04 | Penasaran

90 13 0
                                        

Gasya itu termasuk jajaran manusia yang memiliki urat malu cukup tebal. Beda dengan sekumpulan manusia berstatus temannya di sekolah yang urat malunya telah putus. Mengingat kejadian kemarin membuatnya malu setengah mati dihadapan Dokter Monica.

"Ruha itu tuli, Gasya."

Penjelasan singkat Dokter Monica setelah membantu anak bernama Ruha itu berganti pakaian, benar-benar menampar dirinya. Pantas wanita itu tertawa saat ia melempar sandal hiunya. Tapi permintaan Dokter Monica selanjutnya lebih membuatnya bingung.

"Gasya, kamu mau jadi teman Ruha? Ruha anak baik. Dia kesepian di rumah ini."

Gasya sekalipun tak menjawab juga tak menolak. Ia malah melempar pertanyaan untuk Dokter Monica agar mau menjelaskan siapa sebenarnya Ruha. Kenapa bisa papanya begitu peduli saat anak itu hampir mati beberapa waktu lalu. Tapi yang ia dapat hanya sebuah senyuman. Wanita itu bilang orang tuanya yang lebih berhak untuk bercerita.

"Woi, Gasya! Jangan ngelamun, itu lauk lo dimaling Jendra sama Jagath."

Gasya hanya melirik sekilas Marchel yang baru bicara. Lantas kembali menyuap makan siangnya meskipun setengah lauknya telah raib dimakan dua manusia yang duduk didepannya. Kedua manusia itu spontan beradu pandang bingung.

"Lo sakit, Sya? Gak biasanya gini." Jendra alias Rajendra si manusia paling lebay menaruh telapak tangannya didahi Gasya. Ia menatap dua temannya yang lain dengan mendramatisir. "Otaknya panas ih, jangan-jangan kebalik waktu kompetisi taekwondo kemarin lagi."

Plak

Gasya menyingkirkan tangan Rajendra dari kepalanya dan menatap anak itu dengan tajam, dibalas cengiran.

"Tapi serius, lo kenapa sih? Emang bener dari sepulang kompetisi lo jadi pendiem banget kek banyak pikiran. Meskipun aslinya lo emang irit kata sih." Kali ini Marchel yang bertanya.

"Gapapa," singkat Gasya.

Ketiga orang itu langsung memutar mata dan menghela napas secara bersamaan.

"Jawaban template cewek jangan dipake. Cerita gih," ujar Jagath masih tak lepas dengan mulut mengunyah. Rajendra mengangguki.

"Bener tuh. Kalo lo punya masalah cerita Sya. Kita kan bestfriend forever."

Gasya melirik ketiga temannya bergantian. Ia menaruh sendoknya di meja dan menegakkan tubuh bersandar pada kursi. Tiga orang itu tak sabaran menunggu kata yang akan terucap dari mulutnya.

"Kayaknya papa gue selingkuh," gumam Gasya.

"APA?!"

Teriakan melengking dari tiga suara itu memenuhi kantin. Gasya sampai harus menutup telinganya. Marchel, Jagath dan Jendra berdiri saking terkejutnya. Tak peduli bahwa mereka sekarang menarik perhatian warga kantin lainnya.

"Lo... lo serius?" tanya Jagath yang tadi hampir menyemburkan makanannya saat berteriak.

"Lo kalo mau bercanda kira-kira dong, Sya. Jantung gue hampir dicabut malaikat karena bercandaan lo yang gak lucu itu." Marchel mendumel sambil mengelus dadanya kembali duduk.

"Gak ada yang lagi bercanda," ujar Gasya meminum es jeruknya.

"Tante Kara kurang apa coba? Udah pinter, cantik, baik hati, jadi dokter lagi. Modelan gitu masih aja diselingkuhin sama Om Kaezar. Gila aja." Dua orang lainnya mengangguki ucapan Rajendra.

"Emang lo ada bukti sampai bilang papa lo itu selingkuh?" tanya Marchel masih tak percaya.

"Kalo bukti yang lo maksud kaya foto tidur bareng atau ke gep langsung sih gak ada. Tapi papa bawa pulang bocah asing ke rumah." Gasya menunggu respon ketigannya yang mematung beberapa detik.

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang