Bab 2

1K 102 6
                                    

Mumpung libur kita up yang santai-santai ajee dulu. Jangan lupa vote dan komennya!!😉😘

**
Didip nampaknya benar-benar tertarik dengan wanita berkerudung merah, yang beberapa waktu lalu berbelanja pada toko ibu. Hampir setiap hari rasanya aku di teror oleh pesan Didip yang menanyakan perihal perempuan berkerudung merah incaran Didip.

Bukannya tak mau mendukung kisah percintaan sepupuku, hanya saja aku kasihan jika perempuan berkerudung itu jatuh ke dalam tipu daya Fir’aun modern macam Didip. Mengingatkanku pada pepatah bahasa Jawa yang pernah aku dengar dari eyang.

Surgo manut neroko katut. Artinya kehidupan seorang istri ditentukan dari baik buruknya agama suami.

Kan kasihan perempuan itu nantinya. Kalau menikah dengan Didip surganya jadi tidak dirindukan.

Eh? tapi bisa saja Didip mempunyai ilmu agama yang terpendam di dalam jiwa maksiatnya itu.

Tapi tidak mungkin! selama menjadi sepupu Didip, aku hanya melihatnya sholat saat hari raya, saat dirumah eyang, dan sholat Jumat saja.

Sama saja sih denganku. Bedanya, paling tidak aku sholat sehari sekali. Sama seperti waktu adzan yang di siarkan di televisi.  

“Ken, waktu arisan kemarin to, ada temen ibuk yang bawa anaknya. Uayuu tenan... Iku lo kayak siapa itu artis yang main AADC, Dian Wiyoko?”

Suara ibuku menyentak lamunanku dan kembali pada realita.

"Siapa bu?" tanyaku sekali lagi karena sedikit asing dengan nama yang ibu sebutkan.

"Dian Wiyoko, yang artis itu."

Aku memutar bola mataku saat ibuku mengulang kembali nama artis yang dia maksudkan. “Dian Sastrowardoyo kali buk.”

Kupikir-pikir lagi, perpaduan nama aktris dan aktor kelas atas itu cocok juga. Mungkin bisa menjadi referensi bagi penggemar keduanya untuk memberi nama anak. 

“Ya pokoknya yang jadi Cinta itu... Terus nih..." tiba-tiba ibu memukul pelan lenganku, membuatku mau tak mau menatapnya."Bulikmu yang udah ngebet punya mantu, langsung deketin dia. Katanya mau dikenalin sama Didip. Hampir aja ibu kemaren keceplosan kalo Didipkan udah punya demenan jandanya itu.”

Tak habis pikir, hingga diakhir hubungannya Didip tak pernah memperkenalkan Janda Kembangnya pada sang ibu. Pantas saja Didip dicampakkan, wanita kan butuh kepastian, ini malah disembunyikan, sudah macam uang gajian.

Hubungan Didip dan Janda kembangnya saat itu memang disembunyikan dari ibu dan bapaknya. Sehingga setiap jadwal ngapel Didip akan menggunakan rumah ku sebagai basecamp zina mereka.

Tidak sampai kuda-kudaan sih, tapi ya tetap saja zina, saling menatap saja kan kata pak ustad sudah zina mata. Apalagi ini Didip dan janda. Tidak yakin kalau gaya pacarannya hanya bertukar kata, paling tidak pasti pernah bertukar saliva.

Maksudnya minum dari sedotan yang sama gitu lo...

“Ih... emang ibuk belum tau? udah putus katanya. Jandanya gak suka berondong agresif kayak Didip. Sukanya yang kayak pak Budi Djiwandono. Matang dan penuh kewibawaan.”

“Loh kok bisa? Padahal ibuk kira malah mau dikenalin sama bulikmu. Kasian Didip keliatan sayang banget sama jandanya itu, pasti dia stress gitu diputusin.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Boro-boro stress buk, keliatan sedih aja enggak. Malah kemaren udah mau menggaet mbak-mbak  yang dateng ke toko.”

Jujur saja bergosip dengan ibu sendiri adalah hal yang begitu menyenangkan. Apalagi kalau menggosipkan saudara sendiri. Benar-benar definisi dari memakan bangkai saudara sendiri.

Jawa-Jawa KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang