5 - the myth

5 1 1
                                    

***

"You're leaving?"

Aku membisu sejenak.

"Yes, I gotta leave this weekend," sahutku. Aku memang berniat memberitahunya tapi bukan hari ini.

"Rencana kita dibatalin?"

Aku menggeleng. "Ga kok, aku perginya Sabtu malem." Sekilas kuperhatikan raut wajah Joshua, lalu aku melanjutkan kalimatku. "Jangan khawatir sayangku," balasku sembari iseng mengusap rambutnya.

"Saya ga khawatir, penasaran aja ...," gumamnya pelan. Dia lantas melanjutkan belajarnya sementara aku kembali berkutat pada ponselku. Aku mulai bosan. Sebetulnya aku mengajak ke sini karena tempatnya adem, cocok sekali menjadi tempat untuk berlama-lama berbincang. Tapi sayangnya, cowok di sebelahku ini malah ada quiz besok. Aku jelas tidak ingin mengganggu studinya.

Aku sudah memasuki semester 6 yang merupakan semester khusus magang — dengan catatan IPK sudah memenuhi standar dari fakultas. Aku masih ingin tinggal di Indonesia, tapi beberapa bulan lalu diumumkan bahwa papa dipindahtugaskan ke Boston. Bayangkan, kurang jauh apa tempat itu?

Mau tidak mau, aku juga mencari tempat magang di sana dan beruntungnya aku diterima. Walaupun berat meninggalkan negara ini, aku tidak sampai hati berpisah lama dengan papa. Setelah kepergian mama, kami betul-betul tinggal berdua saja. Kurasa sebaiknya aku dan papa selalu menjaga satu sama lain selagi bisa.

Tidak perlu mengikuti kelas selama enam bulan terdengar mewah di telingaku. Akan tetapi, kurasa aku belum begitu siap beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda total. Amerika terasa seperti dunia sangat yang berbeda dari tempatku berada. But I don't wanna think about it no more. I'll just let it all flow.

***

Aku merasakan sentuhan di kepalaku beriringan dengan masuknya cahaya yang lumayan menyilaukan mata. Tidak begitu silau sebetulnya, asal tidak habis bangun tidur.

Aku mengernyit. "Ih, kamu bangunin aku pake pulpen? Aku bukan kuman tau."

"Bukan gitu. Ga sopan kalo saya sentuh kakak sembarangan."

"I don't mind if you're the one who touch me," sergahku lantang.

"Hush, kalimat kakak aneh. Nanti orang kira yang bukan-bukan." Joshua menggaruk tengkuknya. Sekilas dia terlihat panik tapi aku jamin tidak akan ada yang mendengar kami. Perpustakaannya sudah jauh lebih sepi.

"Jam berapa sekarang?"

Joshua menunjukkan layar ponselnya, tertera pukul 19.47 di sana. Wah, aku tidak menyangka aku tertidur selama itu.

"Kamu mau makan di rumah?"

"Kakak?"

"Aku mau beli mie."

Dia segera mengemas barangnya, yang kelihatannya memang sudah dirapikan dari tadi. "Yuk."

"Ke mana?"

"Makan mie."

"Katanya ga suka, ga sehat."

Serius, dia pasti tau kalau mie yang aku maksud selalu indomie, dan dia selalu bawel kalo aku makan mie terus. Angin apa yang buat cowok ini malah ikutan?

"Laper."

Oh, makes sense.

***

"Kamu udah pernah denger itu?"

"Apa?" sahutnya santai.

Aku berdecak, rupanya dia tidak menyimak dari tadi. "Sibuk ngapain? Jangan selingkuh ih, udah mau putus."

"Ngaco kakak. Hafalin ini loh." Joshua menyodorkan layar ponselnya.

Cengiran lebar menghiasi wajahku. Aku belum siap putus sebenarnya. Jadi, aku sedih kalau waktu yang tersisa ini tidak dimanfaatkan sampai detik terakhir.

"Apa kak, denger yang mana?"

"Cinta pertama tuh ga bakal berhasil."

Joshua menggeleng.

Aku menghela napas pelan. "Aku ga nyangka bakal ngebuktiin mitos itu secepet ini. Tapi bukan berarti aku ngira kita bakal nikah, punya satu anak cewek, satu satu cowok, ngajak kamu ke Australia, dan buka resto bareng ya. Cuma kayak terlalu mendadak aja, kupikir kita ini match made in heaven."

Sebut aku berlebihan tapi aku betul-betul suka sama cowok manis satu ini, yang walau mukanya polos kalem kalau makan popmie yang pedes gledek. Ga waras kataku, lidahku kayak masuk neraka pas makan itu.

"Am I your first love though?"

"Of course! Ga pernah ada sejarah aku nembak cowok duluan. Tapi kalo ditembak sih sering", jawabku pamer.

"Oh." Joshua menyunggingkan senyum tepis, kembali fokus pada hafalan dietetikanya itu.

Aura kesenengannya berasa sampai sini tau.

"Kalau makan mie itu, minimal tambahin sawi, tempe, sama telur. Bumbunya tuh kasih seperlunya aja, jangan semua. Makannya juga jangan sering-sering, masih banyak makanan yang lebih enak di luar warmindo."

Pengalihan isu. Dia kalau salting langsung bawel.

"Gemesnya pacarku ini."

Joshua langsung mendelik ke arahku. "Aku ga suka dibilang gitu. Jadi kayak adek bukan pacar."

Aku tertawa keras mendengarnya. Ada aja pantangannya setiap hari.

"Lagian aku serius kak, aku calon sarjana gizi nih."

"Iya makasih ya sarannya. Bakal tetep kuinget walau nanti jadi mantan."

Giliran dia yang berdecak kesal.

I wish I could freeze moments, I don't want to lose things like this.

***

Breakup ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang