Seringai Gibran kembali melebar. "Wah wah, nggak nyangka gue bakal dapet hiburan besar malam ini." Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah, "Kuy lah. Gue akan memperkenalkan elo ke Javi."
Aku berjalan di sampingnya saat dia membawaku ke rumah. Musik di dalam semakin keras saat kami semakin dekat. Jika ayahku tidak ada di sini, lalu siapa? Aku tahu Iriana adalah istri baru ayah, tetapi hanya itu yang aku tahu. Apakah ini pesta yang diadakan anak-anaknya? Berapa umur mereka? Dia memang punya anak, bukan? Aku tidak dapat mengingatnya. Ayah tidak jelas. Dia bilang aku ingin punya keluarga baru, tapi dia tidak bilang siapa sebenarnya keluarga itu.
"Jadi, apakah Javier tinggal di sini?" Aku bertanya.
"Ooo iya dong, konyolnya dia tinggal di sini kalau pas musim liburan aja. Doi pindah ke apartemen atau rumah yang lain sesuai musim."
"Rumahnya yang lain?"
Gibran terkekeh, "Serius lo nggak tahu apa-apa tentang keluarga yang dinikahi ayah lo ini, Agni?"
Aku tidak tahu. Aku menggelengkan kepalaku.
"Pelajaran singkat dari gue sebelum kita masuk ke dalam kegilaan," jawabnya sambil berhenti di puncak tangga menuju pintu depan dan menatapku. "Javier Domani adalah saudara tiri lo. Dia satu-satunya anak dari aktor legend Bryan Domani yang terkenal. Orangtua Javi nggak pernah menikah. Ibunya, Tante Iriana tuh seorang gamophobia. Jadi pas banget sama Om Bryan yang juga nggak mau nikah pada saat itu. Dan sekarang yang lagi kita masukin tuh sebenarnya salah satu rumah Om Bryan. Tante Iriana dapat tinggal di sini karena Om Bryan mengizinkannya." Dia berhenti dan melihat kembali ke pintu, saat pintu itu terbuka. "Dan taraaaaaa, mereka semua adalah teman Javi."
Seorang gadis jangkung, langsing, pemilik TOBRUT (baca: toket brutal) yang mengenakan gaun pendek berwarna biru royal dan sepasang sepatu hak tinggi yang bisa membuat leherku patah jika aku mencoba memakainya, dia berdiri di sana menatapku. Aku tidak melewatkan rasa tidak suka pada cemberutnya. Aku tidak tahu banyak tentang orang-orang seperti ini tetapi aku tahu bahwa pakaian murahan yang aku kenakan bukanlah sesuatu yang mereka sukai.
"Makasih, Nancy," seru Gibran pada gadis itu yang sudah membukakan pintu untuk kami.
"Siapa dia?" Gadis itu bertanya, mengalihkan pandangannya ke Gibran.
"Hmmm, temen baru. Hapus kerutan dari wajah lo Nan, bikin lo keliatan tua ish," jawab Gibran sambil meraih tanganku dan menarikku ke dalam rumah di belakangnya.
Ruangan itu tidak penuh seperti yang kukira. Saat kami berjalan melewati serambi besar yang terbuka, sebuah pintu melengkung menuju ke tempat yang aku duga adalah ruang tamu. Meski begitu, itu lebih besar dari keseluruhan rumah peninggalan nenekku atau rumah yang dulunya adalah rumahku. Dua pintu kaca berdiri terbuka dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Aku ingin melihatnya dari dekat.
"Lewat sini," Gibran mengintruksikan sambil berjalan ke ... bar? Benar-benar? Ada bar di dalam rumah?
Aku melirik orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti sejenak dan memberi aku tatapan tidak suka. Aku merasa jadi pusat perhatian mereka untuk sesaat.
"Javier, lihat apa yang gue bawa, Brada," kata Gibran dan aku mengalihkan pandanganku dari orang-orang yang penasaran untuk melihat siapa Javier ini. "Agni milikmu."
Oh.
Eh. Aku? Kenapa aku milik Javier?
"Oh ya? Tumbenan lo traktir gue cewek, nggak biasanya lo kayak gitu." Javier menjawab dengan nada malas dan mencondongkan tubuh ke depan dari posisi santainya di sofa putih dengan bir di tangannya. "Dia manis tapi dia masih muda. Tapi bukan tipe gue, asetnya terlalu minimalis."
"A-apa?" Aku tercengang dengan pelecehan verbal yang diucapkan saudara tiriku dengan wajah tanpa berdosanya.
"Heyyyy, dia milik lo, Javi. Bagaimanapun dia mi-lik e-lo. Mengingat bokap doi telah kabur ke Jepang sama nyokap lo selama beberapa minggu ke depan. Menurut gue, Agni sekarang jadi tanggung jawab lo. Tapi meskipun kek gitu, gue dengan senang hati akan menawarinya kamar di rumah gue kalau-kalau lo nggak mau nampung doi."
Javier menyipitkan matanya dan mengamatiku dengan cermat. Warna netranya aneh. Sangat tidak biasa. Warnanya tidak coklat. Itu bukan warna hazel. Warnanya hangat dengan sedikit perak di dalamnya. Aku belum pernah melihat yang seperti mereka. Jangan-jangan dia pakai lensa kontak?
"Bodo amat, aku nggak kenal dia, dan aku nggak seharusnya bertanggung jawab atas dia." Javier akhirnya menjawab dan bersandar di sofa tempat dia berbaring ketika kami berjalan.
Gibran berdehem. "Lo ... lo bercanda kan?"
Javier tidak menjawab. Sebaliknya dia mengambil minuman dari botol berleher panjang di tangannya. Pandangannya beralih ke mata Gibran dan aku bisa melihat peringatan di sana. Aku akan diminta untuk pergi. Ini tidak bagus. Aku cuma punya tepat lima puluh ribu di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual segala sesuatu yang berharga yang aku miliki. Ketika aku menelepon ayahku, aku menjelaskan bahwa aku hanya perlu tempat tinggal sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan cukup uang untuk mencari tempat tinggal sendiri. Dia segera menyetujuinya dan memberiku alamat ini dan memberitahuku bahwa dia akan senang jika aku tinggal bersamanya.
Perhatian Javier kembali tertuju padaku. Dia menungguku untuk bergerak. Apa yang dia harapkan dariku? Seringai menyentuh bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.
"Rumahku penuh dengan tamu malam ini dan tempat tidurku sudah penuh." Dia mengalihkan pandangannya ke Gibran. "Menurutku sebaiknya kita biarkan dia pergi mencari hotel sampai aku bisa menghubungi ayahnya."
Rasa jijik di lidahnya saat mengucapkan kata "ayah" tidak luput dari perhatiannya. Dia tidak menyukai ayahku. Sebenarnya aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukan salahnya. Ayahku yang mengirimku ke sini. Aku telah menghabiskan sebagian besar uangku untuk bensin dan makanan saat mengemudi di sini. Mengapa aku memercayai ayah sialan....
Aku mengulurkan tangan dan meraih pegangan koper yang masih dipegang Gibran. "Dia benar. Aku harus pergi. Tinggal di sini adalah ide yang sangat buruk." Aku menjelaskan tanpa memandangnya. Aku menarik koper itu kuat-kuat dan dia melepaskannya dengan agak enggan.
Air mataku pedih ketika aku menyadari bahwa aku akan menjadi tunawisma. Aku tidak bisa melihat keduanya.Berbalik, aku menuju pintu, dengan mata tertunduk. Aku mendengar Gibran berdebat dengan Javier tapi aku menulikan telingaku. Aku tidak ingin mendengar apa yang dikatakan pria berparas cantik itu tentangku. Javier tidak menyukaiku. Itu sudah jelas. Tampaknya ayah aku bukan anggota keluarga yang diterima.
"Lo kok cepet banget udah mau pergi?" Sebuah suara yang mengingatkanku pada sirup jeruk bertanya. Aku mendongak untuk melihat senyum gembira pada gadis yang membuka pintu tadi. Dia juga tidak menginginkanku di sini.
Apakah kehadiranku begitu mengganggu orang-orang ini? Aku segera menjatuhkan mataku kembali ke lantai dan membuka pintu.
Begitu aku sudah aman di luar, aku menangis tersedu-sedu dan menuju ke mobil sedan tuaku. Kalau saja aku tidak membawa koperku, aku pasti sudah lari. Aku membutuhkan keamanan itu. Tempatku berada di dalam mobil sedan tuaku, bukan di rumah konyol yang dipenuhi orang-orang angkuh ini. Aku rindu rumah. Aku merindukan ibuku. Isak tangisku terdengar lagi. Aku menutup pintu mobil sedan tuaku dan menguncinya di belakangku.
Aku capek banget, mana nggak ada uang, terus sekarang aku mesti tidur di mana?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Should We Love?
RomanceTerjebak tinggal berdua saja bersama kakak tiri yang dingin dan tidak menerimanya sebagai saudara, bukanlah apa-apa bagi Agni, masalah terbesarnya adalah Javier, sang kakak tiri, terlalu tampan dan meresahkan. Bisakah Agni menghindari hubungan terla...