2.

27 5 0
                                    

"Aku suka di sini. Sunyi, sepi ... hanya bintang dan suara hewan malam yang sedia menentramkan jiwa." Laki-laki itu mengeluarkan suaranya, sejurus dengan asap rokok yang mulai mengepul di udara.

Nadia mengangguk-angguk saja saat mendengar jawaban puitis laki-laki tersebut. Baru saja dia hendak menanggapi si laki-laki dengan sama puitisnya, tiba-tiba ingatan akan nasihat sang ayah muncul di benak gadis itu.

Yah, meski ketampanan si laki-laki mampu menggoyahkan hati kokoh Nadia, tetap saja omelan sang ayah yang paling kuat menerjang jiwa raganya.

Nadia harus segera sampai di rumah, dia tidak boleh berlama-lama di tempat sepi itu.

"Sekali lagi maafin aku ya!" Nadia membungkukan badannya sembilan puluh derajat sebagai bukti ketulusan. "Aku nggak bisa lama-lama, nih, sudah malam!" Tanpa menunggu tanggapan dari si laki-laki, Nadia segera melesat pergi.

Sementara si laki-laki hanya terdiam membisu, seraya terus menatap kepergian gadis itu.

.
.
.

Nadia dengan sigap memicingkan matanya ke sana kemari, demi mengintai setiap gerak gerik dari para pelanggan minimarket yang datang berbelanja. Hari ini Nadia sudah bertekad dalam hati untuk menangkap basah pelaku pencurian sekotak rokok pembawa malapetaka tersebut.

Aku harus mendapatkannya! Batin Nadia membara.

"Kenapa Mbak?" tanya salah seorang pelanggan yang risih, tatkala Nadia memelototinya, seolah ia adalah seorang pelaku kriminal berbahaya.

"Tidak!" Jawab Nadia singkat. Dia melanjutkan kembali kegiatannya menghitung total barang belanjaan si pelanggan, sembari sesekali melirik ke belakang meja kasir. Takut-takut kalau ada tangan tak kasat mata yang diam-diam mengambil sekotak rokok di sana. Namun, sampai pelanggan terakhir pergi jumlah rokok yang ada di rak tetap sama.

Nadia bernapas lega. Kepercayaan dirinya meningkat drastis. Dengan kepercayaan diri level maksimal itu, dia menunggu kedatangan Pak Devan.

"Hitung dulu rokoknya, Nad!" titah Pak Devan begitu sampai di minimarket.

Nadia tersenyum lebar sekali. Meski baru sepuluh menit yang lalu menghitung, dia tetap menuruti perintah sang empunya minimarket.

Berbekal sebuah buku catatan yang sudah tidak sedap dipandang mata, Nadia menghitung satu persatu setiap merk rokok dan menyamakan jumlahnya dengan data di sana. Nadia tentu sudah menulis jumlahnya di buku tadi, jadi dia tidak perlu menulisnya lagi.

Senyum sumringah mengembang di wajah cantik Nadia.

"Pas!" pekik gadis itu riang.

Mendengar seruan sang karyawan, Pak Devan pun melebarkan senyumnya. Jiwanya terasa tentram. Dia yakin tidurnya malam ini akan tenang, setenang hamparan laut tanpa gelombang.

"Good! Ya sudah, cepat hitung pendapatanmu!"

"Siap, Bos!" jawab Nadia bersemangat.

Gadis itu menghitung pendapatannya di kolong meja kasir. Sudah jadi kebiasaan. Spot yang aman menurut Nadia, karena dengan begitu dia bisa berkonsentrasi penuh.

Selagi Nadia sibuk menghitung uang, Pak Devan ikut sibuk merapikan rak-rak lain yang terlihat berantakan.

Walau posisinya sebagai bos, Pak Devan termasuk rajin membantu meringankan pekerjaan para karyawan.

Selama beberapa saat suasana tampak begitu sunyi dan hening, sampai akhirnya terdengar suara benda jatuh dari arah rak kasir.

Konsentrasi Nadia buyar seketika. Dengan sigap gadis itu berdiri dari tempatnya guna memperhatikan satu persatu deretan rokok dan susu kaleng yang ada di sana.

Sekotak RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang