Chapter 3: Lelaki Dengan Rambut Perak

36 8 0
                                    

Benar saja, setelah kejadian itu dia menuliskan surat izin agar bisa pulang ke rumah. Dan setelah surat nya di setujui oleh pihak akademi, Elaine langsung bergegas pulang. Butuh tiga hari penuh dalam perjalanan mencapai wilayah keluarganya. Dan ketika sampai, Elaine di sambut oleh ibu dan ayahnya

Count dan countness Winksens menyambutnya dengan hangat. "Bagaimana kabar mu selama di akademi, sayangku?" Countness Lily bertanya sambil menggiring putrinya masuk.

"Sangat buruk! Tapi tidak masalah, aku tidak terlalu peduli."Elaine menceritakan dengan penuh semangat dan wajahnya polos. Count dan Countness tentu saja terkejut mendengarnya. Dan fakta bahwa hal itu terlihat seperti bukan apa-apa bagi Elaine.

"Apa maksud nya Ele? Bagaimana bisa itu terjadi? Ceritakan pada ayah." Count yang overprotective kepada putri tunggalnya itu mengguncang pelan bahu Elaine.

"Seperti yang aku katakan sangat buruk. Tapi itu semua kesalahan ku, jadi aku berniat memperbaiki diri! Izinkan aku mengabdi di kuil suci untuk seminggu hingga aku menemukan jati diriku!" Elaine mengepalkan tangannya dengan semangat menggebu-gebu.

Count dan Countness saling berpandangan bingung.

"Ayah dan ibu hanya perlu mendukung ku! Kalau aku sudah bertekad, aku akan melakukan nya sampai akhir! Tenang saja, aku pasti akan berubah menjadi lebih baik setelah ini!"

Keesokan harinya gadis itu melakukan apa yang dia rencanakan. Dengan membawa satu tas besar berisi kebutuhan nya untuk empat hari, Elaine pergi seorang diri ke sebuah kuil suci yang terletak di puncak gunung wilayah Winksens. Dengan bantuan tekad, gadis yang merupakan nona muda bangsawan itu berhasil sampai ke lokasi meskipun keadaan nya benar-benar seperti gembel. Meskipun lumpur di seluruh tubuh dan wajah, namun senyuman Elaine tetap cerah dan ceria.

Pemimpin kuil suci, tuan Ayden menyambut Elaine dengan panik. Bagaimana tidak? Nona mudanya berkunjung tanpa pemberitahuan terlebih dahulu bahkan dengan penampilan acak-acakan seperti ini. Ketika tuan Ayden ingin menjamu nya, Elaine menolak. Dia langsung mengutarakan niat nya dan meminta pengertian dari pria paruh baya itu untuk memperlakukan nya sama seperti para murid lain di kuil.

Tuan Ayden hampir terkena serangan jantung mendadak mendengar penuturan itu. Bagaimna mungkin dia memperlakukan nona muda nya dengan perlakuan serupa seperti para murid lain?!

Untungnya surat count sampai saat itu juga, sehingga tuan Ayden dapat mengerti bahwa nona mudanya ini memang serius ingin melakukan apa yang dia katakan.

"Baiklah, banyak peraturan dan larangan yang tidak boleh di langgar. Jika kau menang serius, kau harus melaksanakan tugas-tugas yang di serahkan dengan baik." Nyonya Mildred, selaku pengurus kuil menegaskan.

"Aku tidak akan semena-semena."

Setelah itu Elaine hidup seperti para murid lainnya. Murid-murid lain selain ingin mengabdikan diri mereka kepada Dewa, mereka juga berasa di sana untuk melupakan masalah mereka di luar sana. Dengan berada di tempat terpencil dan melakukan hal-hal yang sudah di tentukan, mereka merasa seperti terbebas dari masalah di luar. Ada juga yang mencari jati diri dan arah hidup seperti Elaine. Bahkan ada yang berusaha menebus dosa yang mereka lakukan. Intinya murid-murid di sana pasti memiliki alasan mengapa mereka datang dan menghabiskan waktu di kuil suci.

Elaine hidup sederhana bersama para murid lain. Menyiapkan sendiri makanan yang akan di makan, mencuci pakaian, bersih-bersih kuil dan sekitarnya, patroli, doa bersama, dan berbagai kegiatan lainnya. Termasuk bertapa di bawah air terjun.

Elaine memejamkan matanya, menikmati air yang terus menerjang kepalanya dari atas. Benar kata tuan Ayden, pikiran akan lebih terbuka ketika tubuh rileks seperti ini. Area sekitar Elaine sepi, sehingga dia bisa fokus mendengarkan suara air terjun, semilir angin, bahkan suara tupai gang bersahut-sahutan.

Elaine nyengir dalam bertapa nya, membayangkan kalau saja dia melakukan hal ini lebih awal, mungkin dia bisa merasakan sisi lain dari kehidupan. Ternyata kehidupan sederhana dengan dan punya tujuan itu menyenangkan. Bukan seperti dirinya sebelumnya yang hanya di penuhi rasa iri dan dengki untuk orang lain.

"Ele!" Kiana--teman akrabnya selama berada di kuil, berlari kecil menghampiri nya, "ayo, para senior berhasil menangkap rusa yang sangat besar. Ayo kita kesana dan makan!"

Elaine yang mendengar kabar itu langsung melompat dari batu yang dia duduki. Setelah menyalin pakaian, keduanya berjalan beriringan.

"Bagaimana hasil hari ini?"

"Beban ku rasanya terangkat! Besok aku akan datang dan bertapa lagi disana."

"Tentunya setelah menyelesaikan tugas. Ingat, kita besok di tugaskan untuk menyapu dedaunan di kuil belakang."

Elaine mengangguk semangat. Menyapu dedaunan di kuil belakang adalah pekerjaan kesukaannya.

Setelah mereka sampai ke lokasi, di sana sudah berkumpul murid-murid lain. Mereka dengan ramah menyambut kedatangan Elaine dan Kiana.

Elaine selalu suka berada di dekat mereka semua. Meskipun mereka tahu identitasnya, mereka tidak pernah memperlakukan nya berbeda. Tidak ada perlakuan spesial, ataupun perlakuan buruk. Mereka semua setara, seperti nasihat yang di tanamkan oleh nyonya Mildred.

Elaine kebagian tugas menyiang ikan bersama Kiana. Meskipun awalnya jijik dan geli, Elaine tetap berusaha melakukannya. Hasilnya acak-acakan, sehingga salah satu murid harus turun tangan membantu mereka.

Setelah beberapa lama mempersiapkan, akhirnya masakan yang mereka buat matang. Acara makan bersama pun di mulai.

Sambil makan sesekali mereka membicarakan berbagai hal, hingga sampailah pada satu topik.

"Apakah besok Guardian suci berambut perak itu akan datang lagi ke kuil ini?" Tanya seorang murid.

"Tentu saja, dia selalu datang kesini tiap tiga bulan sekali."

Elaine menyimak dengan penasaran. Guardian suci? Rambut perak?

"Dia benar-benar taat. Dia akan mengunjungi kuil dan berdoa secara rutin."

"Jelas saja, dia kan guardian yang di pilih oleh dewa, karena itu di sematkan kata suci di belakang gelarnya."

"Dan poin tambahannya, dia tampan..." Seorang murid perempuan terlihat memerah malu.

"Aku tidak bisa menyangkal itu. Dan lagi dia sangat kuat! Sihir nya sangat edan!"

"Kenapa ya ada manusia sempurna, tapi sisi lain aku hanya ampas seakan hidup di dunia yang berbeda."

"Pfftt jangan di perjelas!"

Sekedar informasi. Guardian suci adalah gelar yang di miliki sebuah kelompok berkekuatan sihir hebat yang di akui secara resmi di Kekaisaran, bahkan sangat di hormati. Mereka semua adalah lulusan akademi Kekaisaran Lincoln, akademi yang sekarang menjadi sekolah bagi Elaine. Singkat nya, Akademi Lincoln lah yang membentuk kelompok tersebut dari eliminasi para siswa yang paling berbakat. Karena itulah setiap awal semester baru, akan di adakan seleksi untuk mencari para calon guardian suci baru.

Setelah lulus dari akademi, mereka secara resmi langsung bekerja di bawah kementerian Sihir Kekaisaran Lincoln, dan status mereka setara dengan bangsawan tertinggi.

Namun untuk menjadi guardian suci, haruslah lulus seleksi ketat dan memenuhi syarat. Dan itu semua adalah hal yang berat untuk di lakukan.

Elaine sendiri tahu tentang hal itu, tapi tidak pernah terpikir kan sama sekali untuk bergabung. Baginya dia tidak ingin merepotkan diri. Tidak wajib untuk para bangsawan yang akan mewarisi gelar untuk mengikuti seleksi, namun bagi para rakyat biasa di Akademi itu adalah kesempatan emas untuk memperbaiki kehidupan.

Sejak pembahasan mereka sore itu, Elaine melamun memikirkan tentang Guardian suci. Mungkin dulu dia sama sekali tidak berminat untuk posisi itu, tapi entah mengapa setelah mendengar pembahasan mengenai Guardian suci, Elaine sedikit tertarik. Betapa hebatnya para guardian suci itu, dan fakta bahwa mereka adalah orang-orang spesial yang di hormati dan di hujani pujian.

Dengan membawa sapu nya, Elaine berjalan menaiki tangga menuju kuil belakang. Dan ketika sampai di pintu kuil, Elaine terdiam di tempat.

Ada seorang lelaki berambut perak tengah serius berdoa tepat di hadapannya.

The Holy GuardianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang