4 - you're leaving?

1 1 1
                                    

***

Joshua sedang meregistrasikan dirinya di meja resepsionis paling kiri. Aku bisa melihatnya dari celah rak buku di tempatku bersembunyi. Aku sudah menyuruhnya ke bagian 18B untuk menemuiku. Sebetulnya aku menuntunnya untuk menemukan pentunjukku. Dia lantas bergegas ke arah lorong di sebelah kiri arah pandangku. Dia melihat ke sekeliling dan malah menemukan secarik sticky notes kuning berbentuk hati. Bagus. Aku menuliskan sesuatu di sana.

Setelah menelaahnya selama beberapa detik, Joshua lantas berjalan ke tempat mesin minuman berada. Aku tidak menyuruhnya membeli minuman, tapi ada sesuatu yang harus diambilnya.

Tubuh tingginya memudahkan Joshua untuk menjangkau apa yang ada di bagian atas mesin. Enak sekali, padahal tadi aku berusaha menaruhnya dengan susah payah.

Aku juga menempelkan sticky notes kuningku di sebelahnya. Aku ada di lantai 2.

Dengan segera dia melangkahkan kakinya ke arah tangga. Sesampainya di atas, tatapan kami langsung bertemu. Aku memamerkan cengiran lebar saat dia mendekat ke arahku.

"Wow kamu bawain aku bunga? Makasih lho," seruku pura-pura terkejut.

"Saya ga paham kenapa kakak punya ide semacam ini."

Aku terkekeh. "Kamu ga tau aja kalo trend ini terkenal di Instagram."

Joshua mengambil posisi di sebelah kananku dan bersiap mengeluarkan alat tulis dan bukunya.

"Sebetulnya ini latihan biar kamu bisa inisiatif, apalagi pas pacaran. Nih ya, kalau kamu mau deketin cewek, kamu perlu tau juga hal-hal yang disukain dia."

Joshua terdiam.

"Dulu aja pas aku mau deketin cowok, aku sampe nontonin 101 ways to make a guy happy di YouTube," pamerku bangga. Waktu itu, aku benar-benar ingin dekat dengan seorang kakak kelas yang ramah sekali sama semua cewek. Aku mati-matian berusaha agar akulah yang menonjol di antara belasan cewek itu.

Dia mendelik ke arahku. "Kakak sering deketin cowok?"

"Nope. Cuma waktu itu cowoknya ganteng banget kayak pangeran pada zamannya. Gara-gara keseringan nonton Disney, aku jadi ikutan suka sama cowok itu."

Kurasa hatinya malah sedikit memanas? Dilihat dari alisnya yang mengerut dan matanya yang lantas enggan menatapku.

"Tapi pacar aku yang satu ini is waay more handsome though."

Aku melempar seulas senyum manis kepadanya. Setelah dipikir-pikir, move on dari manusia satu ini tampaknya akan memakan banyak waktu dan energi. Siapa yang bisa melupakan wajah serupawan ini? Aku mungkin terlanjur menggali kuburanku sendiri.

"Wait, papa call aku." Getaran di ponselku akhirnya berhenti saat aku menekan tombol hijau dengan lambang gagang telepon itu.

"Hi pa, aku lagi di perpus. Why are you calling?" Aku berbisik ke arah mic ponselku.

"Weekend ini kita berangkat ya, semuanya udah beres," sahut papa di seberang sana.

"Tiketnya? Papa pesen tanggal berapa?"

"Empat belas Februari malam. Jangan lupa barang kita harus siap dikirim duluan."

"Okay pa, malem ini aku packing semua barang aku. See you papa."

Telepon ini berakhir setelah papa mengingatkanku lagi untuk tepat waktu malam ini. Papa mau menjemput barangku dan mengirimnya secepat mungkin.

Waktu ternyata berlalu lebih cepat dari yang kuduga. Sisa sekitar empat hari lagi waktu yang bisa dihabiskan bersama Joshua. Gosh, sedih sekali menyadari bahwa dalam waktu dekat aku tidak lagi bisa melihat hoodie merah khas cowok di sebelahku ini.

Alih-alih mendengarkan lagu, akhir-akhir ini aku malah lebih senang memperhatikan tingkah laku pacarku. Entah cara makannya yang seperti pangeran dari Inggris atau cara belajarnya yang begitu fokus sampai-sampai orang bisa mengira kalau Joshua sedang berjuang pindah kuliah ke Harvard. I don't really know what, but something about him always calm me down.

"You're leaving?" tanya Joshua tanpa melepas pandangan dari lembaran kertas di hadapannya — yang seingatku merupakan buku paket tertebal bagi mahasiswa semester dua.

***

Breakup ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang