sepuluh

226 36 2
                                    

warn! aku nulis di pc jadi mungkin penulisannya kurang enak dibaca, nggak kayak biasanya. Mianhae. btw kalau ada typo bilang, ya. aku suka malu sendiri kalau ada typo >.<

mungkin bakal agak membosankan sebelum konflik utamanya datang.

[  .....  ]

tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima. memangnya, Yoshi yang hanya tawanan mereka ini bisa melawan dengan tangan kosong? Tentu tidak, Yoshi tidak sebodoh itu. ia masih ingin memperjuangkan kebebasannya. meski, nyatanya tidak dalam arti yang sesungguhnya. ibaratnya, keluar kandang harimau masuk kandang singa. tidak dalam keadaan yang menguntungkan. tetapi beruntungnya, singa jantan merupakan hewan yang pemalas dalam mencari mangsa.

artinya, Yoshi masih memiliki keuntungan walau hanya 0,0001%.

kini, setelah tanda tangan dokumen dan beberapa negosiasi yang menyeramkan, akhirnya Yoshi bisa bebas. ia diizinkan untuk keluar dari kamar penahanannya.

seorang pelayan wanita tua menunjukan kamar barunya yang luas. di dalam sebuah lemari bahkan sudah tersedia pakaian yang ukurannya sangat pas untuk Yoshi kenakan.

"Siapa nama Bibi? Apa Bibi udah lama kerja di sini?"

"Panggil saja, Bibi Choi. Saya sudah mengurus Tuan Muda sedari mereka kecil," jawab Bi Choi. Wanita itu benar-benar ramah padanya. Semenjak Yoshi keluar dari kamar itu sehari lalu, beberapa pelayan wanita nampak menatap sinis padanya. mungkin otak mereka juga sudah dicuci oleh  Tuan mereka.

Wajah Yoshi menunjukan keheranan. "Bibi cukup kuat kerja sama mereka rupanya."

Bibi Choi terkekeh. padahal yang dikatakan Yoshi bukan sebuah lelucon. "Mereka tidak sekasar itu, Tuan Muda."

Eh? "Yoshi, namaku Yoshi. Kenapa bibi panggil aku dengan embel-embel itu? Aku bukan tuanmu, Bi."

"Hanya belum. Bukankah Yoshi akan menikah dengan mereka?"

ya, Yoshi bahkan hampir lupa dengan itu. Padahal pernikahan itulah idikator Yoshi bisa lepas dari penyiksaan. "Tetap aja, Bi. Jangan panggil aku dengan sebutan itu, tolong."

"Baiklah-baiklah. Nah, sudah selesai. Sekarang segeralah temui Tuan Jihoon dan yang lainnya."

[  ....  ]

Suara deru mesin mobil yang berhenti kini menghantarkan mereka pada sebuah rumah yang terlihat begitu hangat. sore-sore seperti ini memang cocok untuk dijadikan ajang berkumpul bersama keluarga. Lihat saja, bagaimana mengalunnya canda dan tawa dari Doyoung dan orang tua mereka.

tetapi atensi mereka kemudian beralih dengan datangnya Jihoon, Junkyu dan Asahi bersama seseorang yang tidak mereka kenali, kecuali Doyoung.

"Kak Yoshi!"

"Yoshi? Siapa dia?"

"Bisa kita bicarakan di dalam, Ayah?"

dan di sinilah mereka. duduk di meja makan dengan begitu tegangnya. "Siapa orang ini, Jihoon?"

"Calon istri saya." Jihoon menjawab. "Ralat. Dia Kanemoto Yoshinori. Calon istri kami bertiga."

wajah terkejut Ui Sik semakin bertambah setelah kalimat terakhir Jihoon utarakan. "Kalian jangan--"

"Kami nggak bohong." Asahi kini yang mejawab. "Anda bisa tanya sama Kak Junkyu atau Yoshi untuk memastikan."

Ui Sik menghela napasnya perlahan. terlalu terkejut dengan keadaan yang begitu tiba-tiba ini. Ia benar-benar tidak menyangka dengan kegilaan yang dibuat oleh anak-anaknya. pandangannya kini beralih pada lelaki yang katanya adalah calon istri dari ketiga anaknya, Yoshi. menelisik wajahnya yang cukup mirip dengan seseorang, tetapi tidak ia ingat.

"Kamu orang Jepang?"

yoshi mengedarkan pandangan. semua menatap ke arahnya. berarti pertnyaan itu memang untuknya. "Saya memang keturunan Jepang. Tetapi semenjak tinggal di panti kewarganegaraan saya diubah menjadi Korea Selatan."

"Panti? Artinya, kamu nggak tau siapa keluargamu?" Minyoung kini bersuara. Wanita itu memang selalu memikirkan martabat keluarganya. sebab tuntunan yang memang mengharuskan mereka untuk selalu memiliki citra yang baik.

"Ayah mungkin belum lupa sama tangan kanan Bunda 'kan? Kanemoto Jiro dan istrinya Hayashi Miho."

kerutan di dahi Ui Sik semakin mengendur bersamaan dengan terbuka lebarnya kelopak mata. ia tentu ingat siapa itu Kanemoto Jiro dengan istrinya. Ya, akhirnya Ui Sik mengetahui seseorang yang mirip dengan Yoshi, Jiro.

"Mama nggak setuju. Bukannya dia anak pembunuh ibu kalian dulu?"

"Ma!" tegur Doyoung. di bawah sana, ia menggenggam jemari dingin milik Yoshi. "Tapi Kak Yoshi orang yang baik."

Junkyu dan Asahi hanya memutar bola matanya malas. Wanita itu terlalu banyak drama. Entah kerasukan apa Ui Sik dulu hingga bisa menggantikan bunda mereka dengan wanita seperti Yuna.

"Kami tidak meminta pendapat. Kami hanya memberi tahu," ucap Jihoon tegas.

"Tap—"

"Sudahlah, Ma. Mereka memang bebal. Jadi, apa kalian memang benar saling mencintai? apalagi kalian bertiga, apa nggak bisa suka dengan orang yang berbeda? Dan kamu, Yoshi apa kamu benar mencintai anak-anakku?"

"Tentu aja, Ayah." Junkyu menjawab sembari merangkul bahu Yoshi. tidak lupa ia bubuhkan kecupan singkat pada surai perak dengan wangi vanilla.

semua orang menatap takjub pada Junkyu. jangan lupakan Yoshi yang mematung. tanpa ia sadari pipinya memanas.  "Ah ... oke. Ayah nggak ragu kalau itu kamu, Junkyu. Tapi--"

"Saya bukan tipe orang yang memamerkan kemesraan di khalayak umum." memang. memang hanya Junkyu yang berbeda dari mereka. lihat saja dari pekerjaannya yang begitu fleksibel. sama seperti Junkyu yang selalu terlihat santai.

"Jadi kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?"

"dua minggu dari sekarang."

[  .....  ]

mereka berpencar setelah makan malam. Asahi yang harus kembali ke studio, Junkyu yang harus kembali ke bengkel. Doyoung, Yoshi serta Minyoung sedang membereskan sisa mereka makan malam. Minyoung yang mencuci piring, sementara Yoshi dan Doyoung membantu untuk mengelapnya.

"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan anak-anak saya?"

Yoshi dan Doyoung saling tatap. "Belum lama, Tante. Mungkin ... dua bulan terakhir," jawab Yoshi.

"Memang belum lama. Tapi hebat, sudah bisa membuat mereka mengajukan pernikahan sekaligus." Minyoung menyeringai. "Apa yang kamu inginkan?"

"Mama ...." Doyoung kembali mengatupkan mulutnya ketika menatap tatapan menusuk ibunya. dalam hati ia beribu minta maaf karena tidak bisa menolong Yoshi.

"Meski saya tidak mengurus mereka sedari kecil, saya paham dengan karakteristik anak-anak saya. Jihoon, anak sulung Claudia itu selalu ditekan dan ditempa untuk menjadi pewaris. karena itu, hatinya agak keras dan sikapnya kaku. Junkyu, dia yang paling menyayangi bundanya. sifatnya yang santai sekarang, bukan sifatnya yang sebenar. dan Asahi, dia yang paling tidak menyukai saya, sebab menyangka saya bekerja sama dengan orang tua kamu untuk membunuh Claudia beberapa tahun lalu. dia tidak suka jika seseorang menggantikan peran orang ia sayangi oleh orang asing."

"Jadi Yoshi, larilah selagi bisa."

[  .....  ]

"Maaf." Jihoon bergeming. "Ayah minta maaf karena tidak bisa ada bersama kalian disaat--"

"Maaf Anda sudah tidak berlaku. kejadiannya sudah terjadi. Bunda pun sudah tiada. tidak ada yang bisa diselamatkan."

"Ada, Jihoon. Hubunganmu dengan kelurga kecilmu nantinya." Ui Sik menunduk dalam. "Jangan melakukan kesalahan seperti ayah. apapun rencanamu, tetap hargai kehadiran seseorang yang bersamamu. mungkin kelak, jika seseorang itu tidak lagi terasa hadirnya, kamu akan menyesal."

"Ayah tau semuanya, Jihoon. Ayah tidak pernah membiarkan kalian hidup sendirian."

Jihoon bangkit dengan tangannya yang mengepal, berusaha meredam emosi. "Tapi Anda nyatanya membiarkan kami hidup dalam kesendirian."

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang