5

4.4K 273 15
                                        

Laras baru saja pulang dari mengantarkan kue yang ia buat subuh tadi ke para tetangga yang semalam turut membantunya. Sebenarnya ia tak banyak bergaul dengan warga sekitar, tetapi ia cukup dikenal karena usaha kuenya dan membuatnya otomatis menjalin hubungan baik dengan para tetangga yang sekaligus menjadi pelanggan Ayas Kitchen itu.

Suara merajuk Hapsari dari arah dapur, menarik Laras untuk mempercepat langkah memasuki rumah. Waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi. Dilihatnya Dirga baru saja menghabiskan sarapan paginya begitu memasuki dapur yang menyatu dengan ruang makan itu. Laras dapat mudah menebak suaminya itu pura-pura pamit untuk bekerja demi menemui Tsabitha, si istri tercinta.

Laras meletakkan kantong plastik berisi sayuran yang baru saja ia beli dari tukang sayur keliling di ujung komplek di meja dapur dengan hati-hati. Pasalnya aura ketegangan begitu terasa di sana. Sampai-sampai ia hanya mampu tersenyum tipis pada Hapsari meski dalam hati berniat ingin menyapa.

"Ini kan sifatnya urgent, bu. Dirga baru tahu barusan tadi." Dirga mencoba sehati-hati mungkin memberi penjelasan pada ibunya yang protes saat ia pamit untuk pergi.

"Iya ibu tau kalau itu urgent, tapi apa nggak bisa kamu pantau dari rumah saja? Ibu cuma seminggu lho di sini. Tapi sudah dua hari kamu tinggal pergi terus."

Dirga tampak menahan diri ingin membantah. Tapi fakta kalau ia kemarin meninggalkan ibunya hanya beberapa jam saja, seolah sang ibu lupakan.

"Dirga janji, sebelum makan siang, Dirga sudah pulang. Dirga makan siang di rumah. Sama Ibu," kata Dirga lagi.

"Kamu pasti ingkar lagi seperti kemarin. Lagian kerjaanmu ini aneh, bisa kerja cuma beberapa jam."

Laras paham Hapsari saat ini sedang dalam mode susah dirayu. Sepasang ibu dan anak itu berada di meja makan di sisi kanannya. "Kali ini, pasti tepati janji kan, Mas?" timpalnya yang membuat Dirga sontak mengangkat wajah.

"Iya ... iya, pasti!" jawab Dirga cepat.

"Insya Allah," tegur Hapsari.

"Iya, Insya Allah Dirga pulang tepat waktu, Bu. Biar bisa makan siang dengan ibu dan Laras." Sengaja Dirga menyebutkan nama itu, seraya memberi senyum penuh cinta pada Laras demi meminta dukungan, lagi.

Wanita paruh baya berhijab merah muda yang panjangnya mencapai pinggang itu hanya mengerucutkan bibir. Ia masih memasang raut wajah merajuk, tetapi putranya dengan cepat meraih tangannya lalu menciumnya.

"Dirga pamit, bu," kata anak lelakinya itu seraya beranjak dari kursi.

"Tunggu!" cegah Hapsari. "Kamu cuma pantau mobil yang kecelakaan ke tol dalam kota kan? Nggak datang ke kantor?"

"Iya, Bu."

"Kalau begitu ajaklah Ayas. Daripada dia diam di rumah. Dia pasti bosan sehari-hari di rumah terus. Ayas Kitchen juga belum buka, kan sayang?" Hapsari kini beralih pada Laras yang memasang ekspresi kaku. Bagaimana bisa ia ikut Dirga yang sebenarnya ingin pergi menemui Tsabitha.

"I...iya, Bu," jawab Laras yang sebenarnya ragu.

"Kalau begitu biar urusan masak serahin ke Ibu. Kamu jalan-jalan saja dulu sama Dirga." Hapsari tiba-tiba saja mengambil alih kantung plastik berisi bahan masakan yang baru Laras bawa dari luar tadi.

Dirga maupun Laras sama-sama tahu kalau Hapsari telah mengucapkan keputusan final. Keduanya berlalu dari dapur dengan hening tanpa menjawab apapun lagi.

***

Laras lupa, kapan terakhir kali ia berada di dalam mobil Dirga berdua saja. Seperti saat ini. Mengingat setelah dua bulan pernikahan, ia dan Dirga tak pernah pergi kemanapun lagi. Ia dan kesibukannya sehari-hari dengan Ayas Kitchen. Sementara Dirga dengan kehidupan normalnya bersama Tsabitha.

Waktu Yang Dinanti ✅️ | LENGKAP DI KK DAN EBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang