satu

525 55 7
                                    

Yoshi menatap ke atas langit yang tengah menurunkan rintiknya. Hari sudah larut, minimarket pun sudah ia tutup. Biasanya meski sudah larut, jalanan tetaplah ramai oleh pengguna jalan bahkan pengendara. Tapi mungkin karena rintik hujan saat ini membuat beberapa orang enggan untuk keluar dari kediaman mereka.

Entah mengapa, setiap kali awan menurunkan rintiknya selalu membuat Yoshi merasa sedih tanpa alasan yang jelas. Seolah ada yang hilang dari dirinya. Tapi entah apa itu.

Sudah tiga puluh menit menunggu, tapi hujan tak memberinya tanda bahwa ia akan segera mereda. Yoshi sendiri tidak tahu kapan hujan akan berhenti. Namun jika ia memilih tinggal di depan minimarket lebih lama, hanya akan menambah kelarutan malam.

Yoshi, lelaki itu tinggal di panti sejak ia berumur sebelas tahun. Lalu ia memutuskan untuk keluar pada jamur delapan belas tahun. Ia tidak punya tempat tinggal lagi. Sekolah pun ia harus berhenti. Ia tidak punya siapapun lagi di hidupnya. Ia terbuang. Yoshi pun tak berniat mencari orang tua kandungnya atau bahkan keluarganya. Biarlah mereka masing-masing.

Lagipula, panti tidak seburuk itu. Mungkin. Di sana ramai, ibu panti dan adik-adik panti juga menyayanginya. Meski ... panti itu kini tengah terancam digusur karena lahan yang mereka pakai akan diambil alih oleh perusahaan besar di negaranya.

Yoshi sebenarnya ingin membantu, tapi apa daya jika penghasilan Yoshi yang bekerja hanya mampu mencukupi kebutuhannya. Itupun setiap bulan ia sering mengirim sedikit upahnya pada panti asuhan.

"Kayaknya harus terobos deh." Tidak ada pilihan lain lagi selain menerobos. Syukurnya hujan lumayan mengecil, meski tidak bisa dibilang mereda. Namun, Yoshi tak punya pilihan.

Langkah kaki Yoshi berjalan cepat dengan sebelah tangannya melindungi kepala agar terhindar dari cipratan hujan, meski yang dilakukannya berujung sia-sia. Karena tangannya tak sebesar payung, jadi mana mungkin bisa melindungi kepala bahkan bajunya yang kini hampir basah.

Yoshi masuk ke dalam gang kecil yang biasanya selalu dilewatinya. Di jalan gang ini, biasanya atap-atap rumah akan melindunginya. Terbukti saat ini dari Yoshi yang mulai berjalan lebih santai.

Yoshi bukannya tak sadar ada seseorang lagi yang berjalan di belakangnya. Perawakannya seperti lelaki yang mampir ke minimarket tempatnya bekerja tadi. Tapi ia menaruh pikiran yang positif. Jalanan ini umum, mungkin orang di belakangnya salah satu orang yang memilih jalan ini demi berlindung dari hujan.

Tapi tiba-tiba saja langkah kakinya terhenti. Ia mendongak menatap seseorang. Keningnya mengernyit ketika jalannya di halangi. "Ada apa? Kenapa menghalangi jalan?"

Seseorang di depannya tak menjawab. Ia hanya menyeringai sebelum beberapa orang tiba-tiba saja datang dan mengepung mereka, lebih tepatnya mengepungnya.

Yoshi berjalan mundur, tiba-tiba tersentak ketika seseorang di belakangnya menangkap tubuhnya.

"Siapa kalian?! Jangan macam-macam! Gue bisa taekwondo!"

Salah satu dari mereka hanya tertawa mencemoohnya. "Gue serius!"

"Banyak omong. Bawa dia!"

Mendengar itu, Yoshi dengan skill taekwondonya mulai menghajar beberapa lelaki yang menghadangnya. Tapi sayangnya ia kalah jumlah, jika diteruskan ia hanya akan mati konyol. Jadi lebih baik ia —lari.

"Kejar dia! Jangan sampai lolos!"

....

"Tuan Muda, tahanan sudah sampai."

Jihoon, lelaki sulung dari keluarga Park berbalik. Seringainya membentuk mendengar ucapan dari salah satu kepercayaannya, Jaehyuk.

"Sebarkan berita kehilangan dan berikan uang tutup mulut pada pemilik minimarket itu. Jangan sampai dia membocorkan semuanya pada polisi."

Jaehyuk mengangguk. "Apa saya harus memanggil Tuan Junkyu dan Tuan Asahi untuk menemui anda?"

Jihoon mengangguk. "Kabari saja mereka. Biar aku yang menangani dia itu lebih dulu." Jihoon menatap pistol di tangannya.

Jaehyuk kembali mengangguk. Mengikuti Jihoon yang kini berlalu menuju ruang bawah. Ia juga sudah menyuruh anak buahnya yang lain untuk memanggil tuan muda mereka yang lainnya.

Jihoon masuk ke dalam sebuah ruangan yang sempit. Jendela bahkan ventilasi tak ada. Pintu pun di buat dari besi, sehingga ketika pintu itu terbuka ada suara gesekan nyaring dengan lantai.

Suara pantofel hitam Jihoon menggema, membuat seseorang yang tengah tergantung kini mendongak. Matanya begitu tajam. Rambut peraknya sudah lepek, di sudut kiri ada sebuah luka yang mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian wajah terlihat lembam keunguan. Mungkin karena aksi berontaknya.

"Suka dengan tempat barunya?"

Yoshi menggeram. "Mau apa lo? Lepasin gue!"

"Dalam mimpi lo."

Jihoon hanya melewati saja. Tidak peduli dengan lelaki berambut perak. Biarkan saja terus memberontak, ada anak buahnya yang lain siap membuat lelaki itu diam.

"Buat dia diam."

Jaehyuk menurut, ia menghajar lelaki itu lagi dan lagi. Wajahnya sekarang penuh lebam. Pukulan di perut juga membuatnya lemas seketika. Tak berselang lama, Jaehyuk menyuntikkan obat tidur ke dalam tubuh Yoshi. Tak membutuhkan waktu, obat itu bekerja dengan cepat. Yoshi terlelap, lagi.

Jihoon hanya menatap dari arah sofa. Lagi dan lagi ia menyeringai melihat tahananya. "Ini belum seberapa. Tunggu neraka lo yang selanjutnya."

....

Yoshi, ia mendongak menatap marah pada keempat lelaki asing yang kini ada di hadapannya. "Mau lo apa, hah?! Lepas!"

"Redroom." Mendengar perintah dari Jihoon, anak buahnya langsung membawa Yoshi secara paksa.

Lelaki berambut perak itupun tak tinggal diam. Ia banyak bergerak. Dengan kesal salah satu dari anak buah Jihoon menendang kaki Yoshi.

"Lo bisa lampiasin marah lo dengan mudah sekarang, Jun."

Junkyu hanya menatap datar Yoshi yang sudah berlalu bersama anak buah Jihoon. "Gue nggak tertarik sama kekerasan. Gue nggak suka terang-terangan jadi orang jahat."

Jihoon tersenyum. Tapi bukan senyuman manis. Lagipula mana pernah lelaki itu tersenyum manis? "Seenggaknya lo bisa balas dendam atas kematian bunda, meski sedikit."

Lalu, lelaki itu menepuk-nepuk bahu lebar adiknya. "Lo saksi matanya. Lo yang paling tau sakitnya waktu bunda jatuh. Lo nggak mau membalas rasa sakit itu? Seenggaknya buat dia nyesel hidup di dunia. Apapun itu."

Junkyu, adik kedua Jihoon terdiam. Tangannya mengepal tanpa ia sadari. Ingatan pahit sewaktu bundanya pergi membuat darahnya mendidih. Kemudian menatap Jihoon dengan pandangan bertanya. "Apapun itu?"

Jihoon mengangguk. "Ya. Lakuin sesuka hati lo, Adik kecil."

Junkyu mendelik. "Kita cuma beda tujuh menit."

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang