BAB 2

31 6 1
                                    

Athaya Ghina Almahyra. Putri yang terlahir dari rahim seorang wanita bernama Gempita Clara Maulia. Dirinya kerap dipanggil Aya oleh sang ibu. Gadis yang baru saja genap berusia 16 tahun ini sangat menyukai tantangan. Sebagaimana prinsip yang tertanam dalam dirinya, “Hidup itu tantangan. Dimana ada kesulitan, disitu pula akan ada kemudahan”.

Gadis ini sangat aktif, ceria, dan cerewet. Dia juga mempunyai kepercayaan diri yang besar. Yah hanya saja dia kurang pandai di bidang akademis. Tapi dimana ada kekurangan pasti akan ada kelebih bukan?

Rumahnya yang berada dekat dengan pesisir pantai, membuatnya sangat tergila-gila dengan momen terbit dan tenggelamnya mentari. Hampir setiap hari dia berjalan dan duduk ditepi pantai untuk melihat betapa indahnya peristiwa alam itu terjadi. Seperti halnya ketika saat sepulang dari majlis tadi. Dia langsung berpamitan pada Rara. “Bu, Aya ke pantai dulu boleh gak?” Ucapnya meminta izin.

Rara yang merasa sedikit bersalah karena sudah melarang anaknya ikut liburan bersama teman-temannya pun memberikan izin. Dia mengangguk sambil berkata, “Kalau dengar adzan, langsung pulang ya,” katanya lembut.

Lantas saja Aya menyambar, “Siap laksanakan ibu peri!”
“Assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikumussalam,” jawab Rara yang sudah diabaikan oleh Aya, karena gadis itu langsung lari setelah salam.

“Huft…Ayaaa Ayaaa,” gerutu Rara melenggang pergi.

•••
“Assalamu’alaikum,” ucap Ghina sembari menekan knop pintu rumahnya dilanjut mendorong pelan pintu itu sampai membentuk sudut lancip.

Sepertinya Rara sedang sholat, makanya tak terdengar kalimat balasan salam itu. Ghina akhirnya melenggang masuk dan bergegas mengambil air wudhu  lalu mendirikan shalat. Selepas shalat, Aya mencari keberadaan sang ibu yang sedari tadi tak ia dengar suaranya. Biasanya jika sesudah shalat, Rara mengaji di kamarnya. Tapi kali ini tidak. Hanya sebuah kesunyian saja yang bisa menggambarkan suasana rumah saat ini.

“Ibu pergi kemana ya? Kenapa gak kasih tau aku? Aku kan jadi cemas!” racau Ghina.

Tidak selang lama, ia mendengar tiga ketukan yang berasal dari pintu utama rumahnya. Ada juga suara pria yang memanggil namanya. “Ghina, ini papah, nak!” Teriak pria itu sambil terus menggedor pintu.

Seperti mimpi rasanya ketika Ghina mengetahui kalau papanya datang. “Papah?” Beonya. “Papah! Iya pah, tunggu sebentar! Aya bukain!” Kata Aya bersemangat.

Tanpa menunggu lama lagi, pintu itu terbuka dan kini Aya sudah berhadapan langsung dengan papanya. Senyum keduanya pun merekah, kedua lengan mereka dibentangkan membuat keduanya saling berpelukan hangat.

“Papa darimana aja? Aya kangen!” tanyanya.

“Hem, papa juga kangen sama Aya,” jawab pria itu tak langsung memberi penjelasan. “Ibu mana?” melepas pelukan.

Ghina menghela nafas pendek, “Aku juga gak tau ibu dimana, pah. Ini aja aku lagi nyari ibu. Eh, malah papa dateng! Ya jadinya belum nyari ibu lagi!”

“Eum, gitu. Udah cek hp belum, kamu? Kali aja ibu kasih tau lewat pesan,”

“Oh iya ya, pah. Aku cek dulu bentar. Papah duduk dulu ya! Sekalian mau Aya buatin minum,”

Pria itu hanya mengangguk dan menuruti perkataan Ghina.

Beberapa saat kemudian, Aya berjalan menuju ruang tamu dengan membawa segelas kopi yang masih mengeluarkan asap serta keharumannya. Ditaruhlah kopi itu di meja dan ia mempersilahkan pria yang ia panggil papa itu untuk meminumnya.

“Jadi gimana? Udah dapet kabar dari ibu?” Tanya pria itu seusai menyeruput wedang panasnya.

“Udah pa. Ibu lagi bantu anaknya bu Sholih lahiran. Ibu juga minta doanya biar persalinannya dilancarkan,” terang Aya.

“Aamiin. Semoga dilancarkan, dan entah itu anak laki-laki atau perempuan, semoga kelak menjadi anak yang sholeh sholehah ya,” katanya turut mendoakan.

“Aamiin, pah.”

Seketika setelah itu, wajah Aya berubah menjadi murung. Ia masih tak bisa terima kalau dirinya tidak diperbolehkan pergi ke puncak. Dia pun mengatakan sejujurnya pada papanya mengenai hal itu.

“Kenapa ya, ibu gak bolehin Aya pergi? Padahalkan Aya kepengen banget kesana pah! Katanya pemandangan disana bagus. Aya penasaran,” ucap gadis itu dengan wajah melasnya.

Sang papa hanya tersenyum sembari mengusap pipinya lalu berkata, “Semoga ibu mau mengubah keputusannya buat kebahagiaan Aya, ya!”

Anak itu mengangguk dan melempar senyum tipis.

~~~~~~BERSAMBUNG~~~~~~

Gimana sama bab 2 nya?
Masih penuh misteri, ya?

Yuk follow dan vote cerita ini!
Share sebanyak-banyaknya!

Salam Cinta,

❤️❤️❤️

Author

Aku Bukan Jodohnya (Aku Rela, Meski Takkan Lupa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang