6

3.5K 269 24
                                    

Hawa sejuk yang berhembus dari pendingin udara, tak membuat tubuh keduanya luput dari peluh. Pelepasan berulang yang mereka lakukan beberapa saat lalu masih menyisakan debar tergesa dari dalam dada. Deru nafas memburu seakan beradu dari mereka yang kini masih saling berpeluk.

Lampu tidur yang menyala di kedua sisi ranjang sebagai sumber penerangan menjadikan keduanya tenggelam dalam keremangan. Setia memejamkan mata dengan tubuh yang sebenarnya masih mendamba. Si wanita lebih dulu membuka mata, wajahnya yang berada pada ceruk leher pria itu membuatnya lekat memandangi wajah damai lelaki yang tadi berlomba dengannya untuk saling memberikan kepuasan.

"Semangat banget tadi, memang nggak dapet jatah dari Laras, hm?"

Pertanyaan itu membuat sepasang mata si pria terbuka lebar. Ia menundukkan wajah dan mencium cepat bibir wanita yang menjadikan lengannya itu sebagai bantalan. "Bukannya kamu yang lebih semangat, Tsabitha Alia?" tanyanya meledek.

Wanita bertubuh mungil itu bangkit dari tidurnya sambil menjulurkan lidah. Ia turun dari tempat tidur sambil membawa serta selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Sementara Dirga dengan cepat meraih boxer miliknya di bawah ranjang untuk ia pakai.

Sementara Tsabitha memasuki kamar mandi, Dirga memeriksa ponselnya. Beberapa pesan masuk datang dari sang ibu, yang mengingatkannya untuk tidak pulang larut malam. Kasihan Ayas, katanya. Padahal menantu kesayangan ibunya itu pun sama sekali tidak menghubunginya hari ini.

Laras, jangankan memberikan jatah untuknya. Dicium di dapur kemarin saja, wanita itu seolah mengibarkan bendera perang. Memang, Dirga sempat berniat meminta hal itu pada Laras di malam sebelum ia menjemput ibunya ke Medan. Malam yang sama pula saat ia tak sengaja menemukan surat gugatan cerai yang akan Laras ajukan.

Setelah seniat itu menyiapkan perceraian, mustahil sekali perempuan itu mau melayani Dirga di atas ranjang, bukan?

***

Dua mangkuk Wonton Soup buatan Tsabitha tersaji di meja makan begitu Dirga selesai mandi. Tadi, ia membersihkan diri dengan cepat sebelum sang ibu kembali tak sabar menghubunginya untuk memintanya pulang. Memang setelah pulang bekerja tadi, ia langsung menuju rumah Tsabitha untuk melepas rindu. Yang berarti membuatnya terpaksa pulang terlambat ke rumah Laras.

"Jadi, ibumu akan pulang kapan?"

Sendok yang sudah terangkat berisikan kuah segar sup yang akan Dirga seruput itu berhenti di udara. Ia tercenung sebentar, sebelum kembali meletakkan sendoknya ke mangkuk.

"Ibu kamu akan pulang ke Medan berapa hari lagi?" Tsabitha mengulang pertanyaannya.

"Oh ... mungkin sekitar tiga hari lagi."

Tsabitha yang baru menarik kursi untuk ia duduki itu terlihat menganggukkan kepala, mengerti. "Dulu, ibu kamu nggak pernah bertahan lebih dari dua hari setiap menginap di sini ya, Di."

Penuturan istrinya itu sarat akan nada kesedihan. Dirga sendiri mengakui kalau sang ibu sudah tidak cocok dengan Tsabitha, bahkan sebelum Tsabitha melakukan kesalahan.

"Bi, kali ini ibu datang dalam rangka menemani Laras di 40 harian ayahnya kemarin. Dan, saat ayahnya Laras meninggal, ibu nggak datang sama sekali. Jadi ibu di sini lebih lama sekarang." Dirga mencoba menghibur sang istri.

Tsabitha mengangguk saja, sambil tersenyum tipis. Mereka menghabiskan makan malam mereka dalam diam.

"Pokoknya setelah ibu kamu pulang, aku nggak mau kamu tinggal pergi sampai dua minggu ke depan. Atau sebulan ke depan!" ucap Tsabitha yang kini sedang memeluk lengan Dirga, mengantar suaminya yang akan pergi itu ke depan pintu.

Waktu Yang Dinanti ✅️ | LENGKAP DI KK DAN EBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang