Chapter 3

534 36 0
                                    

"How much?"

"Five dollar, Ms."

"Thank you." Lolita menarik mini paper bag ke dalam dekapan tangannya. Ia gunakan satu tangannya yang lain menenteng tas miliknya.

Suhu rendah Ibu Kota mendukung aktivitas fisiknya di luar student housing. Ia sesap teh hangatnya setelah berhasil mencari kursi kosong di sekitar Taman Kota. Lolita rasakan teh itu hati-hati tatkala asapnya masih mengepul melewati cup. Hangat merasakan sejuk semilir angin yang menembus masuk hingga ke lapisan terdalam kulitnya.

Matanya terpejam dengan wajah mendongak. Sepi. Satu kata yang menggambarkan situasi saat ini. Ia luapkan kegalauan dan rindu di hatinya. Rindu terhadap Ayah, Ibu, keluarga, sanak saudara, dan teman-temannya di Indonesia. Sosok yang selalu ada dalam masa-masa sulitnya. Hingga bisa sampai ke negeri orang. Meski belum mencapai goals-nya untuk segera lulus dari Belanda. Terpenting bagi Lolita adalah fakta bahwa ia lolos pada seleksi beasiswa Leiden dengan rasio ketetatan 1:100 adalah hal yang patut dibanggakan.

Lolita pegang dada kirinya. Menutup matanya relaks. Tersenyum hangat, mengucapkan kata terima kasih pada dirinya sendiri karena telah berhasil melewati tiga tahun terberat itu.

Bila ada yang mengatakan bahwa SMA adalah masa paling membahagiakan dalam hidup seseorang, maka Lolita setuju. Tidak pernah ia lupakan satu pun momentum selama masa SMA-nya, yang di mana, jika ia bisa memutar balik waktu, maka Lolita ingin kembali ke masa-masa paling membahagiakan itu. Sakit rasanya bila mengingat bahwa hidup harus membuatnya keluar dari zona nyaman. Dalam kenyataan tumbuh menjadi dewasa tidaklah seindah yang orang-orang harapkan. Dulu Lolita adalah seorang pemimpi. Sama seperti orang-orang kebanyakan. Namun sekarang, ia hanyalah seorang mahasiswi yang berharap cepat lulus dan menyelesaikan studinya. Agar terbebas dari tugas-tugas kuliah yang menyesakkan.

"Can you tell me how a perfect love goes wrong?"

"Can somebody tell me how to get things back the way they use to be?"

Lolita bersenandung kecil di tengah hamparan Taman Kota yang begitu besar. Hatinya ikut tercubit-cubit kecil kala mengingat sekelebat memori indahnya bersama sang mantan kekasih. Ehsan Sjahrir. Lelaki berdarah asli Minangkabau yang telah menorehkan luka begitu dalam, dalam hatinya. Sebuah angan kebersamaaan, janji, dan harapan yang mereka ciptakan. Kandas begitu saja.

"Ta, kita cukup sampai di sini aja, ya?"

"..."

"Kita nggak usah lanjutin hubungan ini lagi. Kamu stop kontak aku, dan stop posting fotoku di sosial media kamu. Suruh temen-temenmu juga untuk berhenti ikut campur urusan aku."

"Maksud kamu apa?"

"Kamu stop hubungi aku. Hapus semua foto-fotoku di sosial mediamu. Aku nggak senang ada yang mengusik ranah pribadiku." Tegas Ehsan.

"Ranah pribadi? Ranah pribadi yang mana aku tanya? Bukannya kamu yang mengumbar hubungan kita di akun sosial mediamu? Akun TikTok-mu. Grup WhatsApp-mu dengan teman-temanmu. Agar kamu mendapat atensi masyarakat demi karir politikmu?" Ucap Lolita telak. Mata Ehsan membola di ujung sana. Kemarahannya semakin menjadi-jadi.

"Kamu! Memangnya kamu siapa sampai punya harga jual! Ingat. Personal branding-mu itu hanya publik figur yang mendadak terkenal karena pamor Ibumu sebagai Dosen sok idealis yang berani mengkritisi kinerja pemerintah. Menjijikan untukku dan keluargaku."

Ehsan balas ucapan itu membabi buta. Lolita pejamkan matanya rapat-rapat. Menahan sesak di dada akibat cemooh yang datang dari orang terkasihnya. Namun, tak terima Ibunya ikut di bawa-bawa dalam pertengkaran itu. Dengan tenang Lolita kuliti Ehsan dengan kalimat-kalimat tajamnya.

Lolita's : Nothing is PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang