Chapter 7

400 45 64
                                    

Tahun 1998



Pagi itu dipenuhi kabut tebal. Jalanan sepi dan sunyi senyap. Beberapa burung kecil bertengger di kabel listrik dan bernyanyi pilu, menyaksikan betapa suramnya pemandangan kota tersebut.

Di tengah-tengah itu, terdengar suara pintu terbuka pelan, dilanjutkan beberapa langkah yang mengendap-endap menuju mobil yang terparkir di luar pagar.

Dari celah pintu rumah yang terbuka, kepala Zayyan melongok keluar sambil menoleh ke sekeliling rumah dengan cemas dan mengamati tiga sosok yang sudah mendekati mobil.

Di saat pria itu dan Leo sudah masuk ke dalam mobil, tinggal Sing yang masih di luar, berdiri dengan raut wajah yang ragu.

"Sing? Cepatlah masuk!" desak pria itu dengan suara rendah.

Anak itu melirik sedih pria yang berstatus pamannya itu dan menoleh ke belakang, mendapati Zayyan yang masih mengawasi mereka dengan wajah khawatir.

Sing tersenyum paksa dengan bibirnya yang bergetar. Jujur, hatinya sungguh berat untuk meninggalkan remaja itu. Bagaimana pun Zayyan sudah seperti saudaranya dan Leo, dialah sosok kakak yang menemani mereka tumbuh besar sampai saat ini.

Dulu dia membayangkan mereka bertiga bisa terus bersama sampai tua nanti, tetapi keadaan saat ini membuat bayangan itu sirna.
Sing tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia dan Leo telah kehilangan orang tua yang mereka sayangi. Jadi, mereka juga tidak bisa kehilangan Zayyan seperti ini.

Pandangan Sing menggelap. Entah setan mana yang menghilangkan akal sehatnya, hingga kaki kecilnya pun kembali melangkah dengan cepat menuju pintu rumah, bersamaan cairan bening mulai luruh dari netranya.

"SING--"

Pria yang di dalam mobil hampir berteriak marah, Leo tampak syok, dan Zayyan menjadi panik seketika.
"Sing, apa yang kamu lakukan?! Cepat pergi dari sini!"

Zayyan tampak geram akibat tindakan bodoh Sing. Dia mau tak mau keluar dari balik pintu, berniat mendorong anak nakal itu agar kembali ke mobil.

Namun, Sing sudah duluan menerjangnya. Merengkuh erat Zayyan dan menenggelamkan wajahnya di dada pihak lain.

"Dasar bocah nakal! Apa yang--"

Ucapan Zayyan terhenti ketika merasakan pundak Sing bergetar hebat karena menahan suara tangisannya.

Sepertinya anak itu mengeluarkan banyak air mata sehingga Zayyan bisa merasakan baju di bagian dadanya mulai basah.

Ia mengelus kepala Sing dengan lembut dan balik memeluk kelinci kecil itu.

"Sing, aku tahu perpisahan ini berat untuk kita semua. Tapi, ini untuk keselamatan kalian. Tolong jangan membuat pamanmu marah seperti ini. Jika kita ditakdirkan bersama, kita pasti akan bertemu."

Sing mendongakkan wajahnya menatap mata almond Zayyan. Air matanya berjatuhan dalam diam bagaikan manik-manik kristal yang jatuh dari gelang yang putus. Wajah putihnya memerah, terutama hidung mancungnya. Bibirnya terkatup rapat, memblokir isak tangis yang keluar.

"Gege harus berjanji kita akan bertemu lagi..." pintanya.

Zayyan merasa tak berdaya. Terlebih lagi pandangan memohon itu seakan-akan menembus jantungnya dan membuat dadanya berdenyut sakit.

Dia tidak berusaha untuk tidak menangis di hadapan Sing dan Leo. Sebagai sosok kakak, adik-adiknya tidak boleh melihat dia dalam keadaan rapuh.

Paman mereka sudah tidak bisa bersabar lagi. Pria itu akhirnya beranjak dari kursi pengemudi dan berjalan mendekati mereka berdua, hendak menyeret keponakannya.

Melihat hal itu, Zayyan tidak punya pilihan selain menyetujui permintaan Sing.

"Baiklah, Gege berjanji. Setelah ini, kita akan bertemu lagi. Jadi, sekarang cepatlah masuk ke mobil dan kembali ke negara kalian, oke?"

Sing hendak mengatakan sesuatu, tetapi tangannya telah diseret oleh pamannya terlebih dahulu. Itu membuat Sing sempat kehilangan keseimbangan, kalau saja dia tidak segera menyeimbangkan langkah kakinya.

Zayyan mengerutkan keningnya melihat perlakuan tersebut.

"Paman, bisakah Paman tidak kasar pada Sing?" tegur Zayyan dengan sopan.

Pria itu tersadar dari amarahnya. Kemudian dia berhenti dan menatap sendu Sing, merasa bersalah.

"Maafkan paman, tapi bagaimana pun kita harus cepat pergi dari sini."

Zayyan mengikuti mereka. Memastikan Sing benar-benar masuk ke dalam, takut-takut anak itu berulah lagi.

Leo yang ternyata juga menangis sesenggukan menghambur ke dalam pelukan Zayyan bersama Sing. Ibu jari Zayyan menghapus air mata keduanya secara bergantian dan mengecup puncak kepala mereka.

"Jaga diri kalian baik-baik! Dengarkan paman dan jangan nakal! Gege yakin kita akan bertemu lagi."

Kaca mobil telah tertutup, roda mobil mulai bergerak perlahan, dan meninggalkan Zayyan yang berdiri sendirian di sana.

Terlihat wajah-wajah kecil yang masih berlumuran air mata itu menempel di kaca mobil bagian belakang, menatap tidak rela pada Zayyan yang tersenyum sedih.

Remaja itu melambaikan tangannya, tanda perpisahan. Dan dibalas oleh Sing dan Leo yang berada di dalam mobil.

Tidak peduli betapa pun beratnya hal ini, tidak menutup kebenaran bahwa akhir dari sebuah pertemuan yang manis adalah perpisahan yang pahit.

Tanpa mereka semua ketahui, malapetaka sebentar lagi akan datang. Namun, keberuntungan sepertinya berpihak pada Sing dan Leo. Sedangkan Zayyan ....






Tbc.

Me : jika aku jadi Zayyan, aku akan menghajar Sing dan Leo! (⁠ノ⁠ಠ⁠益⁠ಠ⁠)⁠ノ

Perkataan di atas mengandung spoiler 😌

Omong kosong penulis :

Sudah dua kali ini dua bokem Hongkong mampir di mimpiku ಠ⁠_⁠ಠ
Dan selalu di saat aku menjadi Zayyan (dalam wujud Zayyan)

Dan aku sangat takut ಥ⁠‿⁠ಥ karena mengetahui bagaimana rasanya ketempelan mereka, diikuti terus-menerus, dirangkul dan itu sungguh berat.

Dan yang membuatku semakin takut adalah aku takut mereka itu jin yang menyamar dan masuk ke dalam mimpiku ༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ

Aku selalu overthinking jika mimpi bertemu laki-laki tampan (⁠ꏿ⁠﹏⁠ꏿ⁠;⁠) karena biasanya bukan pertanda baik.

Gege, Do You Still Love Your Didi?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang