02 | Rumah Baru

115 19 0
                                        

Satu jam berjuang di UGD, membuat wajah letih Karalyn terlihat jelas meskipun tertutupi masker medis. Ia membuang masker tersebut ke tempat sampah sebelum keluar dari ruangan. Menemukan sang suami, Alkaezar berdiri tegap menunggu di depan ruangan.

Karalyn menggelengkan kepalanya menjawab gestur bertanya yang suaminya lakukan. Tak ada ekspresi yang berarti dari pria angkuh tersebut.

"Pulanglah untuk istirahat. Aku akan menyuruh orang untuk mengurus pemakaman Lail." Alkaezar berbalik.

"Tunggu." Karalyn dengan cepat mencegahnya. "Lail masih bisa selamat kalau saja dibawa ke rumah sakit terdekat. Kenapa harus ke sini yang jarak tempuhnya memakan waktu satu jam?"

Alkaezar berbalik sambil menghela napas, menatap wajah sedih istrinya yang tidak berhasil menyelamatkan Elaila. Ia mengusap pundak sang istri dengan lembut. "Lail meninggal itu karena sudah takdir. Jangan merasa bersalah Kara, kamu sudah berusaha yang terbaik."

Karalyn menatap balik wajah sang suami. Begitu tau Elaila berniat membawa anak itu ke luar negeri, Alkaezar langsung menyusul ke bandara bersama anak buahnya. Alkaezar berkata akan membawa keduanya bersama kembali ke Keluarga Baldwin. Tapi naas penembakan itu terjadi membuat Elaila harus merenggang nyawa.

"Gimana dengan anak itu? Aku dengar dia pingsan di samping tubuh Lail."

"Ada Monic bersamanya. Monic bilang dia mungkin syok dengan kejadian itu sampai membuatnya pingsan. Siang nanti anak itu pasti sadar," jelas Alkaezar.

...

Monica Dianriza, dokter berparas lembut yang selalu menguncir rambutnya di belakang kepala. Dua jam ia berdiri di depan kamar jenazah, menunggu seorang bocah yang dititipkan Alkaezar padanya.

Bocah yang belum ia ketahui namanya itu menangis begitu sadar dan dengan susah payah bertanya keadaan bundanya. Tangisnya semakin pilu saat sampai di kamar jenazah dimana bundanya berada. Dua jam tanpa henti, membuat Monica khawatir karena keadaan anak itu sebelumnya.

"Anak itu masih di dalam?"

Monica yang berniat masuk ke kamar jenazah, menoleh begitu suara Alkaezar memasuki rungunya. Ia mengangguk mengiyakan.

"Sejak dibawa kesini sampai saat sadar, dia belum makan apapun. Aku takut dia akan kembali pingsan kalau terus-terusan menangisi kepergian Elaila," ujar Monica.

"Aku mengerti, biar anak itu aku urus. Tolong siapkan keperluan untuk besok. Ayah tak bisa menunggu lebih lama lagi." Alkaezar memberi tepukan lembut pada Monica yang lebih pendek.

Pria yang masih rapih dengan setelan formal tanpa jubah dokternya itu memasuki kamar jenazah dan menutupnya rapat tanpa menunggu respon Monica. Iris tajamnya menangkap sosok Ruha yang bersimpuh dengan tubuh bergetar di bawah brankar jenazah Elaila.

Ruha yang menyadari kehadiran Alkaezar mengangkat kepalanya dan berdiri menghalangi sosok tegap itu seolah melindungi jasad sang bunda. Alkaezar tersenyum kecil menatap wajah anak yang selalu disembunyikan Elaila selama ini. Parasnya tak mengecewakan seorang Baldwin, meski lelehan air mata membasahi kedua pipi merahnya karena terlalu lama menangis.

Alkaezar tak mengatakan apapun, sadar bahwa anak itu tak memakai alat bantu dengarnya. Ia dengan spontan memberikan pelukan pada tubuh kecil tersebut. Membelai lembut surai hitam Ruha seolah memberi keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.

Kehangatan yang tak pernah Ruha rasakan. Sejenak Ruha berpikir, mungkin seperti ini rasanya pelukan seorang ayah yang tak pernah ia dapatkan. Ia terlalu rapuh untuk memikirkan apakah orang didepannya itu baik atau jahat. Ruha membutuhkan sandaran dan Alkaezar datang diwaktu yang tepat.

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang