BAB 1

200 20 0
                                    

Kujatuhkan tubuhku di atas kursi kerja. Memijit pelipis yang semakin berdenyut. Beban pikiran yang kurasakan beberapa hari ini membuat sakit kepalaku semakin menjadi.

Kupejamkan mata berharap rasa sakitnya mereda. Harusnya aku izin saja tidak datang ke kantor hari ini dan beristirahat di rumah. Akan tetapi, mengingat kondisi tidak nyaman yang kurasakan setiap berada di rumah, membuatku lebih memilih keluar dari rumah. Hanya office inilah tempatku untuk menenangkan diri. Tempat ternyamanku saat ini.

"Zie, kamu kenapa?" Fia rekan kerja satu ruangan denganku, menatap ku saat baru saja dia masuk ke dalam ruangan.

"Pusing ... dikit sih," ucapku.

Fia mendekatiku menempelkan punggung tangan nya di dahiku.

"Enggak panas."

"Aku cuma pusing, Fi. Bukan demam!" sahutku lalu melepaskan sling bag yang masih kupakai dan meletakan di atas meja.

Beginilah aku, setiap pergi kerja lebih memilih menggunakan tas ransel atau tas selempang, daripada menggunakan handbag seperti yang kebanyakan karyawan perempuan pakai di kantor ini.

Jika dibilang aku ini tomboi tidak juga. Tapi juga tidak sefeminim perempuan pada umumnya. Bisa dikatakan aku ini biasa-biasa saja, barang-barang yang kupakai pun standard dan tak harus branded. Asal merasa nyaman, ya aku pakai.

"Pusing kenapa? Kulihat dari kemarin tak semangat gitu."

Kuhembuskan nafas kasar, lalu beranjak dari duduk ku.

"Mau ke mana?" tanya Fia.

"Pantry. Aku butuh kopi sepertinya."

Setelahnya aku melenggang pergi meninggalkan ruangan.

*****

Aroma kopi yang menguar di indera penciumanku sedikit mampu menetralisir rasa pusing yang mendera. Aku mulai meneguknya perlahan. Saat cairan hitam pekat itu melewati tenggorokan ku, kupejamkan mataku menikmati sensasi rasa pahit berpadu dengan sedikit rasa manis dari gula yang kucampurkan dengan kopi.

Kubawa cangkir yang masih berisi lebih dari separoh isinya kedalam ruang kerjaku. Ruangan yang tadi masih sepi sekarang sudah ramai oleh karyawan yang mulai berdatangan.

Fia hanya melirik ku sekilas saat aku melewati depan meja kerjanya. Setelah meletakan cangkir di atas meja, kembali aku duduk di atas kursi. Membuka slingbag ku dan mengambil ponsel di dalam nya.

Membuka aplikasi whatsapp dan keningku berkerut. Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi. Tangan diatas meja masih memegang ponsel.

[Kenapa tadi tidak menunggu Kakak? Kan bisa Kak Bie antar ke kantor.]

Rangkaian kata yang dikirimkan oleh Kak Bie kepadaku. Memang sengaja aku keluar rumah pagi-pagi sekali. Tujuan nya hanya satu. Menghindari Kak Bie. Tapi kenapa seolah Kak Bie tidak perduli dengan semua sikapku yang jelas-jelas berusaha menghindari nya.

"Arghh!" Kupukul kepalaku beberapa kali dengan kepalan tanganku sendiri.

"Zie ... are you okay?"

Aku terjengit kaget. Fia sudah berdiri disampingku merangkul bahuku. Kulingkarkan tanganku di pinggang nya. Menyandarkan kepalaku di perut Fia.

Fia ini selain sebagai rekan kerja juga merangkap sebagai sahabat terbaik ku. Segala permasalahan hidup ku hampir delapan puluh persen Fia pun mengetahui nya. Karena biasanya hanya kepadanya lah aku sering bercerita.

Aku punya banyak teman, tapi hanya pada Fia lah aku merasa bisa berbagi kisah kehidupan. Dan Fia akan dengan senang hati mendengarkan keluh kesahku. Tak jarang pula dia yang akan berbagai solusi atas semua permasalahanku.

"Zie kenapa tuh Fi?"

Aku mendengar suara mas Roy yang bertanya pada Fia.

"Tidak tahu," jawab Fia ketus.

Aku mendongak menatap Fia yang masih saling pandang dengan Mas Roy.

"Fi!" panggil ku lirih membuat Fia menunduk beralih menatapku.

"Kamu tidak sedang baik-baik saja. Ada apa?" Fia memicing menatapku dan aku melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya.

Kuraih cangkir kopiku dan kembali menyesapnya. Fia menyeret kursi mendekat padaku.

"Ayo cerita."

Kembali kuhembuskan nafas kasar.

"Kak Bie ...."

Hanya satu kata itu yang kuucapkan, tapi Fia sudah langsung paham dengan maksudku.

"Kenapa lagi dengan Kak Bie. Ngajakin kawin?"

"Nikah Fia ... bukan kawin!" protesku.

" Ya sama aja kan. Nikah pun ujung-ujungnya juga kawin ? "

Kupukul pelan lengan nya dan dia terkekeh.

"Terus?" Fia mulai penasaran.

"Ya terus ... Aku kabur Fi. Masak iya aku bilang oke kak kita nikah, ya nggak mungkinlah, Fi."

"Sampai kapan kamu bisa kabur dari Kak Bie."

"Entahlah, Fi. Aku pun tak tahu." Aku mengedikkan bahu.

*****

Habibi Nizzar, dia adalah kakak lelakiku. Lebih tepatnya adalah kakak angkatku. Hampir sebagian teman kerjaku tahu dan kenal padanya karena Kak Bie, begitu biasa aku menyapanya, sering sekali mengantar jemputku ke kantor. Tak terkecuali Fia.

Sahabatku itu juga sudah paham betul dengan Kak Bie. Bahkan mengenai cerita antara aku dan Kak Bie, Fia tahu semuanya. Diluar dari aku yang sering bercerita kepadanya juga karena perlakuan Kak Bie terhadapku yang sudah dipahami dengan baik oleh Fia.

Dan sekarang, lelaki itu sudah duduk dengan tampan nya di sofa yang berada di lobi kantor. Apalagi jika bukan menunggu ku di saat jam pulang kantor seperti ini.

Padahal dari pagi aku berusaha menghindari nya, tapi sekarang justru dia sudah ada lagi disini. Lalu bagaimana caranya aku bisa menjauh dari nya jika Kak Bie selalu saja mendekat kepadaku.

"Woi!" Senggolan lengan berotot Mas Roy membuatku terkejut.

"Astaga! Ish Mas Roy. Kaget tau."

"Ngapain berdiri disini?" tanyanya menatapku tajam.

Mas Roy ini rekan sedivisi denganku. Aku dan dia sama-sama bekerja di bagian Technical. Hanya saja yang membedakan, jika aku dan Fia bekerja di bagian Technical Service Engineer sementara Mas Roy di bagian Technical Marketing Supervisor. Memang sih, jabatan Mas Roy lebih tinggi satu level diatasku. Tapi hal itu tidak menjadi penghalang untuk persahabatan kami.

Team Technical yang ada di perusahaan ini tidak lebih dari sepuluh orang. Dan diantara mereka hanya dengan Fia dan Mas Roy lah aku merasa lebih dekat dan berteman dengan nyaman. 

Terpaksa Menikah Dengan Teman Sekantor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang