BAB 7

3 0 0
                                    


Pagi itu, Rizz bersama kawan-kawannya bersiap-siap untuk memulai perjalanan menuju perbatasan. Perjalanan yang mereka hadapi tidaklah ringan, dengan jarak yang cukup jauh, diperkirakan memakan waktu tujuh hari untuk mencapai tujuan. Langit pagi itu cerah, matahari menyinari perjalanan mereka sebagai awal dari petualangan yang menantang.

Saat itu, hanya ada tiga ekor kuda yang mereka miliki, sehingga Rizz dengan tegas meminta Sherryn, salah satu temannya, untuk duduk di belakangnya.

"Hah? Tunggu... aku akan bersama Alice saja," ucap Sherryn dengan wajah yang merah merona.

Rizz membalikkan kepalanya, sedikit terkejut dengan permintaan Sherryn. Tatapan mereka bertemu, dan Sherryn dengan cepat menghindari kontak mata, fokus pada horison yang terbentang di depan mereka.

"Heh? Kenapa kamu tidak mau dengannya, apa kamu..." goda Alice sambil tersenyum pada Sherryn.

"Ti–tidak apa-apa, dia itu bau, jadi ayo berangkat," wajah Sherryn tampak memerah.

Rizz hanya menatap Sherryn, heran dengan perkataannya, "Gak bau sama sekali," gumam Rizz sambil mengendus-endus badannya.

Kakek Eunden merentangkan senyum tulusnya, merangkul Sherryn erat. "Selamat jalan, nak. Aku yakin kebenaran dibalik tragedi Desa Klaibra akan segera terkuak," ucapnya sambil menatap mata Sherryn penuh harap.

Sherryn tersenyum setengah getir, merasa kehangatan pelukan kakeknya. "Kami akan baik-baik saja, Kakek. Aku harap begitu," ucapnya sambil menatap mata bijak sang kakek.

Kakek Eunden kemudian mengangkat tangannya, memberi restu. "Aku percaya kalian akan melakukan yang terbaik. Tetaplah kuat dan bersatu."

Saat berpisah, Sherryn tak bisa menahan haru. Dia memeluk kakeknya erat, berdoa dalam hati agar langkah-langkah Kakek Eunden selalu dilindungi dalam setiap petualangan hidupnya. "Semoga kesehatan dan keberuntungan senantiasa menyertaimu, Kakek," bisiknya pelan.

Malam sebelum keberangkatan mereka, Sherryn terus membujuk Kakek Eunden agar ikut ke perbatasan. Dalam sorot matanya yang penuh keinginan, Sherryn bertanya, "Kakek, tanaman seperti apa yang sebenarnya sedang kau cari?"

"Aku sedang mencari tanaman herbal yang sangat langka," kata Kakek Eunden sambil menggenggam seikat peta kuno di tangannya. "Tanaman tersebut bentuknya mirip dengan jahe, namun yang membedakannya adalah warna rimpangnya. Kalau jahe berwarna merah dan kuning, sedangkan rimpang tanaman herbal langka ini berwarna ungu."

Sherryn mengernyitkan dahi, matanya berbinar-binar oleh keingintahuan. "Tanaman dengan rimpang ungu? Aku belum pernah mendengar tentang tanaman itu sebelumnya. Apakah ada legenda atau cerita di sekitar tanaman itu?"

Kakek Eunden tersenyum misterius, mengingat-ingat masa lalu. "Legenda menyebutkan bahwa tanaman ini memiliki kekuatan penyembuhan yang dahsyat. Dikatakan bahwa hanya yang memiliki hati murni dan niat tulus yang dapat menemukannya. Dan, Sherryn, aku harap kamu bisa menemukannya suatu saat nanti."

Sherryn mengangguk, ekspresinya penuh harap. "Aku harap demikian." Dia merenung sejenak, memikirkan tantangan dan misteri yang menanti mereka di perjalanan mendatang. Keberanian dan tekad membara di matanya, dan dia siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Setelah setengah hari menyusuri jalan menuju perbatasan, mereka ber-empat tiba di tepi sungai yang menawan. Sebuah kerumunan ramai terlihat dari kejauhan, memancing rasa penasaran mereka yang tak terbatas. Meskipun sadar akan status buronan mereka, mereka memutuskan untuk mendekati kerumunan tersebut dengan hati-hati, wajah mereka terlindungi oleh topeng-topeng misterius yang menyelimuti identitas sejati mereka.

RAVEN : RevolusionerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang