"Bagaimana, kau sudah memutuskan, Kinara?" Diandra keluar kamar, kali ini dengan menggendong putri kecilnya yang baru berusia dua tahun.
"Uncle!" Bocah berkulit putih kemerahan itu berbinar melihat om kesayangannya sudah datang dan langsung meminta gendong.
"Saya, tetap mundur, Kak!" jawab Kinara.
Diandra menunjukkan raut kecewa. Esok ia harus kembali ke Singapura, akan sangat merepotkan jika harus mencari orang lagi. Meninggalkan adiknya begitu saja tentu ia pun tak tega.
"Bagaimana, kalau gajimu kunaikkan lima ratus ribu dari kesepakatan kita kemarin?" tawarnya.
"Maaf, Kak, tidak bisa." Kinara masih bersikeras.
"Tujuh ratus?" Diandra belum menyerah, namun Kinara menggeleng lemah. Siapa yang tidak lemah sih, disodorkan uang dan harus menolak. Iya, kan?
"Oke, satu juta?"
"Deal!" Kinara menjabat tangan Diandra mantap, ditanggapi gelengan dan senyum kecil yang terbit bersamaan di wajah Galang.
🎥🎥🎥
"Kinara, jaga adikku ya," pesan Diandra sebelum masuk ke ruang tunggu bandara. Ia dan ketiga anaknya ditemani dua orang asisten, akan kembali ke Singapura. Kinara ikut mengantar. Setelah ini, ia harus mengikuti Galang ke lokasi syuting. "Dia sering lupa makan, lupa minum vitamin, lupa salat."
Galang tertawa, memeluk kakaknya erat. Dari dulu, Diandra memang cerewet. Menjadi lebih cerewet lagi dan suka mengomel setelah ibu mereka tiada. Entah karena faktor usia yang semakin matang atau karena ia merasa Galang harus lebih mendapat perhatian darinya sebagai pengganti ibu mereka.
"Aku yang akan menjaga dia, Kak." Galang berbisik.
Diandra melepaskan pelukan sang adik dan menatapnya tajam. "Awas ya Lang, jangan sampai kudengar gosip miring lagi tentangmu seperti tempo hari!" ancamnya.
"Adikmu ini artis, Kak. Kau harus siap dengan hal-hal semacam itu," jawab Galang santai. Ia beralih memeluk tiga ponakannya secara bergantian.
"Sudah makan Flo?" Galang melirik jam tangan setelah puas melambaikan tangan pada empat orang tercintanya yang masuk ke area ruang tunggu airport. Masih pukul delapan pagi, masih ada waktu satu jam sebelum ia menuju ke lokasi syuting.
"Lang, kamu tuh ya! Ih!" Kinara menjewer telinga Galang sembari terus berjalan beriringan menuju mobil. "Sudah kubilang kan, panggil aku dengan nama anjing tetanggamu itu lagi, kuhajar!"
Galang meringis setengah tertawa. "Flo, galakmu tidak berubah ya. Kasihan yang jadi suamimu nanti. Ia harus tahan banting sepertiku."
"Dengar ya, Lang, menjadi bawahanmu bukan berarti aku akan menjadi anjing manis yang hanya menurut pada tuannya. Camkan itu!" Kinara berucap tegas.
"Kamu memang bukan anjing manis, tapi anjing galak." Galang terbahak, masih suka meledek Kinara seperti dulu rupanya.
Menyadari gadis itu melotot ke arahnya dengan tangan mengepal, iapun berusaha meredakan tawa.
"Tidak ada atasan-bawahan, Flo. Kita partner kerja, mengapa kau selalu berpikiran buruk tentangku sih?"
Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap berhenti di depan mereka.
"Langsung ke lokasi syuting, Mas?" Pak Said, sopir Galang turun dan membukakan pintu untuk bosnya.
"Sarapan dulu, Pak," jawab Galang. Tangan kanannya membentang, mempersilakan Kinara masuk terlebih dulu.
"Oh, saya pikir Mas Galang sudah sarapan tadi bersama Mbak Diandra."
"Saya sudah sarapan, Pak. Tapi Kinara belum, nanti dia tidak punya energi untuk menyalak."
Kurang ajar!
🎥🎥🎥
"Apa kabar, Flo?" Meski sudah sejak kemarin bertemu, Galang baru sempat menayakan kabar Kinara sekarang, di sebuah kedai bubur ayam yang masih sepi pengunjung.
Kemarin, teman kecilnya itu sibuk di-briefing oleh sang Kakak mengenai tugas-tugasnya sebagai asisten Galang. Mulai dari harus tahu jadwal kegiatan Galang setiap harinya, apa yang harus dibawa, apa yang boleh dimakan dan tidak, sampai bagaimana cara menghadapi wartawan terutama wartawan infotainment.
Karena masih ada jadwal syuting, Galang hanya mendampingi sebentar, lalu pergi bersama manajernya.
Kinara yang baru saja menyeruput teh hangat, melirik tajam ke arah Galang. Sudah berulangkali ia bilang tak suka dipanggil Flo, tapi Galang seolah tak peduli.
"Dengar Flo, anjing tetanggaku itu, setelah melahirkan, ia tidak galak lagi. Sekarang ia menjadi anjing yang manis dan lucu." Galang yang bersikeras tak mau mengubah panggilannya pada gadis itu, berusaha meyakinkan.
"Galang, sudah tiga belas tahun!" Kinara menghentakkan kepalan tangannya di atas meja. "Kalau belum mati, anjing itu sudah keriput dan beruban!" potes Kinara.
Galang tertawa, teman kecilnya ini, lucu juga ternyata. Ia lalu ikut menyeruput teh hangatnya. "Kerja apa sebelum ini?"
Pertanyaan yang paling dibenci Kinara. Apalagi, pertanyaan ini keluar dari mulut Galang, musuh bebuyutannya.
"Kenapa Lang, penting banget untuk tahu? Buat apa? Buat mengolok-olokku?" cecar Kinara. Ia harus selalu siaga, Galang kecil dulu, selalu mencari-cari kekurangan Kinara sebagai bahan hinaan.
"Astaga, Flo!" Galang mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. "Sebegitu curiganya kamu sama aku. Sudah tiga belas tahun Flo, TIGA BELAS TAHUN. Kamu masih memusuhiku?"
"Ya, sudah tiga belas tahun, dan aku tak pernah lupa, kamu yang diam-diam menuang banyak merica ke mangkuk baksoku. Sampai rumah aku diare, sehingga besoknya tidak bisa ke sekolah menerima penghargaan siswa berprestasi secara simbolik. Kamu yang menggantikanku. Licik!"
"Astaga, untung kita bertemu, kalau tidak, besok di akhirat aku harus mencarimu untuk meminta maaf." Efek baru mendengar kajian ustad kemarin di acara yang diselenggarakan rekannya sesama artis, Galang bicara sedikit lurus.
"Maafkan aku, Flo." Hanya kalimat itu yang sanggup ia ucapkan. Kalimat lain yang ingin ditambahkannya menyangkut di kerongkongan.
"Tapi btw, kenapa diarenya enggak pas masih di sekolah sih, pasti lebih seru." Galang kembali cari gara-gara, membuat Kinara geram, mengangkat mangkuk bubur ayamnya, seolah mau menumpahkan isinya di atas kepala Galang.
"Canda Flo, canda. Jangan menyiramku dengan itu, kamu sendiri yang repot nanti, harus mengeramasiku. Aku sih suka-suka saja." Galang tergelak "Ayo, tumpahkan!"
🎥🎥🎥
Baru kali ini Kinara menyaksikan langsung proses syuting sinetron. Ia duduk tak jauh di belakang kru yang bekerja. Sembari memperhatikan adegan yang berlangsung, Kinara iseng mencocokkan dengan skrip yang berada di tangannya.
"Bang, di skrip kayaknya nggak ada adegan begitu deh." Kinara meringis melihat Amalya si pemeran wanita memeluk Galang mesra, padahal arahan di skrip hanya saling tatap dan memegang tangan.
"Improvisasi," jawab Bang Joel, lelaki jelang empat puluh tahun, manajer Galang. "Asal enggak sampai mengubah alur cerita, biasanya diperbolehkan. Apalagi kalau bisa membuat dramanya tambah greget."
Kinara manggut-manggut.
Tambah greget dari mananya. Kinara malah merasa risih. Sudah berapa wanita yang memeluk laki-laki itu? Mungkin tidak hanya memeluk. Mencium dan adegan romantis lain sudah pasti biasa dilakukannya.
Ah kenapa juga aku harus memikirkan itu? Itu bukan urusanmu Kinara!
"Pantes, kamu betah jadi artis," cibir Kinara begitu Galang menyelesaikan adegan syutingnya dan berganti pakaian.
Pria dua puluh lima tahun yang kini hanya mengenakan kaus polos berwarna hitam itu menoleh dengan kening berkerut.
"Ya betahlah, dipeluk-peluk cewek begitu!" Kinara menjawab sendiri pernyatannya barusan, lalu lanjut beberes barang-barang Galang yang harus dibawa pulang.
Sejenak Galang terdiam, meresapi apa maksud dari ucapan Kinara barusan, lalu dengan langkah lebarnya berjalan mendekati gadis itu sambil tersenyum. "Kenapa? Cemburu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sugar Enemy
Roman d'amourHijrah ke Jakarta demi melupakan mantan dan mendapat pekerjaan yang lebih mapan, mempertemukan Kinara dengan Galang, aktor papan atas yang pernah menjadi saingan beratnya di sekolah dasar. Kinara bimbang, jika ia menerima pekerjaan menjadi asisten G...