1.

197 22 9
                                    

Lituhayu Ambar baru saja tiba di kediaman Pramudya, dibawa kebangunan sebelah barat dimana beberapa wanita berseragam pelayan seperti sedang menunggunya.

"Masuk!" Ucap salah seorang pelayan yang seragamnya beda dari yang lain.

Ambar mengangguk lalu masuk kedalam ruangan yang cukup terang.

"Tanggalkan seluruh pakaianmu!" Lagi, wanita itu berkata dengan tegas.

Ambar langsung menyilangkan tangan kedada, gerakkan spontan. Dengan raut takut dia menggeleng lemah.

"Kami harus memeriksamu, memastikan tidak ada cacat pada anggota tubuh. Keluarga Pramudya tidak menerima kekurangan."

Wanita itu menyiratkan tatapan perintah pada kedua anak buahnya. Ambar di baringkan paksa lalu pakaiannya di tanggalkan. Setelah itu diminta tidak bergerak kalau tidak ingin mendapat pukulan.

Ambar menangis dalam diam saat tubuhnya di periksa bahkan sampai kebagian yang paling pribadi.

Rasanya sangat memalukan.

*
"Seperti yang keluarga Candana katakan, gadis itu tidak ada kekurangan. Kepala pelayan menyatakan dengan pasti, tidak ada kekeliruan."

Lapor seorang pria berkacamata dengan stelan kemeja lengan di gulung sampai siku, sedikit membungkuk hormat.

Seperti biasa, tidak ada jawaban. Dan artinya tuan ingin mendengar langsung penjelasan kepala pelayan.

Pria yang bekerja sebagai asisten pribadi langsung memanggil kepala pelayan yang berdiri diluar ruang kerja, menunggu perintah selanjutnya.

Kepala pelayan keluarga Pramudya itu selalu di panggil Mbok Jum. Bertubuh gempal tapi sangat tegas, tatapannya selalu siaga, jiwa melayaninya jangan di ragukan.

Layak menjadi kepala pelayan untuk keluarga ningrat. Tidak ada yang berani dengan Mbok Jum termasuk beberapa anggota keluarga dan para tamu yang datang.

Mbok Jum hanya takut pada juragan sepuh, juragan besar, dan juragan tuan (Kavi).

"Usianya dua puluh dua tahun, tidak ada cela baik paras ataupun fisik. Saya bisa pastikan dia masih perawan, sesuai yang keluarga Candana katakan, pribadinya tertutup dan bukan pembangkang. Dia tidak akan menyulitkan anda dimasa depan."

"Siapkan pernikahan!" Perintah yang keluar dari mulut juragan Kavi setelah mendengar laporan Mbok Jum.

"Baik juragan." Mbok Jum undur diri.

Mbok Jum langsung menemui tetua dan anggota keluarga yang menunggu keputusan Kavi.

"Juragan setuju." Lapornya.

Helaan napas beragam makna keluar dari seluruh anggota keluarga.

"Benarkah keputusan kita ini?" Tanya Rinjani, ibu Kavi.

Ibu mertuanya menjawab, "Kavi harus menikah, dua bulan lagi usianya tiga puluh dua. Aku tidak bisa menanggung resiko atas keraguan kita."

Rinjani menghela napas panjang, "tapi gadis itu ..."

"Kita tidak punya waktu untuk memilih, pernikahan hanya simbol. Gadis itu tidak perlu menjadi menantu sesungguhnya, dia bisa tinggal di sisi barat, tidak akan mengganggu pandangan kita," ucap ibu mertuanya.

"Yang ibu katakan benar, kita tidak punya waktu memilih gadis dari kalangan terhormat untuk saat ini. Semua salah keluarga Candana yang membatalkan pernikahan sepihak." Kesal Abhimanyu, ayah Kavi.

Seluruh keluarga mengangguk patuh, tidak ada waktu. Ramalan harus di patahkan, tidak perduli siapa yang di nikahi Kavi.

Ada rumah kecil di bagian barat kediaman Pramudya, cukup layak untuk seorang Ambar. Rumah kecil dengan satu kamar, ruang tamu dan dapur, halaman belakang dan depan lumayan luas.

Ambar duduk dipinggir kasur empuk yang tidak terlalu besar. Mencoba menahan airmata yang sedari tadi ingin keluar. Rasanya sangat menyedihkan berada di posisi ini.

Apalagi saat tubuhnya di periksa tanpa izin, ingin teriak tapi tidak ada kemampuan.

Pintu rumah terbuka, jantung Ambar berdetak kencang, takut yang datang orang jahat. Saat pintu kamarnya terbuka, kepala pelayan tadi berdiri didepan pintu dengan dua orang pelayan, tangan kanannya mungkin.

"Keluar." Ambar mengangguk lalu keluar, duduk diruang tamu. Kepala menunduk, jemari tertaut, jantung berdebar kencang, dalam hati berdo'a jangan terulang lagi kejadian beberapa waktu lalu.

"Tegakkan kepalamu, dengar penjelasanku." Mbok Jum mengetuk meja dengan rotan.

Ambar mengangkat kepala, menatap kertas berukuran besar, tergambar pohon keluarga seperti yang ada dirumah keluarga Candana.

"Jangan hiraukan yang lain, fokus pada yang kutunjuk. Penjelasan tidak akan di ulang, dengar baik-baik dan pahami!" Ambar mengangguk patuh.

"Abhimana Pramudya, juragan sepuh. Pemimpin tertinggi keluarga ini, ucapannya adalah perintah, jangan menyinggungnya. Pribadinya keras dan tegas, tidak kenal ampun." Ambar mengulang dalam hati.

"Gayatri Pramudya, istri juragan sepuh. Nyonya tertinggi di keluarga. Jangan bicara tanpa perintahnya, jangan muncul dihadapannya kalau bukan karena keinginannya. Yang paling penting jangan membuatnya marah, karena marahnya murka juragan sepuh." Ambar mengangguk.

"Abhimanyu Pramudya, juragan besar. Pemimpin kedua dikeluarga ini, pribadinya tegas dan disiplin. Sadar diri adalah point utama untuk tidak bermasalah dengannya."

Mbok Jum menunjuk nama lain dengan rotannya, "Rahayu Rinjani, istri juraga besar. Pemilih dan selektif, sangat menjunjung kasta dan status sosial, sebisa mungkin hindari. Jangan berani mengangkat wajah didepannya, paham?" Ambar mengangguk.

"Akhilendra Kavi Pramudya, cucu tertua keluarga Pramudya. Juragan muda yang akan menikahimu. Pribadinya dingin, tidak suka bicara, jangan muncul di hadapannya baik sengaja ataupun tidak. Dikeluarga ini ucapannya adalah perintah, tidak ada yang berani membantah termasuk para tetua. Yang harus kau ingat, tugasmu sebagai istri adalah melayaninya. Tidak ada bantahan apalagi pemberontakkan, paham."

Ambar mengangguk.

"Alsaki Canda Pramudya, cucu kedua keluarga Pramudya sekaligus kembaran juragan Kavi. Pribadinya lebih tenang dari yang lain tapi jangan coba-coba menarik perhatiannya. Keramahannya jangan kau tanggapi." Lagi, Ambar mengangguk.

"Hanya ini yang wajib kau ketahui selebihnya perhatikan sendiri. Pramudya keluarga besar tapi yang wajib kau tahu hanya keluarga inti. Juragan Kavi setuju menikah denganmu, persiapan di langsungkan selama dua hari, acara tertutup, tidak ada tamu undangan. Ada beberapa ritual leluhur yang harus kau jalani sebelum menikah."

Tidak ada tanggapan lain dari Ambar selain mengangguk.

***
Keesokkan malamnya tepat saat bulan purnama disebuah taman yang Ambar tidak tahu bagaimana cara sampai disini karena matanya di tutup.

Mbok Jum menuntunnya, jalan yang dilalui cukup jauh dan banyak belokkannya.

Ambar hanya mengenakan kemben dan kain jarik, rambut sepinggulnya tergerai indah. Dinginnya malam semakin menusuk saat kepala pelayan memintanya masuk kedalam tong kayu besar yang berisi berbagai macam kembang.

Tidak jauh darinya ada cenayang yang merapalkan mantra, lengkap dengan alat sesajinya.

"Ritual tolak bala, segala kesialanmu harus di tanggalkan. Juragan Kavi dan keluarga Pramudya tidak boleh menangguk energi negatifmu." Jelas kepala pelayan.

Di bagian selatan kediaman Pramudya, seorang pria berdiri dengan tangan dibelakang, menatap bulan purnama, tatapannya gelap dan dingin.

"Aku masih tidak percaya kau mau mengikuti ritual ini."

Pria itu hanya melirik pria yang sangat mirip dengannya, yang membedakan hanya pribadi dan karakter.

Dengan santainya pria yang baru datang itu berkata, "kau bisa melawan dengan mudah. Ramalan itu tidak mungkin nyata, kalau pun nyata yang menanggunggnya adalah ..."

Pria yang tak lain adalah Kavi menghadap kembarannya, Saki, "tutup mulutmu."

Saki menghela napas, "kau tidak perlu mengorbankan diri."

***
Selamat membaca kesayangan 🫶🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri Sementara Juragan KaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang