Setelah memaksa Kala untuk duduk di kursi penumpang, Aska kembali melirik. Saudara kembarnya itu tampak kesal, mengerucutkan bibir seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan. Kedua lengan yang terlipat di depan dada, dengan kedua mata yang tampak mengantuk.
"Masih ngantuk gitu malah maksa nyetir. Lo pikir, gue mau dibawa ke IGD pagi-pagi begini?" Aska berucap, melajukan mobil. Melirik ke kanan dan ke kiri, sebelum masuk ke jalan utama.
"Gue nggak mau nyusahin lo, tahu."
"Biasanya justru gue yang nyusahin, 'kan?" Aska membalas cepat. Tangan kirinya yang bebas terangkat, melakukan gerakan yang bahkan tidak pernah Kala kira; menepuk puncak kepala Kala perlahan.
"Tidur. Lo semalaman begadang, 'kan?"
Raut wajah Kala berubah, terharu dengan perlakuan hangat Aska yang jarang diperlihatkan, meski keduanya bahkan sudah saling mengenal sejak di dalam kandungan. Senyum yang kemudian terulas, genangan di sudut mata yang tiba-tiba hadir begitu saja. Kala tahu, kadang Aska juga mampu bersikap hangat.
"Dek."
"Jangan panggil gue 'Adek'."
"Adek Aska."
"Kak!"
Kala terkekeh geli. Kedua kelopak matanya menyipit begitu sinar mentari membias masuk. "Kayaknya, lebih cocok lo yang dapat gelar kakak, dibanding gue," ucapnya kemudian.
Aska diam sejenak. Dia tidak pernah bisa setuju. Nyatanya, Aska tidak pernah membayangkan dirinya menjadi seorang kakak. Selama ini selalu dipanggil dengan sebutan adik, belum lagi ketidakmampuan dirinya untuk menanggung beban seperti Kala. Sejauh apa yang ada di pikiran Aska, gelar kakak memang ditakdirkan untuk Kala.
"Lo lebih baik dari gue, lebih dewasa, orang tua kita juga lebih percaya sama lo," lanjut Kala. "Lo juga cocok dipanggil Kak Aska."
"Nggak." Aska menolak. Ia menggeleng cepat. Senyumnya lalu terbit. "Gue nggak akan pernah jadi kakak. Lo yang bakal selalu jadi kakak gue."
Kala tertawa pelan. Kadang-kadang, adiknya itu bisa manis juga. Makanya, Kala selalu ingin mengabadikan momen ini. Momen di mana keduanya dapat saling berbicara tanpa ada yang tertahan di ujung lidah.
"Aska."
"Apa?"
"Gue juga mau selalu jadi kakak lo. Caranya, lo harus tetap hidup."
Aska menghela napas panjang. Mencengkeram kemudi dan menoleh. Sejenak menatap Kala, sebelum kembali fokus pada jalanan padat yang terbentang di hadapannya.
"Lo akan selalu jadi kakak gue, meski gue nggak ada nantinya," balas Aska.
"Gelar kakak nggak akan lengkap kalau nggak ada adek, Ka."
Aska menggigit bibir bawahnya. Lidahnya kelu. Dia bahkan tidak dapat kembali bersuara.
"Gue mau selamanya jadi kakak lo."
"Iya."
"Makanya itu—"
"Gue harus tetap hidup, 'kan?"
Kala sempat tertegun, namun senyum terbit setelahnya.
•••
Kala tidak pernah berminat pada materi yang terpampang di hadapannya. Mengenai sistem kardiovaskular, anatomi fisiologi, hingga patofisiologi. Mata kuliah Medikal Bedah menjadi salah satu mata kuliah yang membuat Kala mampu tertidur nyenyak.
Namun, tidak berlaku bagi Aska.
Melihat bagaimana binar tampak bersinar di kedua matanya yang hampir redup, lantas membuat senyum Kala merekah. Dia tertawa kecil, menertawai bagaimana dirinya bisa sangat berkebalikan dengan Aska, medki keduanya adalah saudara kembar.
"Lo benar-benar cocok di sini, Ka," ucap Kala perlahan.
"Ya," jawab Aska singkat. Tangannya bergerak perlahan, menulis setiap penjelasan penting yang diucapkan dosennya. Dia tidak ingin fokusnya terganggu. Makanya, dibiarkan saja Kala mengoceh sendiri.
"Andai gue juga punya minat yang sama kayak lo, mungkin gue bakal bisa serius ngejalanin hidup," lanjut Kala. "Gue senang karena lo jadi semangat."
Aska melirik sejenak, mengembuskan napas panjang. "Ya," ucapnya kembali, tidak berminat untuk berbicara lebih jauh lagi.
"Ka, lo mau ngambil spesialis, 'kan, nantinya?" Kala menopang dagu dengan kedua tangan. Netranya mungkin menatap papan tulis, namun sorotnha menatap jauh ke depan. Membayangkan bagaimana akhir bahagia menjadi milik Aska, dirinya mungkin akan ikut bahagia, apalagi kedua orang tuanya.
"Lo nggak?" Aska balik bertanya.
Kala menggeleng. Otaknya saja sudah bekerja keras hanya untuk menempuh gelar sarjana, apalagi jika dia masih harus menempuh pendidikan lebih jauh lagi. Otaknya mungkin akan berhenti bekerja ketika Kala sampai di gerbang kampus.
"Gue bagian nyari uang aja, Ka," jawab Kala. "Lo tetap sekolah, setinggi mungkin. Gue bakal bantu dari finansial. Seenggaknya, hidup gue akhirnya berguna buat bunda sama ayah."
Aska tidak tahu harus merespon seperti apa, jadi dia memilih diam. Membaca tulisan di layar proyektor. Menarik napas panjang yang terasa begitu menyesakkan.
Kakaknya itu ... pikirannya terlalu positif ... ya?
"Ka, gue mau dengar nama lo disebut dengan gelar spesialis, ya," pinta Kala kemudian. "Pokoknya, harus bisa. Nggak boleh nggak."
"Kak ...."
Kala tersenyum lebar. Menepuk punggung Aska perlahan. Dia mungkin harus berhenti berbicara sebelum menjadi perhatian Bu Ayun, dosen Medikal Bedah mereka. Beruntung, keduanya duduk di belakang sehingga tidak terlalu menarik perhatian.
"Aska." Kala melipat kedua lengan di atas meja. "Lo tahu, 'kan, gue bakal ngelakuin apapun buat lo? Buat ngelihat lo bahagia dan sukses sama kehidupan lo?"
Aska menggeleng pelan, takut dengan arah pembicaraan keduanya.
"Gue bakal lakuin semuanya, Ka," lanjut Kala. "Apapun itu, termasuk kalau gue harus nyerahin hidup gue."
"Jangan sembarangan," balas Aska. "Lo tahu kalau gue nggak mau hidup tanpa lo."
"Lo bisa hidup dengan jantung gue, 'kan? Bunda sama ayah pasti juga bahagia."
Kedua tangan Aska terkepal. Dia melempar pulpennya ke atas meja. Mengangkat tangan, sebelum bangkit. Ucapan Kala benar-benar membuat dirinya emosi, hingga pada akhirnya Aska memutuskan berjalan ke luar kelas. Meninggalkan Kala yang tidak bisa mengerti dengan sikap Aska.
Padahal ... ucapan Kala ... benar, 'kan?
•to be continued•
A/n
Long time no see guys! Aaaaku mau nulis yang santai dulu, soalnya rasanya kaku banget hehehehe.
Jadi, siapa yang kangen aku?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Askara Kalandra
General FictionAska bisa dibilang sebagai anak yang-hampir-sempurna. Dia adalah mahasiswa berprestasi di jurusannya, kepala Divisi Ilmiah di organisasi jurusan, punya kemampuan bermain musik, salah satu anggota debat yang sering menyabet penghargaan best speaker p...