"Kalau nggak salah ini deh rumahnya, semoga saja benar," dengan mulut yang tidak berhenti menggerutu aku menarik mobil sedan tua—yang umurnya lebih dari lima belas tahun, milik almarhumah ibuku—menjauhi pagar supaya tidak menghalangi siapa pun yang mau masuk atau keluar dari gerbang rumah mewah di depan.
Sial! Tua bangka yang harus aku panggil ayah itu tidak memberitahu kalau ada pesta di rumahnya malam ini. Yaah, dia memang tidak memberitahuku banyak hal.
Bahkan si tua itu juga tidak muncul di pemakaman ibuku. Kalau saja sekarang ini tidak butuh tempat tinggal, aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di sini.
Sayangnya hidup berjalan tidak sesuai dengan kemauanku. Untuk membayar biaya pengobatan ibuku di rumah sakit yang jumlahnya tidak sedikit, terpaksa aku harus menjual rumah kecil peninggalan nenekku, satu-satunya harta berharga yang kami punya. Sekarang harta yang tersisa hanyalah beberapa potong pakaian dan mobil sedan tua yang pajaknya pun tidak pernah dibayar.
Menghubungi seseorang yang tidak pernah peduli denganku, seseorang yang tidak pernah sekalipun datang menjenguk saat ibuku berjuang melawan kanker selama tiga tahun adalah hal yang amat sangat sulit. Namun tidak ada pilihan, dialah satu-satunya keluarga yang tersisa bagiku.
Aku menatap rumah besar berlantai tiga yang terletak tepat di atas pasir putih Pantai Ancol, Jakarta. Ini adalah rumah baru ayahku dengan keluarga barunya.
Hihhh!!! Mengingat bagaimana hubungan kami selama ini, aku merasa aku tidak akan pernah cocok dengan mereka di sini.
Ceklek!
Pintu mobil sedan tuaku tiba-tiba terbuka. Secara insting, aku meraih ke bawah kursi dan mengambil sebilah pisau yang aku sembunyikan di sana. Dengan sigap aku mengayunkan pisau ke atas dan langsung menodong ke arah si penyusup, memegangnya dengan kedua tangan siap menerkam siapa saja yang berusaha mengusikku.
"Oh shit ... sabar, woy, sabar jauhin pisau lo. Gue bukan perampok, gue orang baik-baik, gue deketin mobil lo dengan niat baik." Seorang pria dengan rambut hitam acak-acakan yang diselipkan di belakang telinganya berdiri di sisi lain pisauku dengan kedua tangannya terangkat dan kedua bola mata membelalak.
"Heh, mana ada orang baik-baik yang berani buka pintu mobil orang. Mau maling kamu ya?!"
"Serius!" Pria di depanku membuat gesture bersumpah dengan dua jarinya, "Gue ke sini karena ngeliat lo kayak orang bingung, Gue pikir lo pasti kesasar, jadi gue buka pintu mobil buat mastiin."
Aku mengangkat alis dan memegang pisauku dengan mantap. Aku masih belum tahu siapa orang ini. Membuka pintu mobil seseorang bukanlah sapaan biasa bagi orang asing. "Nggak, gue rasa gue nggak kesasar, kecuali kalau ini bukan rumah Pak Januar Ariandi. Tapi gue rasa ini benaran rumah dia kan?"
Laki-laki itu menelan ludahnya dengan gugup, "Oh, o-oke, tapi bisa nggak lo turunin dulu pisau lo. Biar gua bisa jawab dengan hati tenang.... Plis, gue nggak mau sampai kejadian hal yang nggak-nggak sama wajah ganteng gue gara-gara pisau lo yang tajem itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Should We Love?
RomanceTerjebak tinggal berdua saja bersama kakak tiri yang dingin dan tidak menerimanya sebagai saudara, bukanlah apa-apa bagi Agni, masalah terbesarnya adalah Javier, sang kakak tiri, terlalu tampan dan meresahkan. Bisakah Agni menghindari hubungan terla...