Bab 9

55 3 0
                                    

Cerita ini sudah TAMAT di Karyakarsa, link ada di bio

Selamat Membaca

Semandirinya perempuan pasti ada kalanya ia akan berlagak seperti orang lemah. Gue sendiri sadar akan apa yang terjadi di diri Wina. Jadi gue berusaha untuk bertindak seperti pahlawan.

Bahkan setelah gue mencaritahu di internet akan kebiasaan yang awal dilakukan ibu hamil semakin sadar akan pengorbanan mereka.

"Mau apa?" Kami tengah berjalan santai di taman apartemen, Wina menatap gue dan menunjuk ke sebuah penjual soto ayam. "Mau banget?"

"Iya." Dan gue putuskan untuk duduk disana menunggu pesanan Wina. Sebenarnya gue tak menyukai bubur tapi demi Wina gue juga ikut beli. Semalam gue sudah mulai berpikir akan apa yang akan gue putuskan apalagi semakin hari kandungan Wina akan semakin besar.

"Win... "

"Apa?"

"Kita ke Bandung yuk."

"Mau apa?"

Gue menggaruk bagian belakang kepala gue, mungkin ini langkah pertama sebelum gue ke kampung Wina. "Kita bilang ke Papa Mama ya, kalau kita mau punya anak."

Sontak Wina menatap gue dengan tatapan serius. "Bapak yakin? Maksud saya Bapak yakin ingin mempertanggungjawabkan janin ini? Ibarat kata Bapak akan terikat dengan janin ini lo Pak." Gue paham, setalah status menjadi ayah pasti gue akan terikat dengannya. Tapi setidaknya statusnya jelas di mata hukum. Gue nggak mau membuat anak gue kesusahan.

"Aku yakin Win. Maksud aku yakin dengan pertanggungjawaban ini, aku juga akan serius menjadi suami dan ayah."

"Bapak tidak bisa keluar seenaknya, harus terfokus ke tumbuh kembang anak dan yang tidak bisa Bapak lupakan bahwa menikah itu hanya sekali seumur hidup." Wina seolah menjabarkan kekurangan pilihan hidup ini. Dan gue putuskan untuk mengangguk.

Cepat atau lambat hal ini akan terjadi? Jadi lebih baik sekarang, kan? Wina meletakkan ponselnya, dia seolah menjadi perempuan dewasa yang tengah menasihati sahabatnya yang akan menikah. "Saya sudah bilang sejak awal kalau Bapak mau menikahi saya maka saya akan menolak karena saya tidak ingin mengganggu masa depan Bapak. Masalah anak ini kita bisa rawat bersama."

Iya, jika di negara maju pasti ini lebih mudah. Tapi ini Indonesia yang notabene anak pasti dikaitkan dengan ayahnya, dan gue tidak mau dia tidak memiliki ikatan yang jelas dengan gue. "Win, kita sudah dewasa. Mungkin awalnya memang pertanggungjawaban tetapi kita tidak tahu apakah perasaan kita bertumbuh atau tidak kalau tidak mencoba, kan? Disini aku hanya ingin memberikan status yang jelas. Sebenarnya keputusan ini sudah aku pikirkan matang-matang."

Ucap gue panjang lebar, dimana gue sadar dengan keputusan ini. Gue tahu kalau Wina bukan perempuan kolot, bahkan dia adalah perempuan dewasa yang pernah gue temui. "Em... Baiklah Pak, saya akan pikirkan kembali. Jujur opsi menikah tidak pernah terlintas di benak saya."

Bahkan di benak gue juga Win. Tapi tanggungjawab keluarga yang menuntut terkadang membuat pilihan itu ada.

Wina mengambil bubur itu dan bangkit, kita berjalan kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan, karena gue yakin jika Wina tengah mempertimbangkan keputusan gue.

****

"Kawin tanpa nikah nggak papa. Tapi punya anak tanpa nikah yang buat lo rugi."

"Kenapa begitu?"

"Nggak selamanya kita muda, dan pastinya anak akan tumbuh. Meskipun kita tidak menuntut untuk berbalas budi pasti anak akan melakukannya. Jika lo nggak punya status di hidup anak lo, lo mau apa?" Iya juga, apalagi gue yakin hidup anak itu pasti akan berat.

"Anak itu anugerah yang seharusnya lo jaga bukan lo sia-siakan. Eh... Btw kita bahas anak emang lo mau nikah?" Ucap Athaya menatap gue dengan tatapan penuh tanya. Tadinya gue tidak mau ke tempat ini tapi hati kecil gue yang menyuruhnya. Mungkin karena kami sama-sama memiliki calon anak namun berbeda status. "Ah ya, gue lupa. Doakan aja." Alibi gue.

Gue belum bisa jujur, mungkin setelah pembicaraan dengan Papa Mama gue akan terbuka kepada Athaya. "Oh, kalau lo mau nikah persiapkan apa yang harus lo siapkan jangan buat istri lo susah. Gue aja yang lihat Nala kesusahan hamil rasanya ingin memindahkan perutnya ke gue. Tapi ya sebagai lelaki kita tidak bisa melakukannya."

Gue menatap wajah Athaya yang tengah membayangkan istrinya, wajah yang biasa ketus itu berubah lembut. "Orang hamil pasti susah. Gue percaya itu."

"Tapi lo belum pernah merasakan kaya gue, gimana setiap pagi Nala harus muntah-muntah, ditambah nafsu makannya berkurang, kulitnya jadi sensitif masih banyak lagi deh."

Gue termenung, membandingkan kehamilan Wina dengan Nala memang sangat berbeda. Tetapi disini keduanya memiliki tantangan masing-masing. "Gue selalu berdoa semoga anak dan istri gue sehat saat melahirkan nanti."

Gue mengamini ucapan Athaya, karena saat itu adalah antara hidup dan mati. "Ah, jadi melow kaya gini. Eh lo mampir kesini mau apa?"

"Cuma mau tanya aja."

"Tanya enaknya menikah. Tapi lo jawabnya susahnya istri hamil." Athaya tertawa, sedangkan gue meresapi semua yang diucapkan Athaya. "Ah iya gue lupa."

Setelah selesai berbagi kisah, gue pergi dari kantornya. Karena siang ini gue harus ke Bali tadi pagi gue sudah izin ke Wina, dan Wina mengiyakan saja.

"Pak, Bapak stanby di lobby apartemen ya. Kalau ada apa-apa dengan Wina." Pak Imron mengangguk, "Baik Pak."

Di sepanjang perjalanan gue memikirkan Wina, ya, gue memang pergi tak lebih dari dua hari tapi rasa khawatir itu ada melingkupi hati gue. Ingin rasanya gue tidak terbang.

"Ingat ya Pak, Bapak harus mengantar makan sarapan yang sudah saya pesankan untuk Wina setiap pagi."

"Iya Pak."

Pesan gue terakhir sebelum masuk ke bandara, meskipun berat gue harus melaksanakan tugas ini. Dan mungkin akhir pekan ini juga waktu yang tepat bertemu Papa Mama. Semoga pilihan hidup gue ini tepat.

Gue memang pendosa tetapi gue juga ingin berubah apalagi disini Tuhan menitipkan anak yang jelas akan dimintai pertanggungjawaban. Gue sebagai ayah ingin membimbingnya, karena gue tidak ingin menjadi ayah yang gagal.

Sebelum masuk ke pesawat gue memutuskan untuk melakukan panggilan video call memastikan jika Wina sedang baik-baik saja.

"Bapak kenapa sedih?" Wajahnya begitu ceria dengan mulut yang penuh akan camilan. "Kamu tidak sedih aku tinggal?"

"Bukankah Bapak sudah bilang kalau ini pekerjaan jadi saya tidak bisa bersedih." Gue tersenyum getir, memang itu kalimat yang selalu gue tanamkan. "Ah, ya memang aku bekerja kalau tidak mana mungkin aku mau."

"Bapak merayu saya?"

"Merayu buat kamu untuk apa, aku hanya ingin merayu anak aku." Wajahnya tersipu malu, "Anak Bapak baik-baik saja karena saya adalah Ibunya percaya sama saya."

Iya, gue percaya tetapi dua hari yang biasanya cepat itu pasti akan berjalan lama. Gue jadi tidak berminat.

"Iya aku percaya, Ibunya kamu kok. Perempuan yang begitu kuat."

Tbc

My Home ✔ (KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang