Dystopia: Diving To Utopia - Chapter 2, Nothing Last Forever.

2 1 0
                                    


Marine masih mengingat beberapa serangkaian memori di kepalanya. Banyak sekali gedung-gedung besar, gedung tinggi menjulang ke langit, barang-barang branded yang mahal serta para pemakainya yang sombong menembus langit.

Marine ingat sekali, bahwa dia pernah direndahkan oleh orang-orang kaya, hanya karena Marine sudah tak lagi memiliki orang tua. Marine anak pertama, dan masih memiliki tiga orang adik. Marine sekolah serta bekerja untuk menafkahi ketiga adiknya itu. Hingga Marine pun selalu ketinggalan pelajaran, dan akhirnya baru bisa tamat pada umur 19.

Sayang sekali, sebelum sempat menginjak umur 19 tsunami besar terjadi. Semua hancur, gedung-gedung besar yang tadinya menembus langit kini menyatu dengan pasir di bawah laut. Gedung-gedung besar dan kokoh kini hanya tinggal puing-puing, dan orang-orang sombong dan punya mimpi selangit semuanya sudah bersatu di dalam kubangan air.

Apakah ini tandanya Tuhan marah? atau ada ikut campur makhluk lain yang menjadi perantara Tuhan?
Tidak ada yang tahu. Saat ini Marine hanya memikirkan bagaimana caranya dia bisa survive di alam yang serba air ini.

Marine duduk meringkuk di atas pulau kecil ini, bersama dua orang—makhluk— lainnya.

"Apa yang kamu pikirkan?" Tanya pria itu, sekarang dia duduk di sebelah Marine.
Dipikir-pikir, pria itu sama sekali tak menyebutkan namanya.

"Tidak... hanya berpikir, kemana sebagian memori kenangan hidup yang aku simpan? Kenapa aku hanya mengingat bagian yang buruk saja, kenapa aku tidak bisa mengingat wajah adik-adik ku?" Mata Marine mulai berkaca-kaca, dia menenggelamkan kepalanya dalam pelukan lengannya.

"Pasti susah hidup menjadi kamu. Kamu sejatinya adalah manusia, dan tiba-tiba kamu hidup di dunia yang penuh air laut. Otakmu pasti sedang beradu akal bagaimana caranya kamu bisa bertahan di dunia ini."

"Siapa namamu?" Bukankah tidak enak jika Marine terus berbicara tanpa menyebutkan namanya?

"Saya tidak punya nama, dan sama sekali tidak terpikir akan mempunyai nama. Karena saya adalah seekor Hiu paus." Balasnya, wajahnya tersenyum. Padahal jenisnya Hiu, tapi bisa membuat hati Marine menghangat.

"Hewan peliharaan ku saja punya nama kok?"

"Saya dan peliharaan kamu beda cerita."

"Makhluk itu juga punya nama." Tunjuk Marine sekali lagi ke arah Dumbi, tapi makhluk itu tak lagi ada di sana.

"Loh?! Dumbi?!" Marine berdiri lalu berlari menghampiri bibir pantai yang di mana sedari tadi Dumbi berendam.
Di bawah laut, nampak siluet bola oranye yang tenggelam semakin dalam. "Itu Dumbi!"

Segeralah Marine menyusul namun gerakan renangnya semakin lambat, Marine kelelahan. "Byur"
Suara air yang meledak karena sesuatu yang besar jatuh. Ternyata lelaki tadi kembali ke bentuk asalnya.

Makhluk itu membuka mulutnya, mengisyaratkan Marine untuk masuk ke dalam mulutnya. Marine mematung sebentar, apa? nanti kalau tertelan bagaimana?

Tatapan mata Hiu paus itu menyuruh Marine untuk memercayainya. Marine mengangguk samar, lalu berenang masuk ke dalam mulut Hiu paus itu.

Mereka menyusuri pedalaman laut mengikuti siluet Dumbi yang perlahan semakin menghilang, semakin dalam semakin cepat pula Hiu paus itu menyelam.

Sementara itu di dalam mulut Hiu paus itu, Marine berpegangan pada bibir bawah makhluk itu agar tidak tertelan.

Menghabiskan waktu puluhan menit untuk menyelam, akhirnya mereka sudah sampai di kedalaman 1000 meter. Ternyata puing-puing bangunan belum sepenuhnya menyatu dengan pasir, banyak ikan-ikan —yang bermutasi menjadi manusia— juga yang menjadikan puing-puing itu sebagai rumah mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DYSTOPIA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang