Sudah update lebih cepat di Karyakarsa ya, silakan mampir
Selamat Membaca
Belum satu hari Wina berada di unit gue tetapi perubahan mood membuat gue uring-uringan.
"Ayo Win diminum susunya." Pinta gue dengan berjalan ke arahnya dan membawa satu gelas susu untuk ibu hamil. Susu yang gue tahu sebagai minuman pendukung untuk kesehatan ibu dan janin, semua itu gue cari tahu sendiri.
Wina tetap tidak bergeming. Bahkan terkesan mengabaikan diri gue.
Hei, Wina lo sadar berhadapan dengan siapa? Belum juga gue memaki gue sadar kalau perempuan yang tengah menekuk wajahnya itu adalah ibu dari anak gue.
Sabar Wisnu. Sabar. Satu kata yang setiap kali Wina berulah maka kata itu yang selalu gue ucapkan.
"Diminum ya, ini bukan buat kamu aja tapi ada anak kita."
Ah, kita? Rasanya perut gue ada yang menendang untuk bangun di kenyataan. Iya itu memang anak gue dan Wina, tapi hubungan apa yang gue jalani dengan Wina tidak jelas .
Setelah mendengar kata anak, sepertinya Wina mulai mendengarkan gue. Tangannya meraih gelas yang gue sodorkan dan meminumnya hingga tandas.
"Terimakasih." Gue mengangguk, berjalan masuk kembali dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Sedangkan Wina entah dia mau masuk atau tidak gue juga tidak paham.
Dan lebih mengejutkannya adalah Wina sudah tampil cantik setelah gue siap. Padahal tadi dia masih mengenakan baju tidur bergambar Mikey mouse.
"Mau kerja?" Wina mengangguk.
"Kalau saya nggak kerja nanti siapa yang kasih saya uang."
"Lah kan ada aku?"
Wina menatap diri gue seolah apa yang gue katakan salah. "Kan Bapak ayah janin yang saya kandung, bukan suami saya. Jadi Bapak tidak wajib menafkahi saya." Jelasnya yang membuat gue sadar bahwa semua ucapan Wina benar. Gue hanya bertanggungjawab dengan anak gue.
Kepala gue mengangguk lemah, dan berjalan keluar dari unit diikuti Wina di belakang.
"Kamu naik apa? Ojol?"
"Biasanya ojol Pak."
"Yaudah sama aku aja, sekalian." Gue nggak mau bertaruh dengan keselamatan ibu anak gue. "Bapak nggak keberatan?"
Sedikitpun enggak. Karena bagi gue keselamatan ibu anak gue itu nomor satu. "Enggak."
Wina akhirnya mengikuti tawaran gue, meskipun dia duduk di belakang. Unik. Ini bukan gue yang suruh tapi dia yang tidak mau duduk bersama gue di depan. Katanya nanti banyak orang yang akan membicarakan gue.
"Belakang sama depan ya sama. Sama-sama akan diomongin."
"Beda Pak, kalau depan kita terkesan dekat. Padahal tidak terlalu dekat juga." Padahal sudah pernah bersatu meskipun gue nggak begitu ingat berbeda dengannya.
"Dekat, buktinya ada si Utun."
"Itu beda kasus." Wina memilih diam, dan gue mengemudikan mobil ke arah kantor.
"Bapak saya turun di depan ya." Mata gue menatap Wina dari kaca spion depan seolah tidak mengizinkannya keluar. "Kenapa? Masih jauh lo."
"Saya nggak mau ada gosip yang membawa nama kita berdua Pak." Ada atau tidak, gue juga nggak peduli.
"Nggak boleh, di parkiran saja. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu." Putus gue yang tetap melajukan mobil sampai di pelataran parkir. Wina keluar tanpa mengatakan sepatah kata, cenderung marah. Sedangkan gue hanya bisa menghela napas panjang, belum apa-apa gue sudah dibuat pusing sama tingkah Wina.
***
"Bapak... Ada tamu."
"Siapa?"
"Bapak Athaya." Gue mempersilakan Athaya masuk, setelan rapi khas kantoran berubah dengan dasi yang entah dimana. Dimana raut wajahnya begitu kalut.
"Ada apa Bapak Athaya?" Sapa gue ramah, baru beberapa hari kita berjumpa sekarang dia sudah berdiri di kantor gue lagi.
"Gue capek."
"Oke, mau pesan apa?"
"Ini bukan restoran."
"Hahaha, kalau lo tahu kenapa lo kesini. Lo capek ya tinggal istirahat kenapa kemari." Gue duduk berhadapan dengannya menatap wajahnya seolah mencemooh seorang Athaya.
"Gue butuh istirahat, di rumah ada Mama sama Papa."
Bukannya dia senang kenapa merana?
"Ya, syukur lo masih disamperin Bokap Nyokap."
"Bukan itu, tapi kan lo tahu gue pengantin baru yang kebobolan terus waktu gue bermesraan kapan kalau keduanya ada di rumah gue? Macam Mama terus nempel Nala lagi." Keluhnya yang membuat gue membayangkan jika saja kedua orangtuanya gue tahu kalau Wina hamil anak gue, apa mereka akan sama memperlakukan menantunya seperti Tante Athalia? Jelas kasus ini berbeda.
Gue nggak bisa samakan, apalagi perbedaan suku kami yang menambah ketimpangan sosial. Gue akui kalau gue Chindo dengan gaya nasional tetapi Papa Mama pasti menginginkan putranya ini tetap menikahi sesama suku Tionghoa.
Kalau membicarakan ini pasti pikiran gue langsung kemebul. "Hai... Lo mikirin apa?" Tegur Athaya dengan memukul lengan gue. "Ah... "
"Lo mikirin apa?"
"Enggak."
"Terus kok diem. Bukannya cari jalan keluar kek." Kalau gue bisa pasti gue akan bilang Athaya.
"Gue nggak tahu jalan keluarnya. Eh... Unit lo gue pakai ya."
"Buat apaan? Gue nggak mau ya lo bawa cewek bayaran ke unit gue." Yaelah ni orang, pikirannya sama kaya Wina. "Mana ada, gue nggak pernah bawa mereka pulang btw. Ah iya, gue juga sudah nggak pernah pakai mereka." Tepatnya setelah gue melakukan dengan Wina rasanya libido gue menurun.
"Jangan bohong ya? Gue tahu lo."
"Gue janji nggak akan pakai unit lo buat kaya gitu. Gue masih mampu buat bayar hotel." Jari tangan gue membentuk huruf V seperti berjanji. Athaya menatap gue dengan tatapan menilai seolah apa yang gue ucapkan seperti kebohongan.
"Yakin? Gue nggak mau nampung dosa lo ya." Kepala gue mengangguk yakin. Hidup gue sudah susah dengan kondisi Wina jadi gue tidak ada waktu untuk melakukan itu.
"Iya bos."
"Oke lo boleh pakai." Putusnya yang membuat gue bahagia. Setidaknya gue bisa terpisah tempat dengan Wina agar kewarasan gue kembali. Namun belum juga Athaya pergi, Wina sudah masuk ke ruangan gue dengan air mata yang membasahi wajahnya.
"Hua... Hua... Hiks... Hiks." Gue yang bingung sontak berjalan ke arahnya dan mencoba menenangkannya. "Ada apa? Kenapa menangis?"
"Tadi... Tadi... Saya dimarahi Bu Indah. Katanya saya tidak pernah hadir ke kantor." Lah memang begitu, kan? Dia sudah alfa lebih dari satu minggu atau bulan gue juga nggak paham. "Terus?"
"Bu Indah marahi saya, kalau kamu niat kerja ya harus profesional padahal saya begini juga bukan salah saya." Oke gue mulai paham, tapi Bu Indah juga tidak salah.
"Terus mau kamu apa?" Wina menatap gue dengan mata yang berkaca-kaca dan pipi memerah. Rasanya disini gue seperti menatap anak kecil yang tengah tantrum meminta sesuatu. "Bapak marahi Bu Indah, jangan lagi marahi saya."
Ya Tuhan, apa lagi ini."
"Lo ada masalah apa lagi sih, kok gue jadi bingung ya?" Keluh Athaya yang mengikuti gue yang berdiri di dekat Wina dengan tatapan penuh pertanyaan.
Fiks, gue masalah akan kebongkar.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
My Home ✔ (KARYAKARSA)
General FictionTerbangun di ranjang yang sama membuat Wisnu dan Wina terjebak di sebuah hubungan rumit. Hubungan yang membuat mereka saling terikat tanpa bisa terlepas meskipun Wina ingin. Wina perempuan yang begitu keras memaknai hidup harus terjebak dengan Wisn...