๑°•*☆
Everyting is gone....
Sang ayah pernah berkata bahwa hidup bukanlah soal untuk mencari cinta sejati saja, melainkan berlomba siapa yang beruntung berakhir bahagia sampai tamat. "Hidup itu harus selalu bangkit, meskipun engkau babak belur dan jatuh berkali-kali," begitu katanya lagi di usia yang menginjak ke-54 tahun sembari duduk dikursi lipat berlantai pualam, ditemani lampu tanam yang mengeluarkan cahaya lembut di atas langit-langit berwarna putih.
Namun tiga bulan ini, seorang anak laki-laki tidak bisa berjanji lagi, ia menyerah akan takdir. Ingin lenyap, sebab tidak tahu harus memulai bangkit darimana.
Dikta Bumi Nugraha telah kehilangan separuh jati dirinya. Suara-suara asing yang tinggal dikepala terus menggerogoti otak seolah siap akan pecah. Satu titik ketika merasa hidupnya tidak lagi ada yang bisa dipertahankan, ia menyulam wajah ibanya sendiri. Gigil dikedinginan sunyi. Tercekik sepi di dalam ruangan gelap seperti sumur yang tidak menjanjikan dasar kebahagiaan.
Mempertanyakan perasaan yang tidak jelas seraya mencoba membangun memori baru dengan serpihan hati yang telah hancur adalah kemustahilan yang tidak bisa ia lakukan. Mengapa dalam hidup harus ada people come and go? Mengapa dalamnya rasa cinta mengharuskan kita menerima penolakan? Bukan melupakan yang jadi masalah, melainkan penerimaan.
Langit semakin hitam. Menjadikan malam semakin pekat dan dingin, hingga anginnya menusuk tulang. Kala tiang-tiang lampu jalan tidak padam menyoroti jalanan yang kosong, Dikta menapaki kakinya menaiki pagar pembatas jembatan yang sebatas pinggang. Manik matanya memandang lurus ke depan dengan tatap pilu. Saat angin menyentuh wajahnya, air mata pun lolos menitik membasahi pipi.
Seketika Dikta menjatuhkan diri. Pasrah. Tubuhnya seakan ditarik kencang oleh arus yang membawanya pergi. Kematiannya bukanlah apa-apa, kan? Siapa peduli? Tapi apakah ia akan menjadi mayat yang sia-sia? Melayang-layang di dasar sungai yang sepi tidak berbalas. Dalam. Begitu dalam. Sangat dalam. Lantas kepalanya berdemam keras mendengar suara halusnya ucapan ibu, banyaknya nasihat dari mulut ayah, tawa kecil Alessa yang bahagia, suara tangisan, teriakan, dentuman, juga kejadian mengerikan dan pemakaman orang tuanya tiga bulan lalu.
Semuanya berkelebatan, memutar di dalam benaknya secepat kilat. Kedua matanya tidak sedikitpun mampu terbuka, hingga deru napasnya
tidak terbaca lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Langit Berduka
Teen FictionAlur semesta tidak ada yang tahu. Takdir pun bukan kita yang menulis, semua bersifat rahasia. © loovenade, -2024.