BAB 8

32 2 0
                                    

Dengan perasaan gundah gulana aku melanglahkan kaki memasuki lobi kantor. Setelah kejadian semalam, aku belum lagi menjumpai kak Bie. Bahkan saat sarapan, Kak Bie juga tak terlihat di ruang makan. Entah ke mana perginya, karena aku pun tak berani bertanya pada Mama juga Papa.

Setelah memasukkan tas kerja ke dalam laci, aku kembali meninggalkan ruangan di mana meja kerjaku berada. Tujuan ku adalah pantry, membuat secangkir kopi sepertinya mampu membuat suasana hatiku sedikit membaik.

Tepat di ambang pintu ruangan, aku terkejut hingga sedikit melangkah mundur ke belakang karena hampir saja aku bertabrakan dengan Mas Roy.

"Astaga, Mas! bikin kaget saja," protesku mencoba menenangkan diri karena rasa keget yang baru saja menderaku.

"Mau ke mana?" Bukan menjawab perkataanku, kini justru Mas Roy bertanya kepadaku.

"Pantry," jawabku singkat.

Mas Roy hanya ber oh saja mendengar jawaban yang keluar dari mulutku, selanjutnya dia melewati sisi tubuhku dan menuju dimana meja kerjanya berada.

Seolah teringat sesuatu, aku membalikkan badan. Melihat punggung kokoh Mas Roy dari belakang.

"Mas Roy!" panggilku.

Si pemilik nama menoleh ke arahku. "Kamu memanggilku, Zie? ada apa?"

Ya, Tuhan! Aku bingung harus berkata apa pada Mas Roy. Rasanya susah sekali hanya ingin mengutarakan maksud hatiku.

"Zie!" panggil Mas Roy.

Aku tergagap dengan ragu aku berkata, "Eum ... Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Apa Mas Roy ada waktu. Mungkin saat lunch nanti."

Tampak Mas Roy menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia sedang bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan sesuatu yang akan kusampaikan kepadanya.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Zie? Apa ada hal pribadi atau mengenai pekerjaan."

"Hal pribadi."

Mas Roy mengangguk. "Okay. Nanti kita lunch bareng."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Lalu aku bergegas keluar ruangan. Aku tidak lupa akan tujuan utamaku tadi. Yaitu membuat kopi.

-----

Seperti janjiku pada Mas Roy tadi, saat jam istirahat kantor Mas Roy membawaku keluar. Mendapat tatapan aneh dari Fia, tapi aku tak peduli. Andai saja Fia tak ada janji dengan klien, mungkin sahabatku itu sudah mengikutiku kala mengetahui aku pergi lunch berdua bersama Mas Roy.

Restoran sunda yang tak jauh dari kantor menjadi pilihan Mas Roy dan tentunya atas persetujuanku juga. Setelah memesan makanan yang didominasi dengan menu aneka persambalan, Mas Roy menatapku. Aku yang pada awalnya masih sibuk menekuri ponsel, mendongak merasa ada yang sedang memperhatikanku.

Tatapan mata kami beradu. Aku sedikit salah tingkah karena tak biasanya Mas Roy menatapku sedemikian rupa. Mata elangnya yang tajam menghunus tepat ke dalam bola mataku.

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" Mas Roy kembali bertanya.

Dan untuk kesekian kalinya, tiba-tiba aku merasa gugup.

"Apa tawaran Mas Roy tempo hari masih berlaku?" tanyaku lirih.

Mas Roy semakin menajamkan penglihatannya. Menatapku dalam diam dan sekali lagi kening nya tampak berkerut dalam.

"Tawaran?"

Rasanya aku ingin menenggelamkan diriku ke dasar samudra. Kenapa Mas Roy balik bertanya. Apakah dia sudah lupa dengan penawaran yang dia sampaikan kepadaku tempo hari. Ya, Tuhan ! malunya aku.

Merutuki kebodohanku sendiri karena menganggap Mas Roy serius dengan perkataan nya tempo hari. Nyatanya, apa yang pernah dia sampaikan itu hanyalah bualan semata. Atau jangan-jangan, Mas Roy menganggap apa yang aku ceritakan padanya itu hanya mengada-ada.

Aku masih terdiam, merutuki kebodohanku sendiri.

"Kalau yang kau maksud tawaran untuk menikah ___" Mas Roy menggantung ucapannya.

Aku mendongak menatapnya. Jadi? Mas Roy tidak main-main dengan tawaran menikah yang pernah dia bicarakan padaku.

"Itu masih berlaku," ucapnya lagi.

Sedikit kelegaan hinggap di hatiku. Ternyata tawaran nya masih berlaku. Dan seolah aku menemukan solusi atas semua beban masalahku.

"Mas," cicitku.

Kuhela napasku, "Aku ... aku ... ah, bolehkah aku menerima tawaran itu."

Sungguh aku malu mengungkapkan hal ini. Seorang Linzie mampu mempertaruhkan harga dirinya sendiri. Mengemis sebuah tawaran menikah dari seorang lelaki.

Astaga Zie! apa yang sudah kau lakukan ini? Sekali lagi aku Merutuki kebodohanku.

"Mas Roy ... maaf ... aduh!" aku gugup. Kugigit bibir dalamku. "Mas, tolong lupakan saja apa yang tadi aku katakan."

"Maksudnya?"

"Maksudku ... ah itu, maksudku ... anggap saja aku tak pernah berkata demikian."

"Kenapa bisa begitu?"

"Hah?"

"Padahal aku sangat mengharapkan itu. Aku berharap jika kau mau menerima tawaranku. "

"Maksud Mas Roy?"

"Menikah lah denganku, Zie."

Aku terdiam untuk sesaat. Tubuhku membeku. Apa dia sedang melamarku?

Keterdiamanku terusik dengan hadirnya pelayan yang sedang mengantar pesanan makanan kami.

"Ayo makan yang banyak. Jangan terlalu banyak berpikir. Nikmati saja apa yang ada sekarang. Masalah lain, kita pikirkan belakangan."

Aku ternganga mendengar ucapannya. Kadang aku heran dengan tipe lelaki di hadapanku ini. Terkadang bisa serius dan beberapa detik kemudian bisa kembali menjadi santai.

Ah entahlah, Mas Roy ini hanya membuatku tambah pusing.

Terpaksa Menikah Dengan Teman Sekantor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang