1.

33 8 0
                                    

Malam ini, lagi dan lagi Nadia harus kembali mendengar ocehan kasih sayang dari mulut pedas Pak Devan, pemilik minimarket tempatnya bekerja.

Bagaimana tidak, sekotak rokok yang paling mahal di tempat itu lagi-lagi menghilang dari raknya dan ini bukan yang pertama kali terjadi.

Sebagai manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, Nadia sama sekali tidak mengetahui penyebab hilangnya sekotak rokok pembawa malapetaka tersebut. Padahal jelas-jelas rak rokok berada persis di belakang meja kasir tempatnya biasa melakukan transaksi.

Semula dia mengira, matanya sudah sangat awas mengamati setiap pelanggan minimarket yang datang. Memelototi satu persatu rak rokok yang berada di belakang tubuh mungilnya setelah mereka pergi, guna memastikan bahwa tak ada satu pun yang hilang dari sana. Bahkan, dia sampai menghitung kembali jumlah bungkus rokok yang tersisa setiap kali ada pelanggan yang datang membeli barang tersebut.

Perhitungannya jelas akurat dan terperinci. Namun, tetap saja setiap saat closing kasir, sekotak rokok lagi-lagi hilang dari peradabannya.

Itupun hanya satu! Tidak lebih dan tidak kurang.

Mengapa harus satu setiap hari? Mengapa tidak dua atau tiga?

Nadia sontak menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekotak rokok saja sudah cukup membuatnya tekor puluhan ribu, karena di minimarket tersebut, rokok merupakan tanggung jawab seorang kasir. Jadi, kalau jumlah fisik rokoknya tidak sesuai dengan yang tertera di komputer, mau tidak mau Nadia harus menggantinya.

"Rokok siaaaaal!" Nadia bersungut-sungut kesal. Bak pemain bola profesional kakinya menendang-nendang kuat puluhan kerikil yang berserakan di jalan.

Dari semua barang yang ada di minimarket, mengapa hanya sekotak rokok saja yang selalu hilang? Bagaimana dengan yang lainnya? Apakah mengalami hal yang sama dengan rokok pembawa malapetaka tersebut?

Jawabannya; Tidak!

Selama enam bulan Nadia bekerja paruh waktu di sana, anehnya tidak pernah sekalipun ada barang yang minus (selain rokok) saat shift-nya tiba.

Mulanya Pak Devan sangat bersyukur, kehadiran Nadia bagaikan oase di tengah gurun pasir yang memberikan secercah kesejukan, sekaligus memberikan seteguk kenikmatan atas pencapaian dari keuntungan yang pria itu raih. Namun, semua itu berubah setelah sekotak rokok hilang selama tujuh hari berturut-turut. Pak Devan yang baik hati kini berubah total dari sesosok malaikat tampan bertubuh tidak atletis menjadi Grim Reaper.

Apes! Batin Nadia merana.

Sepertinya besok dia harus memasang potongan-potongan ayat suci di beberapa titik rak kasir guna mengusir roh-roh halus yang berusaha mencuri kotak rokoknya, sekaligus mengusir roh jahat yang bersemayam dalam diri bos tampan nan galaknya tersebut.

"Aw!"

Nadia yang rupanya masih asyik menendang-nendang kerikil ke sembarang arah itu, tiba-tiba dikejutkan dengan sepenggal kalimat mengaduh seorang pria dari arah depan.

Nadia refleks memasang kuda-kuda. Dia tentu lebih takut bertemu begal dari pada hantu. Itulah mengapa dia lebih memilih menyiapkan sebotol air cabai dari pada tasbih. Apa lagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, jadi sudah pasti jalan layang yang dibangun di atas sungai ini telah sepi dari manusia-manusia, karena rumor-rumor menakutkan yang tersebar.

Sebagai gadis pemberani Nadia tentu lebih suka melewati jalan sepi ini, sebab selain aman dari para begal, dia juga bisa menghemat waktu sampai ke rumah.  Akan tetapi, malam ini sepertinya tidak sesepi malam-malam sebelumnya. Terbukti dari suara seorang pria yang baru saja didengarnya di depan sana.

"Begalnya lebih takut nggak punya duit dari pada ketemu hantu!" celetuk Nadia sembari memasukkan tangannya ke dalam tas untuk mengambil air cabai yang selalu dia bawa. Sambil terus berjalan menuju sumber suara, Nadia berteriak keras mungkin.

"Woy, jangan macem-macem ya!" Tangan gadis itu bahkan senantiasa menodongkan botol air cabai ke segala arah.

"Ehem!"

Nadia sontak menoleh ke sumber suara, dan sedetik kemudian terperangah lebar ketika mendapati sesosok laki-laki muda tampan yang sedang berdiri tepat di hadapannya.

"Kerikil itu mengenai dahiku, tahu!" kata si laki-laki dengan raut jengkel.

Nadia menurunkan senjatanya sembari mengerutkan kening. Pasalnya, kehadiran si laki-laki sama sekali tidak disadari Nadia. Hawa keberadaannya bahkan tidak terasa.

"Perasaan tadi nggak lihat ada orang, deh!" gumam Nadia.

"Hei, kamu dengar, nggak?" Si laki-laki kembali bersuara. Kali ini dia malah mendekatkan wajahnya ke wajah manis Nadia.

Angin segar seketika menerpa wajah gadis itu. Entah mengapa semilir kesejukan tiba-tiba menerpa hati dan pikirannya yang tengah merana. Perasaan kesal karena ditegur sedemikian rupa oleh si laki-laki kini mulai terkikis dengan paras tampannya.

Nadia tergagap. Dia yang semula berlaku bagai sesosok preman kurang setoran spontan berubah menjadi gadis malu-malu.

"Maaf, aku nggak tahu kalau ada orang di sana." Jawab Nadia dengan suara selembut mungkin. "Lagian kamu ngapain nongkrong sendirian di tempat sepi gini?" sambung gadis itu penasaran.

Alih-alih menjawab pertanyaan Nadia, laki-laki itu malah merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sekotak rokok dengan merk yang sama persis seperti yang selalu hilang di minimarket tempatnya bekerja.

Mood Nadia yang semula melambung tinggi spontan turun lima puluh persen.

Sekotak RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang