.
Happy Reading
.
"Apa yang terjadi padaku?"
Runa terbangun di sebuah ruangan dengan aroma menyengat obat-obatan. Langit-langit putih rumah sakit menjadi pemandangan pertamanya setelah kegelapan panjang. Kepalanya terasa berat, seperti ditimpa batu raksasa. Berusaha mengingat kejadian terakhir hanya membuat rasa sakit itu semakin nyata.
Bibirnya sedikit terbuka, ingin bertanya, namun saat menyadari alat bantu pernapasan yang terpasang di wajahnya, ia mengerutkan kening. Seingatku, aku tidak pernah punya penyakit pernapasan…
"Syukurlah, akhirnya kamu sadar."
Suara itu terdengar dekat, tapi anehnya hanya samar di telinganya. Runa mencoba menoleh, matanya menangkap sosok seorang perempuan yang tengah berjalan mendekat. Perempuan itu mengambil tempat di kursi di sisi ranjang, lalu menyodorkan segelas air.
"Runa, minumlah dulu."
Runa menatap tangan kurus yang menyodorkan gelas itu sebelum perlahan mengangkat kepalanya, mencoba melihat wajah si pemilik suara. Begitu melihatnya, ia sedikit terkejut. Namun, tangannya tetap tergerak menerima.
"Terima kasih, Kak," katanya dalam bahasa isyarat.
Rhea, kakaknya, hanya mengangguk. Setelah gelas berpindah tangan, ia meraih sebuah kotak kecil di atas nakas, kemudian menyodorkannya kepada Runa.
"Ini, pakailah."
Runa menerima alat bantu dengar itu, menukarnya dengan gelas yang tadi ia genggam. Begitu benda itu terpasang di telinganya, suara-suara di sekelilingnya kembali jelas. Suara mesin, suara langkah kaki di luar ruangan, bahkan detak jam yang samar terdengar.
Lalu, suara napas berat Rhea.
"Kamu habis kecelakaan," ujar Rhea, akhirnya mengungkap fakta yang sejak tadi menggantung di udara.
"Kecelakaan itu… membuatmu seperti ini."
Runa terdiam. Ingatannya seperti mesin yang baru saja dihidupkan kembali—tersendat, tapi perlahan mulai bekerja. Lalu, tiba-tiba semuanya muncul.
Bus itu. Anak-anak SD. Jalanan yang penuh. Rasa sakit.
"Aku ingat."
Tatapannya jatuh ke telapak tangannya yang kini tampak lebih pucat.
"Kecelakaan itu terjadi karena sesuatu yang tidak dimiliki orang lain…"
Penglihatan masa depan. Kelebihan yang seharusnya menjadi anugerah, tetapi justru terasa seperti kutukan.
Selama ini, setiap kali Runa melihat gambaran masa depan, selalu ada peristiwa buruk yang menuntutnya untuk bertindak. Sering kali, ia berhasil menyelamatkan orang lain. Namun, hampir selalu, ia sendiri yang terluka sebagai gantinya.
Dan puncaknya terjadi sembilan hari yang lalu.
Tangan Runa terangkat, menggenggam selimut rumah sakit yang menyelimuti tubuhnya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang berantakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Who Is The Villain? [on going]
SpiritualSetiap manusia terlahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Meskipun dunia sering kali lebih cepat menilai seseorang dari kekurangannya, Tuhan selalu menyelipkan satu kelebihan untuk melengkapinya-agar manusia belajar bersyukur. Begitu...