PROLOG : MENGULIK LUKA

736 41 3
                                    


°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°

Peluh mengucur deras dari dahi seorang ibu muda yang kini tengah sibuk mengatur ritme nafasnya sembari bersandar pada pagar yang baru saja berhasil ia raih dan tutup.

Kelekar tawa terdengar begitu riuh dari arah halaman rumah. Dengan dibantu seonggok tongkat yang menjulang jatuh hingga tanah, wanita itu mulai berjalan penuh was-was guna mencari keberadaan anak-anaknya.

"Abang! Adek-adeknya ajak masuk semua!" Teriak wanita yang biasa disapa Maya itu. Sebelah tangannya coba meraba ke depan semisal ada sesuatu yang menghalangi langkahnya.

"Udah, Bundaa. Adik-adik sudah Eja bawa masuk ke dalam!" Balas bocah laki-laki berusia delapan tahun itu sembari menggaet kedua lengan adiknya yang juga masih terengah-engah selepas berlari.

Maya menghela nafasnya lega. Setelah lelah berlarian kini akhirnya ketiga putranya mau berdiri diam di dalam rumah. Memiliki tiga orang anak yang usianya masing-masing terpaut satu tahun memang tak mudah, tapi demi apapun, merekalah sumber bahagia Maya. Netra yang sejak dahulu tak pernah merasakan kenikmatannya melihat dunia entah mengapa kini diabaikan. Ketiga putranya telah lahir dengan kondisi sempurna. Puji syukur serta do'a ia langitkan setiap hari. Berharap ke depannya Tuhan rencanakan bahagia untuknya dan ketiga putra kecilnya.

Maya Harnalea tundukkan tubuhnya selagi sebelah tangannya yang bebas meraih udara mencoba mencari putranya.

Dengan sigap jemari kecil Sheja terangkat guna bantu Maya untuk duduk di depan mereka.

"Sudah capek?" Tanya Maya mengusap lembut peluh putranya dengan sorot mata menatap kosong ke arah depan.

"Capek Bunda, mau susu."

Maya terkekeh sebelum akhirnya kembali beranjak hendak membuatkan susu untuk ketiga putranya. Tepat ketika tubuhnya kembali berdiri tegap, suara decitan pintu menyapa rungunya, membuat kepalanya reflek menoleh.

"Mas? Sudah pulang?"

Menyadari tak ada jawaban, jemari lentiknya berusaha meraih si sulung yang berada tak jauh dari belakangnya. "Bang, itu Ayah bukan?"

Sheja mengangguk singkat meski tahu sang ibu tak dapat melihat anggukannya, namun setelahnya bersuara, "tapi Ayah sama Tante tante, Bun."

Maya kerutkan alisnya tak faham, belum sempat bibirnya kembali terbuka hendak melayangkan pertanyaan, sang suami lebih dulu menyela. "Buatkan kami teh, Fara akan berada disini untuk membahas pekerjaan denganku."

Wanita tunanetra itu hanya mampu diam membisu, perlahan bibir kelunya ia paksa menyunggingkan senyum manis sebelum akhirnya mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa ruang tamu. Meski hatinya berdenyut nyeri menyadari keganjalan yang telah lama dirasa semakin kental kebenarannya, apa yang bisa ia lakukan selain diam? Daripada mendengar mulut jahat yang kembali merendahkan kekurangannya.

Sementara tiga putra mungil Maya masih terdiam di sana. Shejaru, Jeenan, dan Ragatha kecil hanya mampu saling menatap polos penuh kebingungan. Ketiganya segera beranjak membantu Maya untuk berjalan menuju dapur.

Siapa yang tahu, ternyata pertemuan itu adalah awal dari kehancuran segalanya.

°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°

"Kita sudah resmi bercerai! Siapa yang mau ikut Ayah?"

°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°

"Keluar kalian kalau memang nggak sudi punya Ibu buta kaya saya! Silahkan ikut Ayah kalian yang brengsek itu!"

°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°

123 SICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang