Bab 8

46 3 0
                                    

Cerita ini sudah update sampai bab 19 silakan mampir.

Selamat Membaca

Suara tangis yang awalnya mengencang itu berangsur-angsur menurun hingga gue sadar bahwa Wina tengah tertidur di atas sofa. Ya, setelah gue menuntun dia duduk di sofa Wina kembali menangis.

Gue usap puncak kepalanya lembut dimana netra gue menatap wajahnya yang tenang.

"Kamu kuat Win, dan gue akan berusaha ada di setiap tahapannya." Gue nggak mau rugi dengan mengabaikan keberadaan anak gue, karena sejak dalam perut gue ingin selalu ada untuknya.

Tapi membayangkan hidup apa yang akan dijalani Wina, gue merasa bersalah. Gue yang menyeret Wina, tetapi abai akan kondisinya jelas gue tidak bisa. Wina dan anak gue itu seperti satu paket, tidak bisa gue pisahkan.

Ya Tuhan, gue harus bagaimana?

Hingga rasanya gue lelah dan jatuh tertidur di karpet bawah sofa. Meninggalkan kerumitan hidup dan terlelap dalam mimpi.

***

Setiap harinya ada polah tingkah Wina yang buat gue harus tetap bersabar, dari hal kecil maupun hal yang besar. Seperti hari ini, dia tidak mau makan makanan yang tadi gue beli. Padahal ini sudah jam tujuh gue harus cepat ke kantor.

"Ayolah Win, dimakan. Aku sudah beli tadi."

"Saya tidak mau Pak. Saya maunya makanan yang Bapak masak." Tapi waktu gue nggak ada, apalagi jam sembilan nanti ada meeting. Urusan dengan Bu Indah saja gue belum bicarakan masalah keberlanjutan Wina, ya, karena gue sadar porsi kesalahan gue. Hari ini gue menyuruh Wina untuk tidak kerja, karena sejak jam empat pagi Wina tidur tetapi sesekali diisi dengan menangis. Seperti ada beban yang ia rasakan.

"Oke," Gue akhirnya mengalah dan berdiri di belakang kompor untuk memasak pasta ya, makanan itu yang ada di otak gue. Apalagi waktu terus berjalan.

"Ini ayo dimakan." Wina menatap gue dan tersenyum tipis seolah apa yang gue lakukan membuat dirinya bahagia. Bahkan tak membutuhkan waktu lama satu piring pasta itu tandas.

"Kalau ada apa-apa bilang ya, aku harus pergi dulu." Wina mengangguk, dia berjalan mengikutiku dan menatap gue hingga sampai di dalam lift.

Dalam benak gue, gue sama Wina seperti sepasang suami istri nggak sih? Ah, lebih baik sekarang gue fokus ke pekerjaan.

Setelah pertemuan dengan berbagai orang yang menjadi penanggungjawab proyek gue akhirnya bisa bernapas lega. Ya, pembangunan proyek di daerah Semarang akan segera dilaksanakan belum lagi gue harus mengecek pembangunan di Bali.

"Apa, besok harus ke Bali?"

"Apa tidak bisa dipending sebentar? Mungkin minggu depan?" Gue belum siap meninggalkan Wina sendiri. Apalagi akhir-akhir ini moodnya gampang berubah-ubah.

"Oke, kalau itu yang terbaik saya akan berangkat besok." Gue harus tetap profesional, meskipun ada sedikit ketakutan yang menyerang di benak gue.

Melepaskan ponsel gue menatap foto keluarga yang dulu diambil saat lulus kuliah. Disana ada Mama, Papa, dan gue. Kalau gue jabarkan hidup gue memang cenderung lurus tidak ada kerikil yang mengganjal karena Papa akan sedia sebagai orang yang akan melindungi gue. Tapi kekurangan di bidang ekonomi membuat figur itu harus tergerus kesibukan. Gue sadar sekarang bahwa peran orangtua memang tidak mudah, tapi sekarang tekad gue bulat dimana gue akan berusaha menjadi ayah yang baik disela kesibukan. Gue tidak mau anak gue merasakan nasib sama kaya gue.

Suara sering ponsel menyadarkan gue, gue mantap layarnya dimana nama Wina yang bertengger disana.

"Hallo?"

"Hallo? Bapak nggak pulang?" Gue menatap jam dinding dimana masih pukul satu siang. "Kan ini masih siang."

"Tapi saya lapar Pak, saya ingin makan masakan Bapak."

Apa ini yang dimaksud dengan ngidam? Tapi ah, kayaknya enggak sih. Kan Wina masih dua bulan. "Kamu nggak bisa makan masakan resto. Aku pesenin ya?"

"Saya tidak mau Pak, lebih tepatnya anak Bapak yang tidak mau!" Selesai mengatakan itu Wina menutup sambungan telepon.

Tangan gue refleks memijat dahi yang tiba-tiba berdenyut.

Oke, gue harus pulang. Sebelum itu mampir dulu ke swalayan buat beli bahan makanan.

Gue mengambil jas dan tas, melangkah keluar dari ruang kerja hingga tanpa sengaja gue bertemu dengan Bu Indah. "Bu, mengenai Wina biarkan dia cuti selama satu tahun. Masalah gaji biar saya yang urus."

"Loh kok gitu Pak."

"Iya, ini urusan saya. Keputusan saya."

"Oh, baik Pak." Tanpa menunggu lama gue berjalan meninggalkan Bu Indah dan melajukan mobil ke sebuah swalayan.

Sekitar pukul dua siang gue sampai di apartemen, dan apa yang gue lihat. Ya, Wina tengah tertidur dengan televisi yang menyala dimana tengah menampilkan kartun dua bayi kembar dari negeri sebrang.

Dalam hati semoga anak gue tidak mengikuti sikap bayi kembar itu. Kalaupun mengikuti gue yakin jika Wina akan kualahan.

Gue meletakkan tas dan jas secara perlahan sebelum melangkah ke dapur. Meeksekusi beberapa bahan masakan untuk Wina. Ya, semua itu gue lakukan agar anak gue sehat.

"Win... Wina... Ayo makan. Makanannya sudah matang." Tangan gue mengusap lengannya dan mencoba menggoyahkan agar lekas bangun. "Arh.... "

"Win ayo bangun." Wina membuka mata dan mengerjab perlahan, dia sepertinya mengumpulkan kesadaran sebelum duduk dan manatap gue.

"Bapak ada disini?" Gue mengangguk. "Ayo makan, katanya mau makan masakan aku." Wina seolah ingat dan bangkit menuju meja makan. Bahkan Wina menatap makanan gue dengan binar kebahagiaan. "Terimakasih ya Pak. Saya jadi lahap makannya."

Wina tidak sejaim dulu, bahkan sekarang cenderung rakus.

Gue duduk di hadapannya dengan menatap Wina yang tengah menikmati makan siangnya. "Bapak nggak makan?"

"Sudah tadi."

"Makan lagi Pak."

"Perut aku sudah kenyang."

"Oh... " Wina melanjutkan sesi makannya tanpa mengindahkan gue, bahkan setelah dia kenyang.

"Diminum vitaminnya."

"Ah iya lupa." Gue memberikan beberapa vitamin dan air mineral. "Kalau habis minum vitamin pasti langsung ngantuk Pak."

"Mitos itu."

"Tapi ini memang benar Pak." Gue mengabaikan Wina dan berjalan ke dapur untuk menyimpan beberapa makanan yang tersisa sekalian membersihkan peralatan masak. Dan benar saja setelah gue kembali Wina sudah terlelap tidur. Ya, ternyata itu apa yang dikatakan Wina benar.

Melihat posisi tubuh Wina yang tidak nyaman membuat gue ingin memindahkan tubuhnya ke atas ranjang. Meskipun gue sedikit kesusahan karena gue yakin berat badan Wina sudah naik beberapa kilogram.

"Sudah, sekarang gue harus melanjutkan pekerjaan." Namun belum juga gue bangkit dari ranjang, Wina kembali menangis hal ini membuat gue memeluk tubuh Wina dan mengusap punggungnya perlahan.

"Stttt... Aku ada di sini." Gue membelai wajahnya dan sesekali mengucapkan kata yang membuat dia sedikit tenang. "Hiks... Hiks... "

"Sudah... Jangan nangis, ada aku disini."

"Kalau mengenai anak kita, aku janji akan melindungi kamu dan dia. Kita besarkan dia bersama-sama."

Usapan gue mampu membuat Wina tenang bahkan cengkeraman yang semula menguat berubah mengendur. Ya, perlahan gue melepaskan cengkraman di pinggang dan bangkit untuk pergi ke luar.

"Huft, akhirnya selesai juga." Satu drama ibu hamil yang bisa gue selesaikan sekarang. Entah drama apa lagi yang harus gue lalui ditambah nasib hubungan ini.

Tbc

My Home ✔ (KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang