"Sebenarnya apa yang kau lakukan di tempat itu? Kau tau 'kan cuaca sedang tidak menentu sekarang. Seharusnya kalau sudah tau bakalan hujan itu langsung pulang. Bukan kelayapan kemana-mana."
Taufan benar-benar tidak berharap disambut oleh omelan kakaknya saat dia bangun pagi—atau bisa dikatakan siang—hari itu. Memang benar Halilintar mengomelinya terus menerus, tetapi saat Taufan meringis kesakitan karena mencoba bergerak, wajah Halilintar berubah menjadi khawatir dan perlakuannya pada Taufan sangat lembut.
"Ah.. awalnya nggak hujan, kak. Aku cuma nganterin tugas ke rumah dosen. Tapi pas mau pulang malah kesasar. Begitu nemu jalan yang bener, malah hampir kena pohon tumbang."
Taufan berujar dengan santai sembari memainkan perban pada tangan kirinya. Ternyata tangannya malah patah. Pasti karena Taufan berusaha menahan tubuhnya saat terjatuh. Syukurlah bukan tangan kanannya yang terluka, akan merepotkan jika tangan kanannya yang patah.
"Kamu jatuhnya bagaimana?"
Taufan berusaha mengingat-ingat kejadian saat itu, sebenarnya dia tidak mengingat banyak. Semua terjadi begitu cepat, jadi dia hanya dapat memberikan jawaban seadanya saja, "Nggak ingat sih. Tapi kayaknya aku terlempar dari motor. Kak Hali lewat lokasi yang pohon tumbang itu kah?"
"Iya."
"Berarti Kak Hali lihat pinggir jalan bagian kiri yang agak curam 'kan?"
Halilintar tak langsung menjawab. Mungkin saja dia berusaha mengingat-ingat lagi keadaan jalanan yang dilewatinya. Namun kemudian dia mengangguk dengan ragu.
"Aku jatuh ke sana."
Mata Halilintar membelalak dan raut mukanya menampilkan ekspresi terkejut, "Hah?! Kau apa?!"
Taufan tertawa melihat reaksi Halilintar, "Jangan kaget gitu, kak. Iya, aku jatuh ke sana. Untungnya nyangkut di pohon, tapi kayaknya karena itu tanganku patah."
Karena Halilintar hanya diam, Taufan pikir kakaknya itu tidak lagi mempermasalahkan mengenai kejadian yang menimpanya. Dia tengah berusaha menggerakkan tangan kirinya untuk menguji sejauh mana lukanya saat pintu ruangannya terbuka. Saudara-saudaranya berebut untuk masuk sampai Gempa menegur mereka. Blaze dan Duri melompat dan nyaris menimpa Taufan jika bukan karena Halilintar dan Gempa yang sigap menangkap dan menahan keduanya.
Taufan menghela nafas lega, untungnya dia tidak menambah lebih banyak tulang yang patah di tubuhnya.
Gempa mendekatinya saat Halilintar sibuk memarahi kedua adik mereka. Adik kembarnya memiliki raut wajah khawatir ketika pandangannya tertuju pada tangan kiri Taufan.
"Kak Taufan kenapa bisa sampai kayak gini?"
"Te-"
"Kakakmu itu jatuh ke jurang." Halilintar memotong perkataan Taufan.
Gempa membuat suara tercekik sementara keempat adik mereka menatap Taufan dengan horor. Oh sial, mengapa Halilintar sangat suka membuat suasana menjadi tidak menyenangkan bagi Taufan? Padahal Taufan berniat menjelaskan dengan cara yang lebih lembut agar kelima adiknya itu tidak panik, tetapi lihatlah kakaknya. Mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Kakak kok masih hidup?" Celetuk Duri.
Tentu saja dia mendapat teguran dari Hali dan Gempa. Sementara Taufan tertawa terpingkal-pingkal atas kepolosan adiknya. Oh astaga, Taufan merasa sesak nafas sekarang.
"Kok ketawa?"
"Duri, Kak Hali itu terlalu mendramatisir. Aku nggak jatuh ke jurang. Cuma masuk ke lereng yang agak.. curam?"
Gempa terlihat skeptis, "Kak, itu jurang."
"Nggak! Bukan jurang. Gimana jelasinnya juga aku bingung. Intinya aku nggak masuk ke dalam jurang. Lebih baik kita hentikan pembahasan ini ya."
Meski Gempa masih terus menatapnya dengan tatapan khawatir, tetapi diamnya Gempa akan Taufan anggap sebagai persetujuan Gempa untuk tidak membahas perihal kejadian yang menimpanya. Sebenarnya adik-adiknya yang lain masih terus bertanya kenapa bisa Taufan terjatuh atau bagaimana caranya Taufan mencapai bengkel tempat Halilintar menjemputnya. Namun lebih mudah bercerita pada mereka karena Taufan bisa menyelinginya dengan candaan. Tentu dia terus mendapatkan tatapan tidak setuju dari Halilintar dan Gempa—yang dia pilih untuk abaikan.
Keenam saudaranya terus menemani Taufan hingga jam besuk berakhir. Kali ini yang memilih tinggal adalah Gempa sementara Halilintar pulang bersama keempat adik mereka. Mereka telah mengatur untuk secara bergiliran menjaga Taufan hingga Taufan keluar dari rumah sakit. Padahal Taufan sudah mengatakan pada mereka untuk tidak perlu sampai segitunya. Tetapi tak ada yang mau mendengarkannya.
Bahkan setelah Taufan keluar dari rumah sakit, keenam saudaranya itu masih bertingkah sangat protektif terhadapnya. Taufan tak tau apa dia harus menikmati perlakuan mereka atau malah menentangnya.
Fin.
20 Februari 2024
Edit: 24 Oktober 2024