Prolog

8 3 1
                                    

Alyssa Rhoderica, wanita dengan hati yang hangat dan senyumannya yang lembut, satu-satunya wanita yang ku cintai dalam hidupku. Berkat dirinya, aku tak terjebak lagi di pandangan monochrome ini. Wanita yang telah mewarnai hidupku, sayangnya tak bisa menjadi teman hidupku.

Di minggu pagi yang cerah di kala itu, seperti biasa aku menghabiskan waktuku untuk menggambar di tepian teluk hutan Bellaire, satu-satunya tempat yang membuat suasana hatiku tenang dan nyaman. Keindahannya tiada tara, sebab itulah tempat ini sangat cocok untuk seniman yang minim inspirasi sepertiku.

Lalu di saat itu juga aku bertemu dengan Alyssa untuk pertama kalinya. Sepasang manik amber itu sungguh mempesona, angin yang sejuk menerpa helaian rambut cokelatnya yang begitu halus.

"Kamu... siapa?" tanya Alyssa.

"...Eden, Eden Stomford."



























"ARGH! APA-APAAN INI?! Apa yang baru saja ku baca, astaga..." Verner menutup buku itu dengan kasar, wajahnya memerah malu sendiri setelah membaca buku harian milik mendiang Ayahnya. Siapa sangka Ayahnya adalah orang yang begitu manis dan puitis.

Jeannette yang melihat reaksi sang kakak pun tertawa pelan. "Astaga, Kak. Ternyata kau berbeda sekali ya dari Ayah?" Jeannette menyeringai tipis.

"Apa maksudmu, bocah?" tanya Verner yang menatap adiknya dengan alis yang menukik kesal.

"Bukan apa-apa," Jeannette hanya tersenyum jahil, jika dia bilang bahwa dia sangat kontras dengan perilaku lembut Ayahnya, bisa-bisa dia dicubit nanti. Jeannette tidak mau pipinya ini semakin melar.

Cling!

Bel rumah berbunyi dan pintu pun terbuka, menampakkan dua anak beruang yang membawa wadah yang terisi penuh dengan madu.

"Aku pulang! Jannie, lihat! Aku mendapat banyak madu hari ini, hehehe..." kata salah satu anak beruang itu lalu memberikan wadah berisi madu itu pada Jeannette.

"Waah... hebat sekali kalian bisa mendapat sebanyak ini," kata Jeannette sambil tersenyum hangat, dia menerima madu itu lalu menaruhnya di atas meja makan.

Jeannette mengelus pucuk kepala kedua anak beruang itu dengan lembut. "Anak-anak hebat~! Terima kasih atas kerja keras kalian, hari ini kita akan makan pancake bersama!"

"Pancake? Yeay!" Anak beruang itu melompat dengan girang, sedangkan yang satunya terlihat biasa saja lalu pergi untuk duduk di samping Verner yang akhirnya memutuskan untuk lanjut membaca buku diari itu.

"Anda sedang membaca apa, Tuan Vern?" tanyanya dengan sopan.

Verner yang tengah fokus membaca terlonjak kaget dengan kehadirannya, lalu dengan segera menutup buku itu.

"Kau masih kecil, tidak boleh membaca sesuatu yang terlalu romantis seperti ini!" tegas Verner, dia lalu mengangkatnya dan membawa anak beruang itu ke dapur.

"H-hey...!" Anak beruang itu ingin protes tapi dirinya hanya bisa menghela napas pasrah.

"Oh! Kemarilah, Chio! Aku dan Jeannette sedang membuat pancake," ucap anak beruang yang bernama Chia yang merupakan saudara kembar Chio.

"Nah, kau bantu saja mereka memasak, jangan mengintip apa yang sedang ku baca!" ucap Verner memperingati, lalu kembali untuk membaca buku.

"Terserah deh... lagian buku apa sih itu," gumam Chio yang keheranan dengan tingkah kakak dari Jeannette itu.

"Chio, tolong ambilkan susu," pinta Jeannette.

"Oke, sebentar."

Chio pun pergi untuk mengambil sebotol susu lalu memberikannya pada Jeannette, Jeannette lalu menuangkan susu itu ke dalam adonan pancake nya. Chia pun kembali mengaduk adonannya.

"Oh iya, omong-omong, di mana Nala dan Bonnie?" tanya Jeannette yang sedang memanaskan perapian.

"Api kecil saja, Jannie," ucap Chia mengingatkannya. Jeannette pun mengangguk.

"Nala dan Bonnie sedang berburu mencari bahan masakan untuk makan malam," jawab Chio.

Cling!

Bel rumah berbunyi lagi, menampakkan dua beruang lainnya, itu adalah Nala dan Bonnie, mereka membawa daging yang sudah dipotong dengan rapi.

"Nah, itu mereka."

"Kami pulang," ucap keduanya. Nala pergi untuk menaruh daging itu, dan Bonnie kini sedang mencuci pisau daging yang ia gunakan untuk memotong daging rusa yang ia buru tadi.

"Chio, Kakak, tolong siapkan peralatan makannya, sarapan akan segera siap," ucap Jeannette. Verner menutup bukunya lalu membantu Chio untuk menata meja makan.

Setelah semuanya selesai, mereka pun duduk bersama di meja makan. Sungguh pagi yang damai, pikir Verner. Dia harap kedamaian ini akan terus berlanjut, karena dirinya tak akan pernah bosan melihat senyum sumringah adiknya setiap hari.

"Selamat makan!" ucap mereka semua lalu memakan pancake nya dengan lahap.

"Jannie! Jannie! Aku mau madunya lagi," kata Chia.

"Baiklah, ini dia." Jeannette pun menuangkan madunya pada pancake milik Chia, Chia pun tersenyum senang dan menepuk tangannya dengan girang.

"Terima kasih, Jannie!"

"Sama-sama."

Di sisi lain, merpati putih bernama Daphne membawa secarik gulungan kertas yang terikat di kakinya. Daphne terbang memasuki rumah melalui jendela yang terbuka.

"Ada surat! Ada surat!" ucap Daphne dengan suara nyaringnya, ia pun menghampiri Verner, itu berarti surat tersebut untuk Verner.

Daphne bertengger pada lengan Verner, Verner membuka ikatannya dan mengambil kertas tersebut lalu membacanya. Pertama-tama, ia mengecek kop suratnya terlebih dahulu.

"Logo ini..." Verner menyipitkan matanya, memandang isi surat itu dengan curiga.

"Surat dari siapa, Kak?" tanya Jeannette yang baru datang setelah mencuci piring.

"Marquess Cracknell."

C A M A R A D E R I ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang