"Tawa menggema membangun dinding sebagai simbol pertahanan. Tanpa seorang pun tahu di baliknya terdapat jiwa yang telah lama kosong tanpa asa dan rasa."-123 SICK°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°
Kelopak mata bulat itu reflek membelalak ketika rungunya dikejutkan dengan suara pecahan piring begitu keras.
Jeenan terdiam sejenak. Kornea legamnya dibawa mengelilingi setiap sudut ruangan yang saat ini di tempati. Tubuhnya dipaksa bangkit meski tenaganya begitu lemah sebab lelah dan demam menyerangnya sejak semalam. Jeenan angkat tangannya yang dingin lantas memijat pelipisnya yang masih di serang pening.
"Anjing! Kan tadi gue berangkat sekolah?!" Serunya tiba-tiba teringat kegiatannya sebelum gelap merenggut kesadarannya.
Jeenan meringis ketika kepalanya kembali terasa sakit. Tepat ketika itu, seseorang datang dengan segelas air dan obat yang masih terbungkus di dalam kantong kresek. Tentu baru di beli dari warung dekat rumah. Mengingat obat demam terakhir habis untuk si bontot Raga.
"Kebangun, ya? Maaf, tadi Bunda nggak sengaja nyenggol piring sampai jatuh." Wanita tunanetra itu melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar Jeenan. "Ini obatnya Bunda taruh sini, ya? Sebelum minum obat makan dulu."
Setelah meletakkan tongkat yang biasa memandu langkahnya, Maya meraba angin dengan niat mencari keberadaan putra keduanya. Jeenan tentu segera menjemput telapak tangan bunda memberi tahu keberadaannya.
Maya mengusap lembut surai kelam milik putranya setelah berhasil berdiri tepat di depan Jeenan. "Kalau sakit kesini. Sama Ayah nggak di urus kamu."
Sementara sedari tadi Jeenan terus menarik bibir pucatnya membentangkan senyum penuh hangat. Mencoba merasakan kasih sayang Maya yang rasanya sudah begitu lama tak di dapat. Menyamankan diri ketika bunda dengan senang hati memeluknya tanpa mengungkit 'kamu udah besar'. Seakan rasa irinya telah teredam oleh pelukan hangat bunda.
Jeenan harap, ini tak berakhir begitu cepat. Tapi sepertinya, ia hanya diizinkan menghangat dalam sekejap sebab kalimat Maya selanjutnya mematahkan harapan dan rasa bahagianya.
"Kalau sudah minum obat bantu Bunda di laundry. Bunda tunggu, jangan lelet, kamu tau 'kan Bundamu ini cacat?"
Setelahnya Maya bergegas keluar dibantu seonggok tongkat yang di bawanya kemana-mana. Meninggalkan Jeenan yang diam terpaku menatap kecewa pada pintu kayu yang baru saja di tutup.
Ruangan bekas gudang yang kini dijadikan kamar tidur Jeenan begitu hening kental akan rasa kecewa pemiliknya.Selain bekas gudang, kamarnya memiliki ukuran paling sempit dari abang dan adiknya. Melayangkan protes pun tak ada gunanya, yang dikatakan Maya hanya suruh dirinya untuk mengalah sebagai adik dan sebagai kakak.
Helaan nafasnya menguar, batinnya tak habis merutuki diri ketika sekali lagi harapannya membawanya terbang terlalu tinggi melupakan fakta kasih sayang bunda sepenuhnya milik Raga.
Setelahnya si anak tengah itu bergegas bangkit menuruti perintah Maya. Menatap kantung kresek berisi obat membuat senyuman kecil kembali terukir. "Seenggaknya masih di beliin obat, hehe."
"Cepetan Jeenan!"
"Iya Bunda."
°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°
"Ngelamun mulu lo. Kenapa sih, Ja? Ini tugas gabakal selesai sendiri kalo cuman lo diemin."
Teguran si ketua kelompok sontak buat Sheja kembali memusatkan fokusnya pada tugas jurusan yang saat ini tengah digarap. Sheja kembali memangku gitarnya dengan benar, bersiap segera memetiknya hingga bel istirahat memotong kegiatannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
123 SICK
Fiksi RemajaPerihal luka yang dipaksa bungkam. Perlahan tenggelam dalam lara yang buat asa kian sirna. Mereka, anak dengan masing-masing sandang gelarnya sebagai sulung, tengah, dan bungsu. Bukan lagi tentang yang pertama, kedua, maupun terakhir. Tapi mereka ya...