akan tetapi dari para siswa yang hampir keseluruhan seolah mencerca.

CARAT CAKE  +jaenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang