BAB 7

32 1 0
                                    

Baru juga mobil yang aku kendarai berhenti di depan halaman rumah, perasaanku sudah tidak enak. Seperti merasa akan ada sesuatu yang terjadi. Kulihat mobil papa ada di dalam garasi bersebelahan dengan mobil Kak Bie.

Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Belum juga jam Tujuh malam tapi seperti nya seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di rumah. Baru melangkahkan kaki di teras, suara-suara dari dalam rumah membuatku terpaku di tempat. 

"Kamu ini jangan aneh-aneh Habibie!"

Itu suara papa, tidak biasanya aku mendengar suara papa dengan nada tinggi seperti itu. 

"Pa, Habibie serius. Habibie tidak ada bercanda sedikitpun. Habibie sudah dewasa. Sudah bisa menentukan masa depan. Habibie tau apa yang bisa membuat Habibie bahagia. Dan Linzie ... Dia lah sumber kebahagiaan Habibie." 

Deg kurasa jantungku berhenti berdetak saat ini juga. Itu suara Kak Bie. Dan apa yang telah Kak Bie katakan? Oh tidak. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin Kak Bie mengaku di depan papa dan mama tentang perasaan nya padaku. Aku harus bagaimana sekarang. 

"Habibie! Linzie itu adikmu. Kamu tidak boleh seperti ini." 

"Tapi, Ma! Kita berdua hanyalah saudara angkat. Tidak ada ikatan darah diantara aku dan Linzie. Jadi, tidak ada yang salah jika aku menikahi Linzie." 

"Astaga, Habibie! Mama tidak tahu lagi harus berkata apa. Kamu dan Zie sudah mama besarkan bersama. Meski Zie bukanlah anak yang lahir dari rahim mama, tapi mama sudah menganggap Zie seperti anak kandung mama sendiri."

"Mama. Sekalipun aku menikahi Linzie, toh Linzie masih juga jadi anak mama kan?"

"Tapi, Bie .... "

"Sudah cukup! Habibie ... pikirkan baik-baik apa yang baru saja kamu katakan. Papa sayang sama kamu dan Zie. Dan papa berharap agar kamu dan Zie tetap menjadi saudara, sekarang dan selamanya," ucapan tegas papa yang masih kudengar. 

Aku tidak bisa membiarkan mereka terus berdebat hanya karenaku. Berpikir sejenak, memang aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini. Setidaknya untuk menghentikan niat Kak Bie yang ingin menikahiku. Bukan aku tidak suka dengan Kak Bie. Aku sayang degan Kak Bie, tapi tidak lebih rasa sayang adik pada kakak lelakinya. Selama ini Kak Bie lah tempatku bersandar dan bersama Kak Bie aku merasa nyaman. 

Kumantapkan hati melangkah memasuki rumah, dan begitu aku berdiri diantara mereka, tatapan Papa, Mama juga Kak Bie langsung tertuju ke arahku.

"Zie!" panggil Mama dengan suara lirih. "Kamu sudah pulang? Kapan sampai, kenapa Mama tidak mendengar suara mobilmu." 

"Oh itu Ma, mobilnya Zie parkir di depan pagar . Jadi Mama mungkin tak mendengar." 

"Zie! Kebetulan kamu datang. Ada yang ingin kakak bicarakan padamu." Kak Bie menatapku dengan tatapan penuh kelembutan, seperti yang biasa dia lakukan padaku. 

"Duduklah, Zie! titah Papa. 

Aku mengangguk dan duduk disamping Mama. 

Mama mengelus pelan lenganku masih dengan menatapku sayu. Aku tahu jika mama pasti merasa dilema dengan perkataan Kak Bie tadi. Dilain sisi, Mama juga sangat menyayangi Kak Bie dan aku pun tak memungkiri jika mama juga sangat menyayangiku. Selama aku menjadi anak angkat mereka, tak sekalipun mereka membedakan cara pengasuhan antara aku dengan Kak Bie. Mama dan papa menganggapku seperti anak kandung mereka sendiri. 

"Zie." panggil Kak Bie, membuatku mengalihkan perhatian kepadanya. 

"Aku sudah bicara pada papa dan mama perihal perasaanku padamu. Aku tak mampu menahannya lagi. Dan aku juga tidak akan membohongi diriku sendiri jika aku benar-benar tulus menyayangimu. Aku mencintaimu Zie, dan aku ingin menikahimu." 

Aku terperanjat, dengan gamblangnya Kak Bie berbicara seperti itu. Seolah tanpa beban. Padahal Papa sudah menghela nafas berat mendengar penuturan Kak Bie barusan. 

"Kak Bie, maafkan Zie. Tapi ... Zie tidak bisa. Zie tidak bisa menikah dengan kak Bie karena ...." sungguh berat aku mengatakan ini. Haruskah aku berbohong pada mereka. 

"Karena apa Zie?" tanya Kak Bie tidak sabar. 

"Karena ... karena Zie mau ... mau menikah. " setelah mengatakan itu segera kupejamkan mataku. Jangan ditanya bagaimana gugup nya aku. 

Sebuah keterpaksaan yang mengharuskanku berbohong pada mereka. Hanya itu jalan satu-satu jika aku tidak ingin Kak Bie terus mendesak ku dengan ide pernikahan konyolnya. 

"Apa? Kamu mau menikah?" Kak Bie tertawa sumbang. 

"Benarkah kamu ingin menikah Zie?" tanya papa tak percaya. 

Aku mengangguk lemah." Iya, Pa. Ada lelaki yang sudah melamar Zie. "

"Katakan padaku Zie. Siapa laki-laki yang telah berani melamarmu?"

"Nanti Kak Bie juga akan tahu siapa lelaki itu."

"Omong kosong! Jangan mencari-cari alasan Zie. Aku tahu kamu berbohong. Jangan pernah mempermainkanku."

"Kak Bie, Zizie tidak pernah sekalipun mempermainkan kakak. Dan apa yang Zie katakan tadi memang benar adanya. Tidak lama lagi mereka akan datang ke rumah ini untuk melamar Zie secara resmi. Maafkan aku kak."

Kulihat wajah Kak Bie yang mengeras. Aku tahu kak Bie marah. Yang bisa kulakukan hanya menunduk. Mama masih merangkul pundakku memberi kekuatan padaku. 

"Zie," panggil papa, aku mendongak menatapnya. "Bawa calon suamimu ke rumah ini. Secepatnya!"

"Baik, Pa." Aku yakin jika suara ku sudah bergetar karena sedari tadi debaran jantungku tak kunjung mereda. 

Bagaimana mungkin aku mengiyakan saja permintaan papa. 

Harus kah aku menerima tawaran mas Roy? 

Tapi memang hanya itu jalan satu-satunya yang kupunya.

"Papa, Mama, Zie masuk ke dalam dulu. Zie capek. Selamat malam."

Aku beranjak berdiri meninggalkan mereka yang masih menatap punggungku. Ingin segera mengurung diriku didalam kamar agar terbebas dari semua. 

Terpaksa Menikah Dengan Teman Sekantor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang