Sudah enam bulan berada di SMA barunya. Murid pindahan itu memang sangat tertutup, dilihat dari gelagatnya pun berbeda dengan yang lain. Terkadang suka berbicara sendiri dipojokkan kursinya-entah dengan siapa, yang pasti bukan dengan manusia. Pernah sesekali ia mendapati perkataan pedas dari temannya.
"Eh! Mending lo ke psikolog, deh!" ujarnya dengan nada julid.
"Iya tuh! Takutnya lo pasien yang kabur dari RSJ!" teman satunya menimpali, memandangi seseorang dihadapannya dengan tersenyum miring. Setelah itu berlalu pergi.
Usut punya usut, dibalik sikap pendiamnya. Perempuan yang bernama Dwi tersebut terbilang pintar. Bagaimana tidak, posisi peringkat pertama tetap digantikan dengan murid pindahan itu.
Royan— seorang ketua kelas sekaligus murid terpintar yang ada dikelas. Ia kaget mengetahui kemampuan Dwi yang mampu menggeser peringkat pertamanya, bahkan ia tak percaya. Semester awal menjadi kemunduran yang dimana ia harus lebih serius lagi.
"Gua cuman mau bilang, bentar lagi ada penilaian tengah semester 2, Lo jangan sampai dikalahkan lagi!"sahut Dinanti dengan serius. Saking seriusnya, donat yang sedang ia makan sampai belepotan di mulutnya.
Royan hanya terkekeh sambil mengangguk kepalanya.
"Siap! Gua bakal rebut kembali posisi itu!" tegasnya bersungguh-sungguh. Sekilas ekor matanya melirik ke Dwi yang sedang tidur diatas meja.Tidak ada yang bisa merebut posisi itu! gumamnya.
Perempuan itu hobi banget menyendiri, bahkan untuk sekedar menyapa pun enggan sekali. Itulah sebabnya ia tak ada teman yang mau mengajaknya mengobrol.
****
Disaat ingin ke kamar mandi, matanya tak sengaja menangkap Dwi yang kini berjalan melangkah ke taman belakang sekolah. Padahal jarang ada murid yang mau ke sana, hanya duduk saja malas.
Lidya yang penasaran pun membuntuti dari belakang. Dengan derap langkah kaki yang sengaja ia pelankan— agar tidak diketahui. Dari arah kejauhan, matanya tak lepas untuk mengawasi Dwi. Diperhatikan cewek itu sedang berinteraksi dengan seseorang, namun Lidya tidak melihat kalau ada orang di sana.
"Kamu ngapain datang kesini lagi?"
Samar-samar telinganya Lidya mendengar sebuah percakapan dari cewek tersebut. Lidya kebingungan, semakin kesini rasa penasarannya semakin besar. Ia mencoba untuk lebih dekat jaraknya-yang pasti ingin dengar jelas obrolan antara Dwi dengan entah siapakah itu.
Sengklek kali, ya? Ia membatin lantas meraih ponselnya yang ada di sakunya, lalu mengambil foto untuk menjadi bukti.
***
Sesampainya dikelas, Lidya menarik lengannya Aini yang sedang melahap makanannya. Tak peduli jika itu mengganggunya, yang terpenting kabar penting ini harus dibicarakan. Ia berdecak sebal tetapi segera menuruti Lidya yang sekarang sudah berada di bangku kantin.
Keadaan kantin lenggang, hanya menyisakan beberapa siswa yang masih nongkrong bareng disalah satu kursi. Mungkin ini istirahat kedua—lebih banyak siswa yang memilih tetap dikelas dibandingkan ke kantin.
"Ada apaan, sih! Nggak liat lo tadi gua lagi makan? Ganggu banget sumpah!" semburnya, kemudian menepis pelan genggaman tangan Lidya.
"Ada berita penting!"
Aini menghela nafas, sambil menarik bangku untuk duduk.
"Sepenting itukah?"
Dengan cepat ia mengangguk, tanpa berlama-lama ia menceritakan dari awal. Aini menyimak dengan seksama, sampai ketika Lidya memperlihatkan foto yang disitu terdapat Dwi lagi mengobrol. Foto itu hanya keliatan gerakan tangannya Dwi saja.
"Bentar-bentar, ini belum bisa dikatakan valid kalo disini hanya memperlihatkan foto tanpa interaksinya Dwi," jawabnya sambil mengamati kembali gambar itu.
Sial! Sangat disayangkan hanya foto saja yang ia tunjukkan. Harusnya tadi ia mengambil vidio— supaya lebih menyakinkan. Aini sebenarnya hampir percaya kalo itu benar, tapi dikelas juga ia sering melihat Dwi mengobrol sendiri. Jadi ia belum sepenuhnya percaya.
"Gua bingung, murid sepintar dia kok sering ngobrol sendiri? Apa iya, dia punya mata batin ke sepuluh???" celetuk Aini menebak.
"CK! Ke enam bego!!!"
"Nah iya itu!!!"
Lidya hanya mengangkat kedua bahunya, "Zaman udah modern gini, lo malah percaya gituan."
Jari-jarinya Aini kini mengetuk-ngetuk meja pelan, pikirannya melayang karena penasaran dengan latar belakangnya Dwi. Jika tidak salah Dwi itu berasal dari sekolah Islam sebelumnya-katanya disana sering terjadi kesurupan massal. Alhasil orang tuanya jadi khawatir, dan memutuskan untuk mengurusi surat perpindahan sekolah.
"Apa kita coba deketin? Sapa tau dia mau terbuka?" usul Lidya, yang kemudian dibalas anggukan kecil dari Aini.
Semenjak kedatangan dia, entah kenapa gua ngerasain kelas hawanya berbeda. Aini berdeham.
****
Ruangan kamar yang tadinya enak dipandang, sekarang sudah seperti kapal pecah dengan buku-buku pelajaran yang berserakan di kasur. Hanya satu orang yang serius untuk belajar-siapa lagi kalo bukan Royan. Ia sedang sibuk berkutat pada bukunya, sampai tidak memperdulikan kondisi kamarnya.
Sejak sepulang sekolah, mereka berdua berjanjian ingin belajar bareng. Mendekati penilaian tengah semester 2, ia tak ingin posisinya direbut lagi oleh murid pindahan itu.
Ya Allah, bisa-bisa gua nggak kepilih jadi siswa eligible!
Berbeda dengan Eka, ia sedang seru-serunya bermain game daripada meneruskan belajar. Royan beralih menoleh kearahnya, suara teriakan itu mengganggu konsentrasinya. Seperti biasa, lelaki itu merasa tak peduli jika mau ujian. Apalagi tinggal menghitung beberapa bulan mereka sudah naik ke kelas 12.
"Setan! Nyesel gua ngajak lo kesini!" ketus Royan sembari melemparkan bantal tepat mengenai wajahnya Eka.
Ponselnya terjatuh ke kasur, terlihat eskpresi kesal terpancar dari mimiknya Eka. Ia hendak mengatakan kasar tapi dirinya memang salah.
"Iyaa, selow napa!"
"Mendingan lo pulang deh, soalnya gua keganggu nih!" usir Royan tanpa rasa belas kasihan.
Eka hanya menaikkan alisnya, tanpa basa-basi lagi ia bangkit dari duduknya. Sebelum meninggalkan kamarnya Royan, tangannya meraih satu bantal dan benar saja! Bantal itu tepat mengenai sasaran wajahnya.
"Epic comeback!!!" ejeknya, kemudian langsung membuka pintu pergi dari rumahnya Royan.
Krekkk.. krekkk.. krekkk
Pintu yang semula tertutup rapat, tiba-tiba saja terbuka dengan sendirinya. Tidak ada angin ataupun orang, ia langsung menghentikan kegiatan belajarnya. Merasa ada yang janggal, tubuhnya bangkit berjalan kearah pintu yang terbuka.
Ketika sudah berada di ambang pintu kamarnya, nampak sepi tak ada orang selain dirinya. Bahkan pintu kamar orangtuanya masih terkunci. Saat ia hendak membalikkan badan, kakinya seperti menginjak sesuatu. Ia pun sadar lalu menunduk untuk mengecek, ternyata ada sebuah kertas lusuh bercampur dengan tanah. Yang bertuliskan.
"BUTUH BANTUAN???"
TBC
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGGAL (cerpen)
Terror[END] [CERPEN HOROR•MISTERI] Hal yang aneh terjadi disaat murid baru itu pindah disekolah barunya. tidak ada yang tau seluk beluknya murid baru tersebut karena sangat tertutup, semester selanjutnya hal yang mengejutkan terjadi. "TEMANMU SUDAH TIADA...