Solo And Us
: present :Solo, kota yang cukup ramai di tengah terik matahari yang seolah membakar ubun-ubun. Sayangnya gadis dengan balutan jilbab berwarna hitam itu tak punya pilihan selain berjalan menyusuri ruko-ruko yang ada di pasar Klewer sembari menenteng sebuah map di tangan kanannya.
Keringat menetes perlahan melewati pelipisnya. Sudah ada lima toko yang ia datangi sejak pagi, dua diantaranya langsung menolak kendati mereka memang tidak butuh karyawan tambahan. Tiga lainnya tanpa kepastian, mereka bilang akan segera menghubunginya untuk memberi keputusan.
"Lulusan mana, nak?"
"SMK Bhakti Karya, Bu."
"Oh, Ndak kuliah ya?"
"Ndak, Bu. Uangnya yang tidak ada."
"Sayang sekali, lho. Padahal Ibu lihat kamu punya nilai yang bagus disini."
Gadis itu hanya tersenyum tanggung. Menatap kosong jejeran nilai apik dalam ijazahnya yang kini tak lagi bernilai. Untuk apa nilai bagus jika tidak bisa mendapat pekerjaan.
"Ehm, ya sudah, kalau kamu mau kamu boleh bantu-bantu disini," ucapan Ibu pemilik warung dengan balutan jilbab coklat itu tersenyum ramah. Tak pelak gadis itu dibuat terbelalak dengan tawaran yang sejak pagi ia harap untuk didengar.
"Mau, Bu. Mau. Saya siap kerja apapun itu," balasnya cepat dengan senang.
"Kalau begitu kamu bisa gantian shift sama Anto. Kamu shift pagi sampai sore, biar Anto sisanya. Dia lagi kuliah semester tiga soalnya, jadi tidak bisa kerja full time." Ucapan Ibu pemilik warung nasi rawon itu membuat gadis di hadapannya kembali mengucap syukur dalam hati. Tidak ada yang tahu rencana Allah sebenarnya, bahkan saat gadis itu memutuskan untuk mampir sekadar memuaskan dahaga yang nyaris mengeringkan tenggorokan. Secangkir teh panas dan seporsi nasi rawon yang ia pesan rupanya menarik atensi Ibu Sari untuk mendatangi dan membuatnya mulai bercerita.
"Namamu tadi siapa, Nak?"
Gadis itu tersenyum manis. Lesung pipinya mendadak muncul di sebelah kanan walau samar. "Mentari Dwi Maheswari," jawabnya santun.
Ibu Sari ikut tersenyum. "Nama yang cantik, persis seperti orangnya."
Mentari memang memiliki wajah yang bersih, meski pipinya sedikit tembam namun tak membuatnya merasa resah. Kecantikan itu sebenarnya terpancar melalui perilakunya yang santun dan lembut. Mungkin itulah yang membuat Ibu Sari tertarik pada sosok gadis yang sebelumnya telah ia perhatikan sejak dari kelokan jalan.
Seorang gadis yang tampak sabar membantu seorang nenek tua menyeberang jalan disaat orang lain memutuskan untuk acuh dan berlalu. Namun tidak untuk Mentari. Gadis itu benar-benar tampak bersinar lebih terang di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu lalang. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke sebuah warung makan yang terdapat di pinggir jalan, persis ketika perutnya terasa keroncongan.
"Oh iya, Ibu tinggal sebentar ke dapur ya? Sebentar lagi Anto pasti datang, kalau ada yang mau ditanyakan langsung tanya anaknya saja. Silakan dilanjut makannya, keburu dingin." Ibu Sari tersenyum sebelum akhirnya bangkit dari kursi.
Mentari mengangguk cepat, balas tersenyum hingga menatap punggung wanita itu hilang di balik dapur. Sejenak disana, Mentari mendadak sadar, penolakan yang ia terima sejak pagi rupanya bukan sesuatu yang patut disesalkan. Mungkin ini cara Allah untuk membawanya menyusuri lebih jauh jalanan kota dan mempertemukannya dengan orang sebaik Ibu Sari yang mau menerimanya dengan senang hati.
"Alhamdulillah," bisiknya lagi. Ia lantas segera membereskan map-nya di atas meja dan menarik sepiring nasi rawon ke hadapannya. Ia tersenyum lebih lebar, sepertinya dia akan sering mencium aroma lezat kuah rawon yang menggoda selera ini. Perutnya bisa jadi keroncongan tiap saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo And Us
Ficção AdolescenteMungkin hari ini mereka saling tak acuh. Namun bisa jadi, esok hari mereka saling berjabat tangan dan memulai untuk jalan beriringan.