BAB 2

62 10 0
                                    

"Zie Zie!"

Deru napas hangat menyapu permukaan kulit wajahku. Aku terkesiap.

"Mas Roy!" Pekikku geram karena dia mengejutkan aku. Mendorong wajahnya menjauh dari wajahku.

Bagaimana aku tidak kaget jika wajah tampan Mas Roy begitu dekat di depan wajahku.

Mas Roy tergelak. "Habisnya kamu ngapain bengong di sini?"

"Oh itu .... anu ...." Aku menggaruk rambut belakangku.

Bingung mau menjawab apa. Sejatinya aku malas bertemu dengan Kak Bie yang untungnya belum melihatku yang tengah berdiri di belakang tembok ruang Recepsionist.

"Itu sepertinya ada kakakmu di lobi." Mas Roy berucap sambil melongokkan kepala ke depan.

Mas Roy memang sudah tahu dan sudah kenal dengan Kak Bie. Selain karena Kak Bie yang sering mengantar jemputku ke kantor juga karena Mas Roy pernah mengantarkan aku pulang ke rumah. Kebetulannya lagi bertemu dengan Kak Bie.

"Iya," jawabku malas tidak bersemangat.

"Lha terus ngapain masih bengong di sini?" tanya Mas Roy lagi dan aku hanya bisa nyengir.

"Eh tapi ya Zie ... sepertinya sudah lama aku tak melihat kakakmu," lanjutnya.

"Dia kerja di luar kota."

"Pantesan jarang lihat antar jemput kamu. Ya udah sana buruan pulang." Mas Roy mendorong-dorong punggungku dan aku tak bergeming.

"Mas Roy sendiri ngapain masih di sini?" tanyaku menyelidik.

"Ini aku juga mau pulang."

"a udah kalau begitu kita barengan aja ya, Mas."

Kulihat Mas Roy mengerutkan alis.

"Barengan? " tanyanya bingung.

Aku manggut-manggut.

"Bareng ke parkiran ... hehehehe." Aku nyengir.

"Bgapain? Kamu kan dah dijemput noh." Tunjuk mas Roy ke arah Kak Bie.

"Aku tadi bawa mobil sendiri, Mas."

"Lha kalo begitu ngapain minta jemput segala. Dasar cewek aneh."

Aku menggandeng lengan Mas Roy, berniat mencari perlindungan padanya. Badan Mas Roy yang tinggi cukup mampu menyembunyikan tubuhku yang sedikit mungil. Setidaknya hanya sampai di parkiran.

Area parkir ada di samping lobi. Tak harus melewati di mana Kak Bie berada, akan tetapi jika aku berjalan seorang diri sudah pasti akan dikenali jika seandainya tak sengaja Kak Bie melihat. Jika berjalan dengan Mas Roy keuntungan nya adalah tubuhku akan tertutupi oleh tubuh besar Mas Roy. Sehingga Kak Bie tak akan melihatku.

Tubuh Mas Roy menegang mendapat sentuhan tanganku. Apalagi aku yang bergelayut manja di lengannya membuat Mas Roy menatapku ngeri. Aku tidak perduli asalkan aku bisa lari dari Kak Bie.

"Ayo Mas, buruan!" Kutarik lengan Mas Roy dan sedikit menyeretnya.

Mas Roy hanya terdiam saat aku semakin menempelkan tubuhku padanya. Jantungku sudah berdegub kencang. Entah karena untuk pertama kali aku sedekat ini dengan Mas Roy atau karena aku takut ketahuan Kak Bie. Entahlah aku tidak tahu.

Yang kupikirkan sekarang hanyalah harus menjauh dari Kak Bie. Titik. Dan betapa aku merasa lega begitu menginjakan kaki di area parkir.

Kulepaskan tanganku yang tadi melilit lengan Mas Roy.

"Thanks, Mas." Aku mendongak menatapnya.

Mas Roy hanya tersenyum simpul tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Padahal biasanya dia akan sibuk bertanya ini dan itu jika ada hal yang tidak mengena atau hal yang membuat dia penasaran.

Kutinggalkan Mas Roy yang masih berdiri mematung. Agak heran sebenarnya dengan kelakuanya kali ini. Tapi aku tak ada waktu lagi dan harus segera melarikan diri meninggalkan kantor.

*****

Sejak di perjalanan tadi ponselku tak hentinya meraung. Siapa lagi pelakunya jika bukan Kak Bie. Kakakku itu terus saja menelepon dan mengirim berpuluh-puluh chat kepadaku. Tapi tak kuhiraukan. Aku hanya ingin segera pulang dan mengurung diri di dalam kamar sebelum Kak Bie datang.

Dan benar saja aku tak melihat mobil Kak Bie di halaman depan rumah. Bergegas aku turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.

Mendapati Mbok Isah yang berkutat di dapur.

"Sore, Mbok. Masak apa hari ini?"
Aku sudah berdiri di belakang Mbok Isah meneliti makanan apa yang sedang beliau masak.

"Haduh Zizie ... bikin simbok kaget saja."

Setelah mencuci tangan aku segera mengambil piring.

"Mama kapan pulang sih mbok?"

"Katanya lusa."

"Masih lama," desahku.

Jujur aku merasa kurang nyaman jika hanya berdua dengan Kak Bie tanpa adanya Papa dan Mama di rumah ini. Meskipun masih ada Mbok Isah dan Pak Darman, tukang kebun merangkap driver Papa.

Jika ada Papa dan Mama, Kak Bie tidak akan berani menunjukan ketertarikannya terhadapku. Akan tetapi jika di rumah hanya ada kami tanpa papa dan mama, maka bisa kupastikan jika perlakuan Kak Bie padaku membuatku kurang nyaman.

Kak Bie yang akan terus menempel padaku, mengikuti kemanapun kebaradaanku. Belum lagi tatapan memuja yang hanya ditunjukan kepadaku. Sungguh membuatku merasa tidak nyaman. Dan lama kelamaan aku menjadi risih sendiri.

Perhatian dan kasih sayang yang diberikannya padaku sudah tidak seperti dulu. Bukan lagi perhatian dari seorang kakak lelaki kepada adik perempuan nya. Melainkan perhatian dan kasih sayang dari seorang lelaki yang memuja perempuan.

Tak hanya satu kali dua kali kak Bie menyatakan perasaan cintanya padaku. Dan dengan terang-terangan Kak Bie mengatakan jika dia jatuh cinta kepadaku. Melihatku tak lagi sebagai adik perempuan nya. Melainkan sebagai perempuan yang ingin dijadikan kekasihnya.

Parahnya lagi, yang membuatku benar-benar menghindarinya dan enggan bertemu dengan nya adalah karena permintaannya yang ingin menikahi ku. Bahkan Kak Bie juga mengatakan jika setelah kepulangan papa dan mama, dia akan membicarakan hal ini pada mereka.

Aku rasa dia sudah gila. Apa coba yang ada di otaknya itu.

Terpaksa Menikah Dengan Teman Sekantor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang