Kala tahu, dia sudah salah bicara. Seratus persen Aska tidak akan mengacuhkan. Meski keduanya masih duduk bersisian, namun keheningan menyergap. Membawa hawa dingin yang lalu membuat Kala mengernyit.
Diliriknya sang adik yang tampak fokus. Tidak sekali pun menampilkan ekspresi. Meski begitu, Kala sadar bahwa ada sorot kemarahan yang tergambar jelas di kedua manik mata cerahnya.
Lengan Kala kemudian menyenggol Aska. Jam sudah menunjukkan waktunya istirahat, namun adiknya itu tidak juga beranjak. Meski Kala bisa pergi ke kantin sendiri atau mengajak Ghifar, teman sekelas mereka, hanya saja rasanya aneh jika harus meninggalkan Aska seorang diri di kelas.
"Makan," ucap Aska setelahnya. Dia sadar, Kala tidak akan beranjak tanpa dirinya. Tidak bisa terus-menerus mogok bicara, hanya karena ucapan asal Kala.
Tidak mungkin kakaknya itu serius, 'kan?
"Iya," balas Kala. Dia berdeham pelan. "Sama lo."
Kadang-kadang, Aska benar-benar berpikir bahwa Kala menyebalkan.
"Gue nggak nafsu makan. Mual," jawab Aska. Dia mungkin bisa saja menemani Kala, tetapi aroma masakan yang bercampur di kantin akan membuat mualnya semakin parah. Bisa-bisa, Aska tidak akan fokus dengan kuliah selanjutnya.
Helaan napas Kala terbit. Dia mungkin menyebalkan, tapi Kala menjadi salah satu orang yang akan memaksa Aska untuk menyantap makanannya. Jika tidak, Kala bahkan tidak yakin bahwa di otak Aska ada kata makan.
"Ka, lo nggak apa-apa?" Raut wajah Kala berubah khawatir. Hidupnya mungkin tidak akan tenang. Bagi Kala, tugasnya seumur hidup adalah menjaga Aska. Makanya, jika ada sesuatu yang tidak beres, Kala tidak akan diam saja.
Termasuk saat ini.
Masalahnya, Aska tidak akan pernah suka dengan perlakuan Kala. Mereka sudah dewasa, hampir menyentuh seperlima abad usianya. Tetapi, sikap Kala masih sama saja. Seolah, Aska tidak bisa menjaga diri sendiri.
"Muka lo pucat. Lo baik-baik aja?"
"Kak, muka gue begini dari lahir," jawab Aska. Dia lantas bangkit. Setidaknya, jika dia mau makan, Kala mungkin bisa diam. "Ya udah, yuk."
"Yuk?"
"Katanya lo mau makan?"
Kala tersenyum tipis. Dia meraih tangan Aska yang tidak memiliki persiapan apa-apa, lalu bangkit. Hampir membuat adiknya itu terjengkang jika tidak refleks memegang teralis jendela.
"Jangan tiba-tiba!" seru Aska kesal. Dia mendorong Kala perlahan. "Kalau gue jatuh, lo juga ikut jatuh."
Kala terkikik. Melingkarkan lengannya di pundak Aska. Menyeret sang adik, meski dia terus menggerutu.
Wajar, tingkah Kala kadang memang membuat emosi.
Keduanya berjalan menyusuri koridor. Tidak ada yang bersuara, kecuali decitan sepatu yang sengaja Kala ciptakan. Setidaknya, mereka tidak lagi saling mendiamkan.
Tepat di depan loker, tiba-tiba Aska berhenti. Menunduk dalam. Lalu, menatap Kala.
"Kak," panggilnya pelan.
"Ya?"
"Gue nggak suka lo ngomong kayak gitu tadi," lanjut Aska.
Kala tersenyum tipis. "Maaf."
"Walaupun cuma bercanda, tapi candaan lo nggak lucu sama sekali."
"Iya, maaf."
"Jangan gitu lagi."
Kala lantas tertawa pelan. "Iya, iya. Janji, nih."
Cuma bercanda, katanya.
Padahal, Kala selalu serius dengan ucapannya.
•••
Ada rasa sakit yang akhir-akhir ini selalu Aska rasakan. Entah bagaimana ceritanya, di akhir mata kuliah, dia lebih memilih untuk membaringkan kepala di atas meja. Membiarkan Kala duduk sendiri di depan, padahal laki-laki itu juga sudah memaksa untuk menemani.
Masalahnya, kalau Aska jujur, Kala pasti akan merespon berlebihan.
Hingga kelas berakhir pun, Aska belum juga mengangkat kepala. Rasa sesak yang berlebihan membuatnya sedikit meringis. Jemarinya perlahan meremas ujung seragam yang digunakan.
Kenapa harus dirinya yang mengalami penderitaan semacam ini?
"Adek."
Untuk pertama kalinya setelah setelah terakhir kali, Aska menoleh, tanpa mengangkat kepala. Seolah bertanya tanpa suara, Aska tersenyum tipis. Jangan sampai Kala khawatir pada dirinya.
"Ya?"
"Tumben mau nyaut kalau dipanggil 'adek'." Kala terkekeh geli sendiri. Dia memosisikan dirinya di sebelah Aska. "Ngantuk banget. Tidur dulu baru pulang, boleh, nggak?"
Rasanya Aska mau langsung pulang ke rumah, tapi melihat kedua mata Kala yang sayu, rasanya dia jadi tidak tega.
"Boleh." Pada akhirnya, Aska mengiyakan. Setidaknya, dirinya juga harus menghilangkan rasa sakit yang perlahan mulai menyiksa. "Tapi, jangan sampai hampir dikunciin kayak minggu lalu."
Kala tertawa pelan. "Iya." Setelahnya, Kala membaringkan kepala. Membelakangi Aska. Tidak bertanya apapun dan tampak tidak menyadari perubahan raut wajah Aska.
"Tidur yang nyenyak, Kak," gumam Aska. "Semoga setelah lo bangun, gue juga nggak ngerasa nyeri lagi."
Aska berusaha ikut memejamkan mata, tanpa menyadari bahwa sedari tadi Kala mendengarkan ucapannya.
Berusaha untuk diam, meski ada rasa takut yang kemudian membuat Kala merasa sesak.
Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Aska, apa ... bunda dan ayah akan kembali menyalahkan dirinya?
•to be continued•
A/n
Pelan-pelan balik nulis, meski lebih sering ngantuk wkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Askara Kalandra
Ficción GeneralAska bisa dibilang sebagai anak yang-hampir-sempurna. Dia adalah mahasiswa berprestasi di jurusannya, kepala Divisi Ilmiah di organisasi jurusan, punya kemampuan bermain musik, salah satu anggota debat yang sering menyabet penghargaan best speaker p...