[BTC-16]

6.3K 1.1K 330
                                    

Reni.





Tanganku mengepal erat di atas pangkuan, menatap Mama dengan amarah besar yang coba aku tahan. Napasku bahkan keluar berantakan sekarang, tapi Mama malah mencoba membuang wajah—nggak mau menatapku setelah mengucap kalimat yang berhasil membuat seluruh darahku mendidih.

"Mama nggak mau..." Bukan... Bukan itu yang mau aku dengar sekarang. "Karena itu Mama ke sini—ke Jakarta—untuk bilang ke mereka kalau Mama nggak mau mengambil tawaran mereka," kata Mama dengan suara yang memelan.

Kedua mataku terpejam, aku mencoba memikirkan banyak hal baik lain agar aku bisa sedikit tenang sambil mengatur pernapasanku supaya kembali normal.

Pikirkan saja soal liburan kemarin di Singapore. Kebersamaanku dengan sahabat-sahabat Hatalla.

Dan Mama yang datang ke sini, mengatakan kalau dia menerima undangan—untuk mengobrol—bersama keluarga Pramana—keluarga Mama—atau sebenarnya bukan juga.

"Mama tahu, 'kan, kenapa Mama diundang ke sana?" Kedua mataku terbuka dan langsung mengarah lurus ke arah Mama.

Mama awalnya menggeleng, lalu dia mengangguk cepat. "Ini soal kasus korupsinya Liana, 'kan? Mama awalnya nggak tahu karena kamu tahu sendiri Mama nggak pernah mau cari tahu soal begituan, dan waktu Mama tahu pun, Mama nggak berusaha untuk cari tahu lebih dalam. Mama sudah nggak mau ikut campur lagi," ujarnya keliatan sangat bersungguh-sungguh.

Ya, seharusnya aku tahu kalau Mama nggak senaif itu untuk mau tahu soal keluarganya yang sejak dulu mencoba menutup-nutupi keberadaannya yang merupakan anak diluar pernikahan dari satu-satunya anak dari keluarga Pramana yang sangat dibanggakan oleh salah satu keluarga yang terkenal akan usaha mereka di dunia entertainment itu.

"Ya..." Aku mengangguk. "Sudah seharusnya Mama nggak ikut campur lagi sama mereka... Sama orang-orang yang membuat Mama menderita," kataku, menekankan setiap kalimat yang keluar dari bibirku.

Mama kembali mengangguk. "Mama cuma mau memberikan jawaban secara langsung—" Mama tiba-tiba saja berhenti, dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "—Mama mau tahu keadaan mereka. Bukan karena Mama peduli, tapi Mama mau lihat wajah orang-orang yang dulu menyengsarakan hidup Mama setelah semua kejahatan mereka terbongkar. Karena alasan itu Mama datang ke Jakarta, mengiyakan tawaran keluarga Pramana untuk ketemu mereka."

Mau dipikirkan dari A sampai ke Z pun, aku nggak memahami alasan mengapa keluarga Pramana mengundang Mama untuk bertemu dengan mereka di saat seharusnya mereka bisa fokus dengan masalah korupsi keluarga mereka yang terbongkar beberapa waktu lalu.

Masih ingat Liana, 'kan? Kasus korupsi terbesar yang terungkap dari usahaku dan Deryl untuk menutupi kasus keluarga Adiwangsa? Ya, keluarga itu adalah keluarga yang sama yang menunjukkan punggung dingin mereka ke Mama karena Mama terlahir dari seorang wanita yang mereka duga selingkuhan dari anak satu-satunya keluarga Pramana.

Oh, jangan dipikir aku sengaja membuka kasus Liana dan menyarankan nama keluarga itu ke Deryl sebagai usaha balas dendam, ya. Even though they say we're family, I don't see them that way at all. I don't know them or care about them.

"Bukannya lebih baik nggak ketemu mereka sama sekali, Ma?" Aku kembali bersuara, menatap Mama dengan sesak yang entah aku rasakan karena apa. "Just pretend we don't know them and have no relationship with them—bukannya itu yang selalu Mama bilang ke aku? Didn't you always tell me to be like that with them?"

Dan seperti dugaanku, Mama terdiam—nggak mampu menjawab pertanyaanku sama sekali.

Aku lagi-lagi cuma bisa menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, pandanganku lalu mengedar ke seluruh penjuru kosan, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikiran ruwetku sekarang.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang