04: Jerit Letih Jiwa

295 39 2
                                        


"Terdapat jerit letih jiwa kesepian di balik tawa riang yang diumbar penuh dusta." -123 SICK

°°° ¹²³ ° ¹²³ ° ¹²³ °°°

Sedikit jauh dari hiruk pikuk jalan raya yang ramai akan lalu lalang kendaraan serta manusia yang sekedar berjalan ria. Disalah satu gang kecil sepi, dua insan sedang terlibat adu argumen, menghiraukan si bungsu yang hanya berdiri memperhatikan keduanya sembari menggendong seekor kucing putih mungil. Jangan salahkan dia kalau terjadi sesuatu, karena faktanya peleraiannya tak kunjung berhasil hingga detik ini.

"Udah gua bilang 'kan, gak usah banyak tingkah. Lo itu sakit, Jee!"

Si penerima rentetan kalimat penuh ceramah itu memutar pupil matanya malas, "apanya yang banyak tingkah sih? Gue bantu Bunda! Gak lihat lo??"

Yang lebih tua menggulung lengan hoodie nya menandakan emosinya mulai terpancing. "Kan udah gue suruh nolak. Nanti kalo sakit lo tambah parah siapa juga yang repot kalo bukan gua?!"

Alis yang lebih muda semakin menukik tajam. Menghiraukan peluh yang masih mengucur menghiasi wajah pucatnya, tas kecilnya semakin digenggam erat sebelum membantingnya ke tanah. "Lo pikir segampang itu?? Gue bukan lo yang selalu dibelain juga bukan Raga yang selalu dimaklumi!" Deru nafasnya menggebu dengan batin yang kian memberat. "Gue gak minta bantuan lo, gue juga gak minta belas kasih lo!"

Sementara di kubu lain emosinya juga belum stabil. Merasa khawatirnya justru dianggap sepele dan niat baiknya seakan di tolak mentah-mentah, namun meski demikian Sheja coba atur nada bicaranya perlahan. "Bisa gak sih sekali aja jangan batu? Gua cuman gak mau sakit lo tambah parah. Gue ngerti-"

Sontak lisannya memotong lancang, "apanya yang ngerti?? Lo ngerti apa soal gue? Jangan sok tau." Dadanya semakin naik turun kala emosinya kian menggebu. Mengingat ungkapan Sheja beberapa saat lalu cukup menyentil hatinya, seakan menyatakan jelas bahwa dirinya tak lebih dari sekedar beban pengemis kasih dan atensi. "Lo lebih tua dari gue bukan berarti bisa ngatur jalan hidup gue. Lo gak ngerti dan gak bakal ngerti! Lo emang anak pertama, tapi peran sulung mana yang udah lo laksanain?!"

Sabarnya si sulung habis digerogoti emosi atas ucapan lancang sang adik. Dengan emosi jauh meningkat Sheja layangkan tamparan keras mampu buat yang lebih muda telak membisu. "Jaga mulut lo, bangsat!"

Raga maju menengahi keduanya. Bungsu yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kini turut andil. Diam adalah pilihan bodoh jika tingkat emosi kedua abangnya sudah setinggi ini.

Raga mendorong Sheja menjauh dari Jeenan yang masih diam tak berkutik. "Bang Sheja! Pake otak lo!"

Jeenan kembali menegakkan tubuhnya, menatap nanar abang sulungnya penuh kecewa. Lantas lengannya bergerak menggeser Raga dari hadapannya. "Gue gak butuh pembelaan lo, Ga. Minggir!"

Jeenan bergerak pergi dalam diam. Tak membalas ataupun membela diri. Membisu memilih pasrah, kembali menyadarkan diri jika kali ini ia benar-benar seorang diri. Sheja yang ia kira satu-satunya orang yang mengerti dirinya nyatanya hanya angan belaka.

Raga sempat berlari menahan laju sepeda goes milik Jeenan. Namun sekali lagi, dengan bungkam yang lebih tua memilih tetap pergi. Sontak dengan emosi yang juga ikut naik si bungsu itu membalikkan badannya menghampiri Sheja. Kini giliran Raga yang mendadak penuh emosi menyadari lebam di ujung bibir Jeenan terlihat begitu menyedihkan dengan hias raut lelah abang keduanya itu.

123 SICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang