Tanpa fa fi fu lagi...Langsung aja!! semoga enggak banyak typonya😬
**
Tibalah waktu di mana Didip berkunjung ke rumah bersama mbak Khansa dan tentunya satu paket dengan anak mereka. Meskipun keduanya belum resmi menjadi sepasang suami istri, aku anggap anak mbak Khansa sudah menjadi anak Didip, yang mana akan menjadi keponakanku juga. Meski kelihatannya, anak itu tidak akan menerima gelar barunya dengan lapang dada. Mimik wajah anak mbak Khansa tidak seantusias ibunya maupun calon bapaknya. Sudah pasti anak itu datang dengan terpaksa.Kami, maksudku aku, kedua orang tuaku, dan tentunya mas Abi yang aku yakin juga dipaksa oleh ibu, menyambut ketiga tamu kami dengan ekspresi yang berbeda. Kedua orang tuaku menyambut kedatangan mereka dengan semangat dan antusias. Mas Abi jangan ditanya, tentu saja menyambut seadanya, seikhlasnya, dan semampunya. Begitu juga denganku yang saat ini tiba-tiba saja tertular sifat mas Abi.
Ketiga tamu kami menempatkan diri dengan nyaman di ruang tamu. Sebagai orang Jawa yang sangat fasih berbasa-basi dalam melayani tamu, bapak dan ibu menempatkan diri mereka dengan sangat baik tanpa kecanggungan sama sekali. Sedang aku dengan sadar dirinya pamit undur diri ke dapur, berencana membuatkan minuman serta mengambil suguhan yang tadi sempat ibu siapkan.
Aku tidak berjalan ke dapur sendirian. Ada langkah kaki lain yang mengikuti di belakangku. Membuat kepalaku sedikit menoleh untuk memastikan siapa sosok di belakangku saat ini.
Ternyata Didip.
Tak ingin berlama-lama menatapnya, aku membiarkannya saja. Tidak menyapanya, tidak juga mengusirnya segera. Aku terus berjalan ke arah dapur dan segera melakukan apa yang menjadi tujuanku saat ini.
"Mana gue bantuin bikinin minum," ucap Didip saat aku membuka rak di atas meja kompor untuk menurunkan beberapa gelas.
"Gak usah... lo kan tamu, lo temenin mbak Khansa di depan aja," balasku tanpa menatap ke arah Didip.
Aku tak mendengar jawaban apapun dari Didip, namun aku masih merasakan kehadirannya di belakangku.
"Sur..." panggil Didip tiba-tiba."Gue minta maaf soal omongan gue yang di butik tadi pagi... Maksud gue tadi..."
"Gue gak marah Dip..." aku membalikkan tubuhku dan memotong ucapan Didip dengan sedikit penekanan dan senyuman yang kupaksakan."Gak usah dipikiranlah... biasanyakan kita juga becanda kayak gitu."
Didip menatapku dengan ragu. Aku masih mempertahankan senyumku yang pasti terlihat canggung.
Aku tidak berbohong. Aku tidak marah, kalau kecewa mungkin ia. Tapi akhir-akhir ini rasa kecewa sudah bukan lagi hal yang menggangguku lagi bukan? selama aku masih menyimpan perasaan pada sepupuku ini, rasa kecewa mungkin akan terus menghantui.
"Oh... syukur deh kalo lo gak marah..." Didip terkekeh sambil menggaruk kepalanya.
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana lagi menghadapi situasi semacam ini, tanganku memainkan ujung bajuku menunggu kalimat lain yang mungkin akan Didip ucapkan. Tapi nampaknya tidak ada lagi kalimat lain yang akan Didip ucapkan. Iapun tidak pula segera beranjak pergi. Untuk itu aku kembali berbalik dan melanjutkan kegiatanku menyiapkan minuman yang sempat tertunda.
"Tapi kata mami tadi lo mau nangis di ruang ganti," ucap Didip tiba-tiba.
Halah! mami Jantes ini hiperbola sekali. Walaupun tidak salah juga ucapan mami Jantes, saat masuk ke ruang ganti aku memang menahan untuk tidak menangis. Tidak kusangka mami Jantes memperhatikanku dan malah mengatakannya pada Didip.
"Buktinya gue gak nangiskan?" tanyaku tanpa membalikkan tubuhku."Udahlah Dip...kayak gitu doang gak usah dibahas lagi. Gak penting juga."
Aku mencoba mengakhiri percakapan. Teh yang sudah jadipun terus-terusan ku aduk agar aku terlihat sibuk dan berharap Didip segera menjauh dari dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jawa-Jawa Kota
General FictionBagi Kenaka mempunyai saudara sepupu semacam Adipati seperti pedang bermata dua. Kadang menguntungkan kadang malah merugikan, dan lebih sering bagian meruginya. Meski begitu, kedua saling membantu satu sama lain, terutama dalam masalah asmara. Tanpa...