prologue

74 19 0
                                    

๑°•*☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

๑°•*☆

Entah bagaimana jadinya kehilangan satu orang bisa membuat dunia runtuh. Satu orang saja, seolah merasa tak mampu untuk menjalani hidup. Aku tidak pernah berpikir, entah bagaimana jadinya euforia yang telah tercipta dalam dua hari yang lalu tepat saat kami menikmati pemandangan kota dari atas Basilica di Santa Maria Del Fiore. Mengambil foto selfi di berbagai sudut Mercato Nuovo, mendatangi Piazza della Signoria, menyusuri Florence hingga akhirnya tiba pada satu malam ketiga kami di Pontte Vecchio yang di mana saat itu masih tidak terasa nyata bagiku.

"Kalau kita bertemu lagi, mari jangan saling jatuh cinta seperti ini," ujar Alessa, kekasihku.

"Jadi, kita--"

"Aku mencintai pria lain."

Aku skeptis. Dasar, kurang ajar! Kejujuran dan tatapan pilu itu sungguh melukai hatiku.

"Kenapa?"

Disertai senyuman, Alessa menepuk bahuku dua kali kemudian menjawab, "Mari berjalan di jalan masing-masing saat ini juga. Kamu bisa berpaling dariku tanpa rasa sakit."

"Aku ..."

Bodoh! Apa yang salah? Mencoba menahan untuk memperbaiki semua namun segalanya percuma karena selanjutnya, aku hanya mampu melenguh diam melihat kepergiannya. Dengan pandangan yang menyendu, aku tahu bahwa cinta yang terlalu dalam akan berakhir menyedihkan, aku menyadarinya.

Namun, aku selalu percaya bahwa takdir memiliki rencana lain setelah ini. Tepat pada detik jarum jam ke enam ditanganku matahari digaris cakrawala telah tenggelam. Karena itu, aku redup bak ditarik matahari untuk perlahan-lahan mengikutinya dilahap malam seolah ingin menghiburku dikegelapan dan berkata bahwa kisahku tidaklah seberapa. Biarpun di sini cerita kami sudah karam, tetapi kenangan tetap tinggal di sana.

 Biarpun di sini cerita kami sudah karam, tetapi kenangan tetap tinggal di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.















Florence, Italy.

Kala itu daun-daun kecokelatan berguguran memenuhi jalanan. Berserakan di atas tanah. Dilepas ranting dengan tabah tanpa marah, diinjak pijak oleh setiap manusia lalu-lalang, didiamkan bertumpuk di sudut halaman rumah lantas sesaat dibakar menjelma menjadi kepulan asap mengudara.

Sapaan udara bagaikan warna senja dipenghujung hari; serupa tetes embun bersemanyam pada permukaan daun, damai sekali. Layaknya manusia, mereka seolah berujar halus selembut kapas bahwa; aku tak akan lagi menghantarkan jiwa-jiwa sepi untuk sambangi destinasi yang selalu didamba.

Sore itu angin berhembus sangat kencang hingga sukses menerbangkan rambut panjang seorang gadis ke sana kemari. Baginya terlalu rugi jika tahun ini tidak menikmati udara sejuk musim gugur yang dihiasi langit biru muda di luar. Pergi berkencan dengan diri sendiri ke sebuat taman nasional harus ia jalani sebelum musim ini berakhir.

"Scusami, questo è tuo?" (permisi, ini milikmu?) seorang pemuda dengan irama dan aksen Italy yang merdu tiba-tiba mendekat, menyodorkan key chain ditangannya.

"Oh ya, grazie mille." (terima kasih banyak) gadis itu tersenyum, memberikan gestur baik kepada si pemuda. Sorot matanya berbinar senang, kulitnya putih bersih. Namun, si pemuda seketika terpaku. Dari mulutnya terdengar geremengan menyebut nama seseorang.


๑°•*☆

[ separuh langit berduka ]

Separuh Langit BerdukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang