Matahari terasa menyengat, bahkan panasnya menembus pakaian yang aku kenakan. Meski punggung ku terasa terbakar namun itu tak membuatku meninggalkan tempat ini.
Tangan ku terulur untuk membersihkan dedaunan yang mengotori gundukan tanah di depanku.
Setelah semuanya bersih akupun menabur kan bunga tujuh rupa di atasnya, menutupi bunga bunga yang sudah tertabur sebelumnya.
Setelah bunga yang ku bawa telah habis, aku menyiramkan air pada gundukan tanah itu perlahan.
Aku tak mengatakan sepatah katapun, air mataku pun tak lagi menetes. Aku hanya terdiam terpaku pada makam Bang Rafka. Terlalu kelu rasanya untuk sekedar mengatakan sesuatu, bahkan untuk memanggil namanya pun lidahku kaku.
Aku hanya mampu mendoakannya dalam hati, lidah ku terlalu kaku untuk merapal doa. Bukan apa apa rasa rasanya memang aku belum bisa menerima ini semua.
Aku memandangi nisan di ujung gundakan tanah itu sekilas, sebelum akhirnya aku beranjak darisana.
Langkahku terhenti kala melihat seseorang berdiri mematung di pintu pemakaman ini.
Cowok itu berdiri membelakangi ku. Tapi perawakan dari seseorang itu amat ku kenali. Cowok tersebut berbalik. Aku menatapnya datar kemudian melaluinya tanpa berniat untuk bersitatap dengannya apalagi harus menyapanya.
" Gue tahu lo ngerasa kehilangan, tapi abang lo ga bakal suka lihat lo yang ngelakuin hal gila seperti ini "
Kata kata itu mampu membuat langkah ku terhenti. Cowok tersebut memang paling bisa mengalihkan perhatian ku. Aku tak berbalik untuk menatapnya, rasanya enggan menanggapinya.
" Gue cuma takziyah? Salah? "
" Harus ya enam kali dalam sehari? "
Aku tak menggubrisnya lalu melanjutkan langkah ku menuju ke mobil.
" Tunggu "
Kata cowok itu memegang pundak ku sontak saja langkah ku terhenti. Mau tak mau aku berbalik menghadapnya.
" Gue gak habis pikir sama jalan pikiran lo, ego! "
Kata cowok tersebut sembari menarik tangan kananku. Ia merogoh saku jas nya kemudian meletakan kotak persegi ke tanganku. Ia memaksaku menggenggam kotak tersebut kemudian beranjak pergi.
Aku menatap nanar ke arah kotak ini. Jadi sedari kemarin orang ini mengajak bertemu hanya untuk kotak kayu kecil seperti ini?
Aku menghela nafas panjang kemudian beranjak dari tempatku berdiri. Aku meletakan kotak tersebut pada dashboard mobil kemudian melajukan mobil perlahan meninggalkan tempat yang sudah ku kunjungi belasan kali dalam beberapa hari belakangan ini.
Beberapa hari ini aku hanya mengunjungi makam Bang Rafka, tidak ke sekolah, tidak juga pulang. Aku menjadikan mobil sebagai rumah.
Jika kalian mau mengatakan aku gila. Maka aku membenarkan kalian, aku memang sudah tidak waras.
Aku terus menjalankan mobil tanpa tujuan, tak ingin rasanya kembali pulang. Aku menyukai pelarian ini.
Aku berhenti di tempat yang sama seperti kemarin, aku selalu mengunjungi tempat ini setelah dari makam Bang Rafka. Berapa banyak aku mengunjungi pemakaman maka sebanyak itulah aku kembali kesini.
Entah ego atau bego. Aku rasa point kedua lah yang menjelaskan keadaan ku beberapa hari belakang ini.
Aku melangkahkan kakiku menjauhi mobil yang terparkir asal di bawah rindangnya pepohonan.
Aku berhenti di sebuah danau, tempat yang sering ku kunjungi waktu kecil maupun telah beranjak remaja. Tempat piknik favorit ku ketika liburan akhir pekan bersama Mama Nova, Papa Noval, Bang Rafka, dan tak lupa Dhifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
bukan dia yang aku inginkan [REVISI]
Teen FictionNamaku Raka, murid baru di SMA NUSABANGSA. Aku berpikir, menjadi murid pindahan akan menyenangkan, tidak ada yang mengenalku sebelumnya, hingga aku mudah berbaur, dan mungkin bisa dapat teman baru. Nyatanya aku masih sangat tidak mahir mencari tema...