3.

22 5 0
                                    

Entah sudah hari keberapa Nadia kembali kehilangan rokoknya. Dia bahkan sama sekali tidak terkejut dan malah mempersiapkan uang lebih untuk mengganti kerugian Pak Devan.

Pasrah!

Helaan napas keluar dari mulut Nadia.

"Setiap pulang kerja, aku lihat wajahmu selalu kusut. Kenapa?" tanya Max sembari menghisap rokoknya. Mereka lagi-lagi bertemu saat Nadia pulang bekerja, dan kini duduk bersama di pinggir trotoar yang sepi seperti kemarin.

"Kayaknya udah lebih dari seminggu aku kehilangan rokok dari rak kasir dan itu terjadi setiap hari, padahal rak tersebut berada persis di belakang meja kasirku." Nadia menjawab pertanyaan Max dengan raut lesu.

"Kamu udah cek CCTV?" tanya Max.

"Aman."

"Bagian kasir selalu ditutup, kan, kalau kamu tinggal?"

"Yap!"

Max ikut menopang dagu seperti yang tengah Nadia lakukan. "Barang kali pelakunya hantu!" celetuk laki-laki tampan itu.

Nadia refleks menoleh ke arahnya lalu tertawa keras. "Mana ada!" sanggah gadis itu. "Keren banget hantu bisa ngerokok!" sambungnya jenaka.

Max mengangkat bahu sekali.

"Ah, kamu ini merusak mood-ku aja." Puas tertawa, Nadia kembali merenung.

Hening menerpa keduanya selama beberapa saat.

"Nad, besok ketemu di sini lagi ya? Aku janji ini yang terakhir kalinya." Max kembali bersuara. Laki-laki itu mematikan sisa puntung rokok yang tinggal setengah.

"Terakhir? Jadi kamu akhirnya menerima nasihatku buat pulang ke rumah, nih?" tanya Nadia dengan ekspresi luar biasa senang.

Max mengangguk. "Nasihat kamu bikin aku kangen rumah dan keluarga. Makasih ya?"

Nadia membalas perkataan Max dengan tawa riang.

"Beneran pulang ya? Setelah itu kita bisa ketemu lagi dengan keadaanmu yang jauh lebih baik!" seru Nadia. "Lihat tuh dirimu! Udah berapa hari kamu pakai baju, sepatu, dan tas yang sama? Lain kali kalau mau kabur itu ke rumah temen, biar bisa tidur nyenyak. Bukannya tidur di pom bensin terus ngemper di sini!" sambung gadis itu merujuk pada pom bensin yang berada jauh dari sana.

Max tersenyum kecut. "Aku nggak bisa janji kita akan bertemu lagi nanti."

Mendengar itu, Nadia terdiam. Dia lupa kalau Max memang akan berkuliah di luar negeri

"Ya udah kalau begitu, besok kita ketemu lagi di tempat ini, ya?"

Max mengangguk mantap.

.
.
.

Malam ini keadaan minimarket tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada segelintir orang saja yang datang berbelanja sejak Nadia berganti shift dengan teman kerjanya.

Nadia mengambil sebuah kursi kecil dan duduk di belakang kasir. Tidak lupa dia juga menyempatkan diri menghitung jumlah rokok termahal yang selalu hilang dari peradabannya.

Gadis itu menopang dagu di meja, memerhatikan layar televisi yang terpasang di sudut minimarket.

Breaking News!

Seorang pemuda, anak dari pemilik perusahaan real estate terbesar, Jack Ansell, hilang dari rumah sejak tanggal 25 agustus. Ia diduga hilang setelah bert—

"Rokok DM satu ya, Mbak!" pinta seorang pelanggan yang tiba-tiba masuk ke dalam minimarket.

"Oke!" Nadia berbalik menuju rak rokok termahal yang selalu hilang. Gadis itu meniup kedua tangannya terlebih dahulu, sebelum kemudian mengambil sekotak rokok dari sana dengan sangat hati-hati.

Gadis itu kemudian memindai rokok tersebut dan memberikannya kepada si pelanggan, seraya menyebutkan nominal harga yang tertera.

Si pelanggan memberikan uang pas.

"Terima kasih," ucap Nadia.

.
.
.

"Kamu kayaknya kelihatan jauh lebih pucat dari sebelumnya deh, Max!" celetuk Nadia ketika mendapati tampang Max yang jauh lebih pucat dan tidak bersemangat.

Max bergeming, tampak tidak berniat menanggapi perkataan Nadia.

"Nad, sebaiknya besok kamu jangan lewat jalan ini lagi," ujar Max tiba-tiba.

Nadia mengerutkan keningnya. "Kenapa emangnya?"

"Berbahaya kalau aku nggak ada," jawab Max.

Nadia tertawa. "Sebelum ada kamu, aku selalu lewat jalan layang ini sendirian, tahu!"

Max terdiam. Jika biasanya laki-laki itu menanggapi tawa Nadia dengan senyuman manis atau tawa kecil yang sama, kali ini raut wajah Max terlihat sangat serius.

Suasana jadi sedikit canggung.

"Ahh!" Seakan teringat sesuatu, gadis itu bergegas merogoh isi tasnya dan mengambil sekotak rokok. "Aku lihat, kamu menyukai rokok jenis ini. Jadi, sebagai salam perpisahan dariku ...." Nadia mengulurkan benda tersebut ke hadapan Max.

Max menatap rokok yang disodorkan Nadia dengan tatapan datar.

Nadia mengira, Max menatap kertas struk yang tertempel di sekeliling rokok.

"Abaikan struknya. Sebagai karyawan, setiap membeli barang di minimarket, struk pembayarannya wajib ditempel. Sebentar, aku buang dul—"

"Jangan, biarin aja!" Max menerima sekotak rokok tersebut dan mengucapkan terima kasih.

"Mana ponselmu? Kita harus bertukar nomor ponsel." Nadia menadahkan tangannya di hadapan Max.

"Ponselku rusak. Maaf ya," jawab Max.

Nadia menarik napasnya dalam-dalam. "Jadi kita beneran nggak bisa ketemu lagi, nih?"

Max tidak menjawab.

Nadia memasang wajah sedih. "Ya udah nggak apa-apa, tapi aku harap, sesekali kamu bisa menyempatkan waktu berkunjung ke minimarketku ya?"

Max tersenyum lalu menganggukkan kepalanya sekali. "Makasih ya, Nad, kamu udah mau menjadi teman baikku selama beberapa hari ini," ucap laki-laki itu tulus.

"Semoga kamu bisa menjalani hidup dengan bahagia bersama kedua orangtuamu. Tidak sepertiku." Max mengulurkan tangannya ke arah Nadia.

Nadia menyambut uluran tangan Max. Meski tangannya terasa jauh lebih dingin dari kemarin, tetapi entah mengapa hati Nadia tetap terasa hangat dibuatnya.

"Bolehkah, emm ... memelukmu?" pinta Max malu-malu. Nadia yang mendengarnya pun menjadi salah tingkah. Namun, ini adalah pertemuan terakhir mereka, jadi tidak ada salahnya memberikan sebuah pelukan sebagai tanda perpisahan.

Nadia mengangguk samar, dan sedetik kemudian Max menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

Nadia sedikit terkejut karena aroma tubuh Max begitu wangi, padahal dia tidak pernah berganti pakaian selama ini. Belum lagi kenyamanan yang Nadia rasakan. Nadia bahkan sampai  memejamkan matanya demi menikmati saat-saat terakhir mereka.

"Aku menyukaimu, Nadia."

Nadia refleks membuka matanya, hendak melepaskan diri. Namun, Max menahannya.

"Sekali lagi, makasih."

Mendengar ucapan tersebut, tanpa sadar setetes air mata jatuh membasahi pipi Nadia. Hatinya mendadak terasa sangat sakit

Aku ... kenapa? Batin Nadia.

Belum selesai dengan pemikirannya sendiri, Max tiba-tiba melepaskan gadis itu dan menatapnya dalam-dalam.

Nadia yang belum sempat memberikan respon, kini hanya bisa terdiam mematung saat bibir dingin Max menyentuh ujung bibir mungilnya.

Jantung Nadia sontak berdebar keras.

Sekotak RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang